Sudah jatuh tertimpa tangga! Benar-benar kesabaranku sedang diuji. Setelah dirumahkan, cobaan lain menghampiri. Afrizal−−yang kupikir adalah satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara, kini sikapnya mulai berubah. Bahkan ketika aku sakit pun hanya sekali dia menjenguk. Dalihnya sedang sibuk urusan kantor, latihan upacara ser-tijab (serah terima jabatan) komandan.
Niatku menelponya hanya mau minta arahan. Secara, umurnya lebih tua dan memang dia lebih dewasa dariku. Bukannya men-support, melainkan sikap pengacuhannya mulai dia perlihatkan. Aku kecewa. Ketika aku bertanya, jawabannya hanya ‘Aku turut prihatin’ dan ‘Terserah’ itu yang sering terlontar dari mulutnya. Sama sekali tidak memberikan jalan keluar yang tepat, benar-benar tidak bisa diandalkan.
Nunik menenangkan aku. Mengisi kekosongan waktu selama dirumahkan, kami merencanakan untuk melamar kerja di tempat lain. Terpaksa aku harus pulang membuat syarat-syaratnya. Karena sudah sore dan diburu waktu, ingatanku melayang ke Afrizal. Aku mengirim pesan singkat pada Afrizal, minta tolong padanya supaya mengantarku ke terminal. Jangankan mengantar, membalas pesanku saja tidak sama sekali. Sibukkah? Hingga tak sempat membalasnya. Atau memang sengaja tidak mau membalas? Aku hanya bisa menduga−−kesal sekali. Kuputuskan untuk menelponnya.
“Maaf aku tak punya pulsa, jadi pesannya tak kubalas. Maaf juga, aku tak bisa mengantarmu ke terminal. Minggu-minggu ini, aku lagi sibuk, latihan upacara. Kamu ngertikan? Ada alasan apa mau pulang kampung segala?”
“Ya nggak apa-apa kalau nggak bisa nganter mah. Aku mau bikin syarat-syarat buat ngelamar kerja”
“Ngelamar ke mana? Terus berapa lama di kampungnya?”
“Ke mana saja lah, namanya juga usaha. Nggak tahu juga, mungkin seminggu!”
“Seminggu? Lumayan lama ya?”
“Pokoknya nunggu urusan beres, baru balik lagi ke sini.”
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Sekali lagi maaf ya!”
“Nggak apa-apa!”
“Jangan marah dong! Eh.. nanti pulangnya jangan lupa bawa oleh-oleh ya..!”
Aku hanya tersenyum dan menutup telpon. Akhir-akhir ini dia berubah, bahkan bila bertemu jarang sekali bicara.
Ternyata pas aku pulang kampung, syarat-syarat itu sudah selesai. Memang, sebelum mudik, aku menghubungi orang rumah dan meminta mengurusnya. Aku hanya membuat .SKCK saja dan itu aku wakilkan pada bapak.
Awal yang baik. Minggu pagi aku memutuskan untuk kembali ke Bandung. Kupikir, lebih cepat lebih baik. Karena syarat lainnya bisa nyusul di Bandung. Sengaja aku tak memberitahu semua teman-temanku di Bandung, biar mereka terkejut. Pikirku.
**
Dalam perjalanan ke Bandung, kira-kira satu jam lagi sampai ke tempat tujuan. Hatiku berdebar, jantungku berdegup tak menentu. Mencoba menarik nafas dan berusaha tenang, tetap saja tak bisa. Makin dekat−−detak jantungku semakin kencang.
Kamarku berada di urutan ketiga setelah kamar Yani dan Mirna. Sudah pasti akan melewati kamar Yani terlebih dahulu. Di koridor, tepatnya di depan pintu kamar Yani, Mirna tengah duduk santai. Rupanya dia berbicara dengan orang di dalam sana. Lagi pada ngapain mereka?, pikirku.
“Sudah pulang lagi?” tanya Mirna heran.
“Iya, laper nih..!”
“Minta lauknya tuh sama si Yani, tadi dia habis masak. Kalau nasinya sih di aku juga banyak. Barusan aku juga minta ayam goreng.”
“Eh.. teh Achie, sudah pulang lagi? Lah katanya mau seminggu?” Yani keluar dari kamarnya, menyambutku.
“Nggak jadi Yan, urusannya sudah kelar. Ngapain lama-lama di kampung, mending nyari kerja lagi di sini. Mumpung masih punya bekal. Kamu masak apa, aku laper nih! Minta atuh..”
“Tuh ada ayam goreng tapi tinggal satu lagi. Barusan dimakan sama kak Rizal.”
“Ada kak Rizal?”
“Ada tuh di dalam!”
Aku melangkah melewati kamar Yani, hendak menyimpan tas besarku. Alangkah kagetnya, ketika aku melihat ke arah kamar Yani, nampak sesosok perempuan tengah duduk di samping Afrizal. Akrab sekali.
“Chie!” suaranya terdengar berat.
“Hai” aku menjawab datar dan segera berlalu meninggalkan mereka.
Yani mengikutiku, dan masuk ke kamarku. Aku penasaran sekali ingin bertanya padanya.
“Perempuan itu siapa Yan? Rasanya baru kali ini baru melihatnya.”
“Teman teh.”
“Teman? Teman di kerjaan? Tapi kok kak Rizal akrab banget ya?”
“Kan teman dari kampung. Teman kita, aku dan kak Rizal. Seumuran sama kak Rizal. Kebetulan dia kuliah di Bandung juga. Sekarang lagi libur, jadi dia main ke sini.”
“Oh..”
“Itu kalau mau makan di aku saja, nanti ngambil sendiri ya!” Yani berlalu meninggalkan aku yang sedang berganti baju.
“Chie, gila..! kak Rizal berani banget ya?” tiba-tiba Mirna mengagetkan aku.
“Apaan, aku nggak ngerti?”
“Masa kamu nggak tahu?
“Maksudmu?”
“Emang tadi si Yani nggak cerita? Soal cewek itu!” Mirna celingukan, mengintai keadaan.
“Oh.. itu yang di kamarnya Yani, yang lagi duduk di samping kak Rizal? Itu kan temannya mereka yang dari kampung.”
“Memang benar dia sekampung dengan mereka. Tapi kamu janji, jangan kaget ya, pura-pura nggak tahu saja!”
“Iya, tapi kenapa?”
“Kamu tahu kan, beberapa minggu yang lalu kak Rizal sempat pulang kampung?” Mirna menjelaskan, sedikit berbelit-belit.
“Ya aku tahu itu, kak Rizal jengukin bapakknya yang lagi sakit. Dia cerita soal itu. terus apa masalahnya?”
“Emang benar kak Rizal jengukin bapaknya yang sakit. Tapi kalau penyakit bapaknya mah bukan alasan penting. Soalnya kamu juga tahu sendiri kalau dari dulu bapaknya mereka memang sudah sakit. Kamu tahu alasan pastinya?” Aku menggelangkan kepala.
“Kak Rizal sengaja disuruh pulang oleh bibinya yang dari kecil merawat mereka. Dan cewek itu adalah orang yang mau dijodohin sama kak Rizal.” Aku menyimak baik-baik setiap kata yang meluncur dari bibir Mirna “Si Yani bilang, dia itu anak juragan angkot di kampungnya, bibi mereka dan bapaknya cewek itu sepakat ngejodohin mereka. Apalagi si ceweknya emang sudah suka dari dulu” kupikir, aku telah memberi kejutan pada semua orang yang ada di sini terutama Afrizal. Ternyata aku salah besar. Justru aku sendiri yang mendapat kejutan.
“Aneh ya, hari gini masih saja ada acara perjodohan, kayak jaman Siti Nurbaya saja” sambungnya.
“Terus gimana dengan kak Rizalnya?”
“Katanya terpaksa menerima. Tak enak hati sama bibinya yang sudah merawat mereka. Itu kata si Yani. Tapi kalau menurut aku, kayaknya kak Rizal juga punya maksud lain.”
Aku diam. Hari ini aku mendapatkan kejutan yang sangat−−sangat dan teramat sangat mengejutkan. Dua kali, kisah asmaraku diguncang prahara. Mungkin aku harus mengakhirinya. Air mata menetes, merasa jadi manusia tak dianggap. Mirna menyaksikan itu.
“Chie, kok kamu jadi cengeng gini sih? Katanya nggak bakalan sakit hati.”
“Bukan gitu Mir, aku merasa sedih saja. Di saat aku butuh support, dia malah bersikap seperti itu. padahal aku butuh support-nya untuk bisa melewati hari-hariku setelah aku dirumahin. Aku hampir putus asa.”
“Hampir, belum sampai kan? Sudahlah masih banyak laki-laki yang lebih baik darinya. Lagian kamu sendiri yang bilang padaku, kalau kamu nggak ngarep sampai berjodoh sama dia?”
“Iya juga, ngapain aku mesti nangisin orang lain yang mungkin sama sekali tak memedulikan aku. Terserah.. dia mau ngapain juga aku tak peduli. Sekarang aku hanya mau fokus ngelamar kerja.”
“Gitu dong, yang semangat!”
Minggu yang melelahkan hingga membuatku tersungkur di tempat tidur. Sementara Afrizal pulang tanpa berpamitan, mengantar calon istrinya. Walau begitu hubunganku denganya masih berjalan, karena dia menjelaskan inti permasalahannya padaku dan aku mencoba memahaminya. Namun tetap saja hubungan itu tidak seperti dulu lagi, dingin. Aku merasa Afrizal seperti orang asing yang tak pernah kukenal.
**
No comments:
Post a Comment