Hari demi hari, minggu demi minggu telah aku lewati. Pekerjaan tak kunjung kudapat. Panggilan interview dari perusahaan yang sudah dititipi lamaran pun belum ada kabarnya. Tanpa disadari, hari ini tepat tanggal tujuh belas Agustus. Hari paling bersejarah bagi semua warga negara Indonesia.
Enam puluh satu tahun sudah Indonesia merdeka. Secara de juresih begitu. Tapi secara de facto, negeri ini masih jauh dari kata merdeka. Negeri ini masih belum mampu menghantarkan rakyatnya ke pintu gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti yang termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bukan negerinya yang salah. Kesalahan justru bertumpu pada segelintir orang yang mengelola negara secara tak benar.
Ironi kehidupan yang menyedihkan. Di saat para pencari kerja seperti kami; katakanlah pengangguran terbuka (open unemployment),[1]potang-panting mencari kerja untuk sebuah penghidupan yang belum tentu layak. Kisah lain bergulir dari panggung politik ataupun birokrasi. Sebagian dari mereka berlomba-lomba mengeruk hasil bumi untuk kepentingan individu.
Atas nama negara, sesuai pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : /Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat/, mereka (para koruptor) menyalahgunakan amanat yang telah diembannya. Rakyat tetap saja melarat. Sebagai penoton yang awam, kami sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Semuanya melebur, tampak samar. Yang benar disalahkan dan yang salah jadi benar.
Bagi kami−−para pengangguran. Hal itu sudah bukan sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Terlalu berat kalau hidup hanya memikirkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab semacam itu. Biarkan saja mereka begitu, tohmasih ada lembaga ahli yang mengurusinya. Kalaupun kasusnya tidak terselesaikan di dunia ini, hukum tuhan masih berlaku tanpa pandang bulu. Pada dasarnya, hukum keadilan di mata manusia sama dengan hukum relatifitas. Sementara hukum keadilan di mata tuhan adalah mutlak, tak bisa ditawar.
Bagi orang-orang seperti kami, masih bisa makan saja sudah untung. Hari demi hari−−kami, dijejali dengan serentetan pertanyaan; ke mana—di mana−−dan apa yang harus kami kerjakan untuk menghasilkan sejumlah uang. Tanpa pengalaman sama sekali.
**
Letih sudah jiwa ini, rekreasi sepertinya bisa memulihkan kondisi jiwa yang sedang labil. Apalagi di tempatku tidak ada perayaan, sama seperti hari biasa. Seperti yang sudah-sudah−−tanpa perencanaan, kami meluncur ke daerah Ciwidey. Rombongan yang kompak. Satu armada penuh. Ongkos pun hanya buat beli bensin saja. Tapi kali ini tidak hanya muda-mudi saja, campuran orang yang sudah berumah tangga dan anak-anaknya.
Bendera dan umbul-umbul terpasang di sepanjang jalan, menghiasi seluruh pemukiman penduduk. Belum sampai setengah perjalanan, dengan tiba-tiba Nunik menghentikan laju angkotnya. Entah apa yang dipikirkannya. Sebelum berangkat dia terlihat panik.
“Mas... berhenti mas! Aku turun di sini saja. Aku nggak jadi ikut.”
“Kok gitu, emang kamu mau ke mana?” tanya mas Muhdi.
“Aku ada perlu mendadak mas. Barusan ada yang sms aku. Maaf ya teman-teman, aku pergi dulu!” dia pergi dengan terburu-buru, menyebrang dan naik angkot ke arah yang berlawanan. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Wah.. nggak seru dong kalau pada nggak jadi mah” Yani berujar sedikit kesal.
“Kamu harus maklum dong, mungkin dia memang ada perlu yang gak bisa ditunda” sahut Mirna. Aku hanya diam saja, memikirkan apa yang sedang terjadi pada sahabatku.
Rute pertama, ke Kawah Putih yang berada di kaki gunung Patuha. Tiba di sini tengah hari, di saat matahari sedang terik. Meski si Raja siang menyeburatkan cahayanya, cuaca di sini terasa dingin, sampai-sampai kami tak berani melepas jaket.
Aku, Mirna, Yani dan mas Dito berfoto bareng di dekat gua peninggalan jaman penjajahan Jepang. Herti tidak bisa ikut karena lebih memilih pulang kampung dan mengenalkan mas Nano sebagai calon pendamping hidupnya. Beruntung sekali dia, tak banyak batu sandungan dalam hidup hingga akhirnya bisa dengan mudah melenggang ke pelaminan.
Kami berjalan mengitari pinggiran kawah. Aroma belerang sangat menyengat membuat nafas kami sesak hingga terbatuk-batuk. Di depan ngarai, diantara air kawah yang berwarna kuning-kehijauan, kami beraksi lagi. Berfose untuk kesekian kali. Fose kali ini beda, tangan kami saling berpegangan, seolah membuat mata rantai yang tak putus. Seperti itu pula persahabatan yang kami harapkan.
Perjalanan selanjutnya, ke sekitar Situ Patengan yang dikenal juga dengan nama Situ Patenggang, kebetulan lokasinya berada di desa Patengan kecamatan Rancabali. Nama situ sendiri diambil dari bahasa Sunda yang berarti danau. Sedang nama Patenggang atau Patengan berasal dari kata Pateang-teangan.[2] Konon, danau itu terbentuk dari tangisan dua insan yang sudah lama terpisah.
Suasananya sejuk dengan pepohonan Pinus di sekitar situ dan hamparan kebun Teh di bukit yang menjulang mengelilingi kawasan situ. Kami juga menyempatkan diri berfoto di depan batu tulis atau prasasti yang didalamnya tertulis kisah cinta yang melegenda antara anak prabu yang bernama Ki Santang dengan Dewi Rengganis.
Ada juga batu cinta yang konon merupakan tempat bertemunya antara dua insan yang sudah lama terpisah itu. Perahu nelayan, kebun Teh yang katanya terbesar kedua di negara tercinta ini dan kebun Strawberry jadi saksi persahabatan kami.
**
No comments:
Post a Comment