NUNIK, temanku yang satu ini bisa dikategorikan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Berkali-kali Mirna sering menegornya hanya karena kebiasaanya berpakaian you can see. Masalahnya, Nunik yang terbilang cantik, berkebiasaan buruk—membiarkan bulu ketiaknya tumbuh lebat. Parahnya, jika berkeringat, deodorantpun tak mampu membendung baunya. Oleh karenanya, Nunik selalu menghindarkan tubuhnya supaya tidak berkeringat terlebih di siang yang terik.
“Ih.. aku paling benci jika sudah berkeringat seperti ini. Nggak nyaman” ujarnya sambil mengganti baju dengan kaos singlet.
“Udah nggak nyaman, bau lagi!” aku menyahut.
Nunik tersenyum mendengar komentarku.
Aku yang sama dengan Nunik, memiliki bulu ketiak yang lebat. Merasa terganggu jika belum sampai seminggu harus mencukur kembali. Aku mulai memikirkan ide segar dalam kepala ini “Nik, aku punya buku ramuan tradisional. Kalau nggak salah ada cara menghilangkan bulu ketiak supaya tidak tumbuh lagi. Kita coba yukk!”
“Mana lihat! Gimana caranya?”
“Tunggu, aku ambilin dulu” aku berlalu ke kamar mengambil buku yang kumaksud.
“Ini ada bahan-bahannya yang harus diracik.”
“Bolehlah kita coba. Aku sudah bingung berkali-kali dikerok cepat banget tumbuhnya” ujar Nunik.
Aku menyediakan bahan sesuai dengan resep di buku itu. Duapuluh butir merica dan lima buah kapur barus dihaluskan serta dicampur satu sendok makan minyak tanah. Dengan yakinnya, kami berdua mengoleskan ramuan itu pada bagian ketiak berulang kali.
Nunik mulai merasakan ada perubahan “Chie, kok terasa panas ya?”
“Masa, enggak ah!”
“Beneran, mulai panas nih. Apa sudahin saja ya?”
“Ya sudah kalau nggak kuat mah. Mungkin itu ramuannya sedang bereaksi!”
“Mungkin. Tapi kamu kok nggak ngerasa panas? Apa kurang banyak ngolesinnya?”
“Mungkin juga” berkali-kali aku oleskan ramuan tradisional itu di ketiakku dengan harapan supaya cepat rontok bulunya.
“Hah.. panasss!” Nunik berteriak sambil sibuk meniup-nuip ketiaknya bergantian kanan-kiri.
Aku menghentikan pengolesan. Sesaat ada rasa panas dan perih yang menjalar di kedua ketiakku.
“Huuuugh...” aku mengipasi ketiakku dengan kedua tangan.
“Aduuhhhh...” keluh Nunik meringis seperti cacing kepanasan.
“Aww.. aw.. panassss...!” aku berteriak tak kuasa menahan rasa panas dan perih. Aku merasa dua ketiakku seperti sedang dipanggang dalam oven. Segera aku meluncur ke kamar mandi menyusul Nunik di belakangku.
Tanpa permisi, aku dan Nunik mendobrak−−menerobos masuk ke kamar mandi yang baru diisi Yani. Alangkah kagetnya Yani yang setengah telanjang pun histeris.
“Heyy.. kalian mau ngapain?” hardik Yani sambil menutupi tubuhnya dengan handuk.
“Panas Yan, panasss!” ujarku.
Aku dan Nunik langsung mengubek ember besar, membasuh ketiak bahkan merendamnya beberapa saat. Bibir Yani menyeringai melihat tingkah jorok dua temannya.
“Ihh.. jorok amat” bentaknya.
“Ntarlah kita ganti airnya” sahut Nunik dengan nafas tersengal-sengal.
“Huuuufhh...”
Setengah jam kemudian, aku dan Nunik berbaring di kamar dengan menempelkan dua bongkah es batu di ketiak masing-masing, merasakan perih yang tak kunjung reda.
“Sialan kamu Chie. Bukannya mujarab, malah bikin aku sengsara saja.”
“Aku nggak tahu kalau rasanya seperti ini. Kenapa bulu ketiaknya belum juga rontok ya?” aku menjawil dan menggoyang-goyangkan bulu ketiakku yang tertanam kuat di lapisan kulit terdalam.
“Itu pasti resepnya palsu!”
“Nggak mungkin palsu, soalnya aku pernah membuktikan. Ketika rambutku nyaris botak, aku menggunakan tips dari buku yang sama, hasilnya nggak pernah rontok lagi malahan tumbuh lebat.”
“Siapa tahu penulisnya salah ketik, mungkin saja ramuan itu untuk menguatkan atau bahkan menumbuhkan bulu.”
“Nggak tahu juga, tapi kenapa rasanya mesti separah ini?” Sesaat kami saling lempar pandang. Tak mengerti.
**
No comments:
Post a Comment