Hanphoneku berdering untuk yang kesekian kalinya. Kulihat di layar, orang yang itu-itu juga, Pandu. Aku benar-benar terganggu, saban hari−−saban waktu dia menelpoku. Tak ada yang penting dari pembicaraanya. Basa-basinya membuatku jenuh.
Kerja kerasnya membuatku luluh, hingga pada akhirnya memaksaku—dengan malas mengangkatnya.
“Bagaimana jawabanmu?” tanya Pandu.
Aku terpana, tak menyangka secepat itu dia menagih janji.
“Maksudmu?” berlaga bego.
“Pertanyaanku seminggu yang lalu!”
“Oh...” aku mendesah “Rasanya terlalu cepat..”
Dia memotong ucapanku “Aku tak peduli jawabanmu seperti apa, yang pasti aku hanya minta kepastianmu saja. Ya atau tidak?”
“Bagaimana ya? Aku bingung!”
“Kenapa mesti bingung?”
“Bagaimana pun juga aku bingung mesti mulai dari mana?”
“Kamu hanya tinggal memilih antara dua jawaban ya atau tidak?” dia terus mendesak.
“Sebelumnya aku minta maaf jika jawabanku tak berkenan. Aku masih ragu dengan perasaanku ini. Sepertinya aku belum bisa melupakan mantanku..” aku mendesah lagi sementara Pandu terdiam. Mungkin saja saat ini dia mulai mengerti ke arah mana pembicaraanku ini.
“Alangkah baiknya kita berteman saja, setidaknya untuk saat ini. Jujur saja aku belum terlalu mengenalmu, begitu juga dengan kamu! toh dicoba juga tak akan baik hasilnya, hanya akan melukai perasaan masing-masing”
“Baiklah!” sahutnya.
**
Ririn mengetahui masalah ini. Di sela-sela libur kerjanya dia menyambangi kontrakanku. Entah keberanianya datang dari mana, dia berbicara padaku tentang kegundahan hatinya selama ini.
“Chie, kamu jangan kaget ya. Setelah kamu tolak, sekarang Pandu sudah punya gantinya.”
“Baguslah, setidaknya aku tak perlu mencari-cari alasan lagi untuk menghindarinya. Aku juga tak perlu merasa bersalah karena sudah menolaknya.”
“Iya, tapi kamu tahu siapa yang sekarang dia pilih?”
“Siapa?”
“Kamu masih ingat dengan Sita yang waktu itu aku kenalkan pada kalian berdua?”
“Tentu, bukankah dia teman baikmu?” aku terhenyak menyaksikan air muka Ririn yang seketika berubah. Dia menjelaskan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Memang dia teman baikku, tapi tak disangka dia akan tega menikamku dari belakang”
Aku terdiam mulai mengerti apa maksudnya dan terus menyimak perkataanya “Teman yang aku bela-belain dan aku bangga-banggakan merebut apa yang aku sayangi. Ternyata hanya sebesar itu rasa persahabatannya.”
“Kamu sungguh ada hati pada Pandu?” Ririn memejamkan mata, tak mejawab. “Sejak kapan itu terjadi?”
“Sudah lama. Jauh sebelum aku kenalkan dia padamu.”
“Bodoh.. kenapa kamu nggak bilang? Tiap kali kutanya, kamu selalu menampiknya.”
Sejenak dia memandangku dan berkata “Karena kamu teman baikku dan aku sayang sama kamu.”
Aku marah, tak percaya “Mengapa kamu lakukan semua ini?”
“Sudah kubilang, karena kamu teman baikku. Aku tak tega melihatmu kecewa saat ditinggal kak Rizal. Aku pikir kamu akan bahagia jika ada seseorang yang mengisi kekosongan hatimu kembali.”
“Dan kamu berpikir orang itu Pandu? hmm.. salah Rin. Tentang perasaanku bukanlah urusan kamu” aku sungguh sedih dan tak mengerti kenapa teman baikku ini begitu bodoh dan polos.
“Kamu pikirkan saja kebahagiaan kamu sendiri. Jangan sampai mengorbankan perasaanmu sendiri hanya demi menjaga perasaan orang lain. Kamu tahu sendiri kalau aku tak menyukai Pandu. Sekarang kamu pasti kecewa berat karena Pandu memilih Sita.”
Ririn terlihat begitu kecewa dan memalingkan mukanya.
“Apa Sita tahu tentang perasaanmu pada Pandu?”
“Tentu. Dia teman curhatku. Bahkan ketika aku merencanakan kedekatan kamu dengan Pandu, dia pun tahu semuanya.”
“Begitu ya? Terus ketika dia menjalin hubungan dengan Pandu, apa dia peduli dengan perasaanmu?” lagi-lagi Ririn tak menjawab.
“Rin, kalau dari awal kamu jujur padaku, bagaimana pun caranya aku akan berusaha membantumu. Aku juga sayang kamu Rin! Sekarang sudah tak ada gunanya. Walau aku membenci perlakuan Sita padamu, aku tak mungkin berusaha merusak hubungan mereka. Karena itu artinya, aku sama saja seperti Sita yang tidak bisa menghargai arti sebuah persahabatan.”
“Biarlah mereka begitu. Tak ada yang salah, memang mereka saling mencintai.”
“Maafkan aku. Sebagai sahabat, aku kurang peka terhadap perasaanmu Rin!”
**
No comments:
Post a Comment