STATSIUN KERETA


Senja kian temaram, aku yang sudah berbulan-bulan di kampung selalu merindukan suasana Bandung. Ini kesempatan melepas rinduku di kota kembang, setelah sebelumnya; tepatnya satu setegah jam yang lalu aku bertandang ke Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang berada di Lembang, menjenguk adikku tercinta saat mengikuti kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan pihak desa se-Jawa Barat.
Kupandangi gedung-gedung, tak banyak berubah. Memutar kawasan pasar baru, mengenang kebersamaanku dengan Nunik. Tak terasa waktu kian larut, adzan maghrib pun berkumandang. Selepas sholat dan mengisi perut, aku langsung meluncur ke statsiun kereta. Kutanyakan pada petugas di peron setempat, menurutnya aku telah ketinggalan kereta beberapa menit yang lalu. Untung masih ada pemberangkatan yang terakhir. Syarat, harus menunggu hingga pukul delapan malam.

Malam itu, cuaca Bandung seperti masih perawan. Teramat dingin, menusuk tulang persendianku. Aku yang tiba-tiba ingin mengenakan jilbab duduk seorang diri di dalam statsiun menunggu KRD terakhir tujuan Cicalengka. Datang seorang pria berperawakan atletis dengan gaya rambut cepak khas tentara duduk di sampingku.
Benar dugaanku, dia seorang tentara. Selain dari perawakan dan gaya rambut cepak-nya, terlihat jelas dari logo kesatuan yang ada di topinya. Walau baju yang dikenakan bukan baju loreng tapi di kaos panjangnya tertulis sangat jelas Rindam 3 Siliwangi, lengkap dengan celana, tas ransel dan sepatu boots-nya.
“Mau ke mana teh, kok sendirian?”
Aku tersenyum hambar “Ke Cicalengka.”
“Mana si ‘aa nya?”
“Nggak ada, lagi di rumahnya!” jawabku serampangan.
Kami berdua terlibat perbincangan yang sangat menjemukan. Bumi ini begitu luas, tak mungkin pula isinya tentara semua. Kenapa di setiap sudut kota Bandung yang harus kutemui adalah para tentara? Apakah memang aku ditakdirkan berjodoh dengan seorang tentara? Sungguh kebetulan yang tidak diinginkan. Pria ini begitu percaya diri. Dia meminta nomor handphoneku, aku hanya tersenyum tidak mengindahkan keinginannya. Dia begitu memaksa, sampai-sampai dia bersumpah serapah segala. Parahnya dia meng-atas-nama-kan pengandaian untuk meyakinkanku.
“Kamu ini orangnya naif atau apa sih? Masa tidak bisa membedakan orang yang serius dengan orang yang hanya sekedar bergurau saja?”
“Bukannnya begitu bang! Logikanya, mana ada orang yang percaya begitu saja dengan orang baru beberapa menit dikenalnya? Sudahlah bang jangan terlalu memaksa, jika kita berjodoh, suatu saat kita akan bertemu kembali!”
“Memang, kalau berjodoh pasti akan bertemu kembali. Tapi bukankah segala sesuatunya harus ada jalan? Sekarang saja kita bisa bertemu karena aku dan kamu berniat keluar rumah. Coba kalau salah satu di antara kita diam di rumah, belum tentu kita kenal seperti ini kan? Justru kamu yang jangan terlalu menutup diri, bukankah jodoh juga tidak datang begitu saja, harus dicari?”
Aku benar-benar malas bicara, senyum kecut menjadi jawabanku.
“Nah, sekarang aku hanya minta nomormu saja, masa tidak dikasih?”
“Aku nggak punya nomor handphone bang!”
“Hee.. tadi bilangnya jangan maksa, berarti kan ada. Sekarang lain lagi, nggak punya nomor. Kalau nggak mau ngasih ya bilang saja!”
“Itu abang tahu jawabannya!”
“Ya kenapa sampai nggak mau ngasih segala, bukannya wajar jika orang ingin kenal lebih dekat?”
Aku tidak bisa menjelaskan alasan pastinya, tapi aku benar-benar tidak ingin melanjutkan perkenalan ini. Sepintas, aku teringat akan perkenalan kak Rizal dengan teh Riana. Kabar yang kudengar dari Yani, pertemuan mereka berawal di sebuah kereta. “Mungkinkah perkenalanku dengan bang Merlin akan berlanjut ke hubungan yang serius?” gumamku dalam hati.
“Sekarang kamu pulangnya ke Cicalengka, apa perlu saya ikut ke sana dan hari ini juga aku melamar pada saudaramu?” bang Merlin membuyarkan lamunanku.
Mataku terbelalak, spontan aku berbicara “Apa-apaan sih? Nggak perlu, justru dengan cara seperti itu kamu semakin menakutiku!”
“Takut kenapa? Niatku baik.”
“Ya karena sikap kamu yang berlebihan. Ingat, kita baru saja kenal. Rasanya susah untuk memercayai orang begitu saja.”
“Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang!”
“Begitu ya cara para tentara berkenalan? Memaksa meyakinkan, jika sudah bosan ditinggal begitu saja. Aku tidak perlu banyak janji, tapi bukti!”
“Rupanya ada trauma di masa lalu? Jangan samakan semua tentara seperti itu. Seperti yang sudah kubilang tadi, jika kamu ingin bukti, aku bisa saja malam ini juga datang ke rumah saudaramu dan melamarmu sekarang juga, bagaimana?”
“Gila!”
Pria itu tersenyum padaku. Dari samping kiriku muncul seorang ibu muda.
“Boleh ikut duduk di sini?”
“Oh.. silahkan teh! Teteh mau ke mana?”
“Rancaekek, eneng ke mana?”
“Cicalengka teh!” aku merasa lega, setidaknya aku tidak harus mendengarkan bualan bang Merlin lagi. Lama juga aku dan teteh itu berbincang. Bang Merlin berkali-kali berbisik, tak kuhiraukan.
“Sebentar lagi keretanya datang, kita jangan nunggu di sini, pindah ke ujung sana yuk!” teteh itu bangkit dan menarik tanganku. Tentu saja aku kegirangan, kesempatan ini yang kutunggu dari tadi. Aku pun beringsut mengikuti jejaknya tanpa berpamitan sama bang Merlin.
 Langkahku dipercepat, ada ketakutan jika bang Merlin mengekor dari belakang. Sesekali aku melihat ke belakang, sosok pria itu tidak terlihat sama sekali. Aku menarik nafas lega. Dari kejauhan KRD ekonomi yang ditunggu sudah menampakkan wujudnya.
Aku duduk berdampingan dengan teteh yang baru kukenal. Mataku celingkukkan melihat sekeliling gerbong yang kutumpangi. Aman, gumamku. Aku dan teteh di sampingku tertidur hingga beberapa kali persinggahan.
“Sudah di mana ini neng?”
“Baru sampai Gedebage teh!”
“Oh.. tinggal satu pemberhentian lagi, nanti setelah ini baru Rancaekek. Tolong lihat-lihat ya, takutnya teteh ketiduran!”
“Iya teh!”
Kereta berhenti di Rancaekek, teteh di sampingku beringsut dan pamitan padaku. Kurang dari separuh penumpang yang masih tersisa. Aku panik, manakala melihat ke sekeliling, tidak ada perempuan sama sekali. Dalam satu gerbong tinggal aku saja perempuannya. Kulihat rerata penumpang masih muda−−banyak yang bertato−−bertindik dan berambut jabrik membuat adrenalinku berdesir. Mereka melihat ke arahku yang hanya seorang diri, aku tak sabar ingin segera terbebas dari situasi seperti ini. Sedikit demi sedikit, aku bergerak ke arah dua lakilaki tua yang duduk jauh di sampingku.
“Pak, ikut duduk di sini ya!”
“Silahkan. Habis dari mana, kok sendirian?”
“Dari Lembang pak, tadi ketinggalan kereta.”
Berada di dekat mereka, membuatku sedikit merasa nyaman.
“Kerja di sana?”
“Bukan pak, jengukin adik. Tadinya mau langsung pulang tapi karena kesorean kuputuskan menginap saja di rumah saudara.”
“Oh.. bukan asli sini?”
“Bukan, aku dari Banjar. Kebetulan punya saudara di Cicalengka.”
“Tenang saja, sebentar lagi sampai kok!”
Aku menganggukkan kepala. Tak lama kereta pun berhenti. Aku tak langsung turun, menunggu para lekaki itu turun duluan. Keluar dari pintu statsiun, aku seolah menghirup kebebasan. Segera meluncur ke tempat tujuan dengan menyarter ojek.
**

No comments:

Post a Comment