“Kalau kamu di kampung, siapa yang suka ngasih motivasi?” cetus mbak Murni di saat aku menyambangi kediaman barunya di asrama tentara sekitar kawasan Cimahi.
“Hmm.. siapa ya, rasanya nggak ada mbak!”
“Nggak ada? Terus gimana kamu kalau kamu sedang down?”
“Tak banyak yang kulakukan. Hanya merenung.”
“Me-re-nung?”
“Ya, memikirkan langkah apa yang harus kulakukan walau hingga saat ini belum ada jalan keluarnya.”
PERBINCANGAN itu terjadi sekitar enam bulan yang lalu. Mbak Murni adalah salah satu teman baikku sekaligus motivator buatku.
Malam ini hampir sama dengan malam-malam sebelumnya, aku tak dapat memenjamkan kedua bola mataku hingga waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Hampir setiap hari aku selalu gelisah tanpa sebab. Aku bangkit dari ranjang, kupandangi wajahku di cermin,
“Lihatlah, tanpa motivasi dari orang lain betapa rapuhnya dirimu sekarang ini.” “Apa setiap saat kamu akan selalu mengandalkan orang lain untuk membangkitkan semangat hidupmu? Sungguh kasihan dirimu!”
“Selama ini kamu selalu menyalahkan orang lain atas ketidakberuntungan hidupmu. Kamu selalu menyalahkan kedua orangtuamu atas nasib buruk yang menimpamu. Parahnya, disadari atau tidak, kamu sering menghujat tuhanmu. Kamu menganggap tuhanmu sudah berlaku tak adil. Sangat menyedihkan! Orang-orang di luar sana pontang-panting mengais rejeki, berjibaku dengan bahaya. Kamu masih beruntung, kehidupan kamu tidak se-tragis mereka-mereka yang ada di luar sana.”
“Ingat, sering-seringlah kamu melihat ke bawah. Kamu, punya tempat tinggal dan orangtua yang masih utuh, sedang mereka di luar sana? Jangankan tempat tinggal, untuk mengisi perut saja mereka harus bermadikan peluh dan bersaing menghadapi kerasnya dunia. Tapi lihatlah... mereka bisa bertahan hidup dan berdiri tegak. Mungkin sebagian diantara mereka ada yang sama sekali tidak tahu siapa dirinya sesungguhnya, terlahir dari siapa saja mereka tak tahu. Yang lebih mengerikan lagi, beberapa diantaranya banyak yang terjerumus ke jurang kemaksiatan. Sungguh kasihan, mereka harus bertahan dengan kehidupan yang mengerikan. Sekali lagi... kamu masih beruntung, walau terkadang kamu menghujat dan melalaikan perintah-Nya tapi tuhan masih menyayangimu dan membawamu ke jalan kebenaran.”
Aku mendesah panjang “Berhentilah mengeluh dan jangan mengharapkan bantuan orang lain walau itu berbentuk sebuah motivasi sekalipun. Biasakan dirimu berdiri tegak di atas kedua telapak kaki kamu dan berjalanlah dengan pasti untuk kemajuan hidupmu. Banyaknya ombak yang menerjang hingga membuatmu jatuh bangun adalah wajar, karena itu merupakan hukum alam kehidupan. Berubahlah dan segera bertaubat. Jangan merasa takut, kecuali pada satu; tuhan sang pencipta; Allah azza wajalla.”
Entah mengapa hari ini aku merasa setitik Nur menerangi alam raya hatiku. “Apa yang sebenarnya kamu cari? Selama ini... kamu selalu menuntut banyak pada tuhanmu. Lalu, apa saja yang sudah kamu berikan pada tuhanmu yang terkasih itu?” kutarik nafas dalam-dalam, “Tak banyak! Masih jauh dari apa yang telah kuperoleh.” Kembali aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan,” Tidakkah kamu malu, terus meminta tapi jarang memberi?”
“Aku malu, sungguh... aku malu padaMu tuhan!”
Perang batinku semakin gencar. Rasa sesak menyelimuti rongga dada, hatiku perih bagai tersayat-sayat. Sudah tak terhitung berapa kali dan berapa banyak jumlahnya, air hangat berjatuhan dari pelupuk mataku. Seketika aku membuka lemari baju, mataku menatap tajam pada sehelai jilbab putih yang lekas kuraih. Entah apa yang menggerakkan tanganku ini, kucoba mengenakannya.
Subhanallah...hatiku bergetar hebat, aku merasa benar-benar nyaman dan terlindungi. Untuk kesekian kalinya, sungai kecil mengalir membanjiri kedua pipiku. Penyesalan terdalam sungguh mengoyak nuraniku.
“Sudah sepantasnya kamu menutup semua auratmu!”
“...Tapi, rasanya aku belum siap. Nanti saja!”
“Apalagi yang kamu tunggu? Mau sampai kapan? Kalau tuhan belum membukakan mata hatimu, apa kamu mau terus seperti ini? Bagaimana jika kamu belum sempat bertobat lantas tuhan mengambil nyawamu? Na’udzubillah.”
Aku maggut-manggut seraya bergumam “Ya, aku tak perlu banyak menunggu! Hanya perlu melakukannya sekarang. Jangan tunggu sampai besok, besok dan besok lagi. Karena selanjutnya akan ada besok yang terus berlanjut. Itu artinya, banyak waktu yang terbuang sia-sia karena sebuah penundaan. Ingat! penundaan dalam melakukan hal baik sama dengan menanamkan benih sifat malas dalam diri. Jika manusia sudah dikuasai sifat malas, hidup pun terasa hambar, tak bergairah lagi. Selamatkanlah dirimu dari sifat yang dibenci tuhan, yaitu pemalas!”
Segera berlalu mengambil air wudhu. Kuayunkan tanganku seraya mengucapkan takbiratul ikhram, mengabdikan diri dan mencurahkan isi hati ini ke hadapan-Nya. Rangkaian penghambaanku pun usai setelah mengucap salam. Aku menangis tersedan, merasakan kenikmatan dan kedekatan spiritual dengan sang Khalik.
Kubersimpuh di hadapanya dengan berderai-derai “Terimakasih tuhan atas segala nikmat yang telah kau beri kepada hambamu ini. Izinkanlah hamba untuk selalu dekat denganMu. Berikan hamba kesempatan untuk menebus segala kesalahan yang pernah hamba perbuat, begitu juga kesalahanku terhadap ibu-bapak. Terutama ibu. Ya, ibu! Memang harus ibu terlebih dahulu, ibu.. ibu.. dan ibu.. seperti yang disabdakan baginda nabi besar Muhammad saw. Walau aku tak pernah sepaham dengan ibu, walau IBU tak seperti ibu yang lainnya, walau selama hidup aku tak pernah merasakan belaian ibu, walau sepanjang hayat dikandung badan aku harus menerima keterbatasannya. Insyaallah mulai saat ini aku ikhlas...”
Aku mulai mengerti siapa aku ini dan apa tujuan dalam hidupku. Tuhan yang bertahta di Arsy-Nya telah membuka mata hati dan alam pikiranku. Pahit-manis, pasang-surut, naik-turun harus kuhadapi. Karena keinginan terbesarku adalah membuat kedua orangtua bahagia sebelum suatu saat datang seseorang yang akan membawaku menuju kehidupan baru−−mahligai pernikahan.
Melakukan pendekatan secara psikologi demi pemulihan kejiwaan ibu yang selalu mengunci diri dari keluarga dan lingkungan sekitar terasa sangat penting di sisa-sisa hidupku ini. Terlebih, agamaku mengajarkan untuk selalu menghormati ibu.
“Ibu harus aku selamatkan!” itu tekad bulatku, karena aku sungguh-sungguh menyayanginya.
“Tidak ada kata terlambat, hanya saja aku perlu bersabar untuk tujuanku ini sekalipun aku harus menjadi ibu buat ibuku sendiri. Aku yakin aku bisa, karena aku sudah dewasa, toh.. suatu saat juga aku pasti menjadi seorang ibu.”
Biarlah... aku terlahir dari seorang ibu yang tak bisa menunjukkan rasa kasihnya, biarlah... aku terlahir dari seorang ibu yang banyak memiliki keterbatasan, Biar pula aku terlahir dari seorang bapak yang dingin dan kurang bertanggung jawab, itu bagian yang tak bisa lepas dariku. Aku ikhlas! Akan kutunjukkan pada isi semesta ini; pada rumput yang bergoyang, pada burung yang berdendang, pada semilir angin yang berhembus, pada gemericik air, juga pada penduduk dunia; masyarakat sekitar, teman-teman dan sanak-saudara; bahwa aku BUKAN-lah PRODUK GAGAL! Karena manusia terlahir bukan untuk GAGAL, namun proses untuk menuju sukses sangatlah relatif. Terkadang panjang, berliku bahkan melelahkan.
Pagi pun bersahutan, seruan yang teramat merdu didendangkan seorang muadzin melalui cerobong speaker toa. Mengajakku untuk melakukan tarian penghambaan, tarian yang menyejukkan jiwa, merajut tali kasih dengan sang pemilik-Nya, illahi rabbi.
**
No comments:
Post a Comment