TERROR



Aku tahu perempaun di masa lalunya Afrizal sangat mencintainya. Tak pernah  membayangkan kalau dia akan melakukan aksi sekeji ini. Belakangan, aku mendapat pesan misterius. Awalnya, aku tak terlalu mempermasalahkan karena pengirimnya saja tak jelas siapa.
//HAI, CEWEK BERENGSEK!! BOLEH KENALAN TIDAK?// isi pesan yang pertama, aku tak membalasnya. Meski aku sempat geram. Kupikir dia orang iseng, sengaja aku  mengabaikannya.
//KAMU SIAPANYA AFRIZAL?, BOLEH KITA BERTEMU?// setelah sekian jam tak dibalas nampaknya si peneror masih tak puas. Pesan kedua mulai memacing reaksiku, tapi aku hanya membalas sekenanya saja. //KAMU SENDIRI SIAPA?, PAKE NGAJAK-NGAJAK KETEMUAN SEGALA!//
//KENALKAN, AKU KEKASIHNYA AFRIZAL. KAMU ADA WAKTU? KAPAN KITA BISA BERTEMU? (RIANA)// bagai disambar halilintar, berang sekali aku membacanya. Sorot mataku hanya tertuju pada tulisan di dalam kurung; nama si peneror. RIANA?! Jelas, nama itu aku tahu. Dia adalah perempuan masa lalunya Afrizal. Bahkan beberapa kali aku sempat bertemu meski tak pernah bertegur sapa, saat hubungan mereka masih berjalan baik.
Waktu itu Afrizal membawanya dengan maksud berkunjung menemui Yani, adiknya. Lalu, bagaimana dia bisa menghubungiku? Dari mana dia tahu nomorku, apa Afrizal masih menemuinya? Ya... pasti mereka masih sering bertemu dan dia tahu nomorku dari Afrizal. Tapi untuk apa? Jangan-jangan meraka masih berhubungan? Lalu aku, bagaimana dengan diriku? Apa aku hanya pelariannya saja dan menjadi orang ketiga? Pasti dia tahu hubunganku dengan Afrizal? Pertanyaan berjejal di benakku. Belum juga aku membalas, di kotak masuk sudah ada pesan baru.
//JANGAN DEKATI AFRIZAL, KALAU TIDAK.....  // Jelas sekali maksud dan tujuannya adalah mengancamku. Buru-buru aku bergegas ke balkon menemui Afrizal yang sedang duduk santai selepas bermain voli. Aku menunjukkan pesan teror itu padanya, dia menjawab santai “Jangan diambil pusing, abaikan saja! Nanti juga dia berhenti sendiri.”
“Masalahnya dia yang neror aku duluan. Masa aku nggak balas” dengan marah aku menjawab.
“Kalau kamu membalasnya, itu berarti kamu sama gilanya dengan dia.”
“Iya Chie, nggak usah diladenin. Diamin aja!” Mirna yang kebetulan berada di tengah konflik ikut menenangkan aku.
“Ya.. diamin saja. Nanti dia capek sendiri. Itu satu-satunya solusi” gumamku dalam hati. Tapi aku tak bisa diam begitu saja, seolah-olah teror ini sudah menjadi medan magnet yang menarikku untuk terus menyelidikinya.
“Tapi.. dari mana dia tahu nomorku? Apa kamu yang ngasih?”
“Aku nggak pernah ngasih, buat apa? dia sendiri yang suka ngotak-atik handphoneku.”
Dari pernyataanya aku langsung menyimpulkan “Ohhh... jadi kamu masih sering bertemu dengannya? Jangan-jangan kamu balik lagi sama dia, atauuu.. selama ini kamu masih ada hubungan dengan dia?” aku memberedelnya dengan pertanyaan yang membabi buta seolah-olah ingin mengeluarkan apa yang ada di benakku.
“Ya.. sudah pasti aku sering bertemu dengannya, orang motorku di sana, disewa bapaknya buat ngojeg. Otomatis aku sering ke sana ngambil uang setoran.”
“Kenapa nggak kamu pakai sendiri motornya, lagian si teh Riana kok lancang banget ngotak-atik handphonemu. Aku saja nggak berani!”
“He eh ya... aneh banget!” tak banyak kata yang terucap dari bibir Mirna, tapi itu sudah menunjukkan dukungannya.
“Bisa saja aku ambil motornya, tapi pasti bapaknya Riana akan kehilangan mata pencahariannya. Mana tega aku berbuat begitu. Lagian kamu sendiri tahu aku sudah punya motor lagi meski dari hasil nge-gade. Aku taruh di mana motornya? Di asrama juga? Nggak mungkin kan? Ayolah.. kamu nggak usah cemburu berlebihan. Tapi ya.. terserah kamu mau percaya atau tidak.”
Sebenarnya aku masih kesal, kenapa pula Afrizal mesti merasa tak enak hati pada keluarganya Riana padahal itukan bukan tanggung jawabnya Afrizal. Apa karena hutang budi itu? Ah... sudahlah aku tak mau memikirkan sesuatu yang bisa mengganggu hubunganku dengan Afrizal.
**

No comments:

Post a Comment