Aku tak yakin dapat melakukannya sendiri. Partnerkerjaku, mbak Murni dapat jatah libur hari ini. Pasti pekerjaanku menumpuk. Bisa dikatakan ini puncak karirku selama setahun lebih bekerja di pabrik kaos-kaki. Aku diberi tampuk kepercayaan untuk menjadi asisten kepala regu. Jabatan yang setahap lebih tinggi dari operator biasa. Alasan para atasan memilihku karena aku tipe orang yang rajin juga tak banyak omong. Maaf bukannya narsis! Tapi itu pernah dikemukakan Mbak Murni padaku−−pada suatu waktu. Bagi operator lain yang sedikit iri, mungkin aku tak lebih dari seorang kacung yang harus meladeni kebutuhan mereka. Tak apa!
Usai absensi, aku menuruni anak tangga langsung memimpin do’a karena tak ada seorang pun atasan di lobi. Kepala regu 1 mbak Darsinah sedang cuti hamil sementara
kepala regu 2 mbak Sumiati seminggu yang lalu baru saja melahirkan. Otomatis di areal hanya ada mandor, mbak Murni sebagai wakil kepala regu juga aku yang baru beberapa bulan dinobatkan sebagai asisten. Jam kerja sudah dimulai, semua karyawan memasuki areal, seperti biasa melakukan overshift. Berkeliling mengecek mesin yang jalan dan mengecek bahan baku yang dibutuhkan adalah salah satu tugasku. Koko Herry memberikan seorang bantuan untukku, Yusleni namanya.
Kami berdua tak bisa berleha-leha, langsung ke gudang benang membawa sebuah lori. Setengah jam kemudian tiba di areal, operator menyambut dengan riuh, saling seruduk kebiasaan yang tak asing.
Aku dan Leni kembali ke meja kerja, mencatat jenis kaos-kaki di buku produksi sementara Leni menulis jenis kaos-kaki serta ukurannya untuk menimbang BS-Lokal. Hari ini banyak rombakan di mesin, beberapa PDK baru yang sudah di-Acc harus segera dijalankan di mesin. Kusalin bahan baku yang diperlukan sesuai dengan PDK, siap untuk hunting ke gudang benang lagi.
“Len..” ujarku terhenti saat mbak Warsih datang memberikan dua buku laporan produksi. Dia seorang karyawan nonshift yang tugasnya mengecek dan menghitung persentase BS-Lokal kaos-kaki.
“Iya teh, ada apa?” sahut Leni.
“Yarsi.. nih saya kasih kamu PR!” ujar mbak Warsih tiba-tiba.
“Tunggu sebentar” jawabku pada Leni.
Leni terdiam, aku pun penasaran “PR apaan mbak?”
“Tadi kepala regu shift A menitipkan laporan produksi yang belum dimasukkan. Soalnya komputernya error. Dua shift sekaligus. Nih kamu kerjakan sekarang!” perintahnya.
“Maksud mbak, dua shift bagaimana?” Aku masih belum mengerti.
“Shift C sama shift A. Kemarin siang, pas orang shift C mau masukkin produksi, komputernya malah error. Ternyata, pas shift malam juga masih belum bener. Jadi sekarang tanggung jawab kamu” ujarnya mengulurkan dua buku produksi milik shift C dan A. Aku ternganga tak percaya.
“Tapi aku kan nggak tahu nama operatornya mbak!”
“Kan di sana sudah dituliskan, mana coba lihat dulu!”
Aku menunjukkan dua kertas catatan yang sudah dituliskan oleh kepala regunya masing-masing.
“Nih.. kamu sesuaikan saja dengan catatan ini. Sabar ya.. nanti aku bantu deh kalau kerjaanku sudah kelar” ujar mbak Warsih.
“Nanti sebelum istirahat harus sudah dikumpulkan ya!” ujarnya kembali.
Aku manggut pasrah “Eh.. Len, tolong kamu cari benang warna Fushia, lot 23 kodenya ini!” aku mengulurkan secarik kertas catatan.
“Di jalur mana ya teh?”
“Aku juga kurang tahu, kan PDK ini baru mau jalan. Kamu cari sendiri dong, kalau nggak coba tanya saja sama anak gudang benang.”
“Baik” sahutnya berlalu pergi sementara aku langsung memasukkan laporan produksi shift C dan shift A ke komputer.
“Ayo Yarsi, sudah selesai belum?” pertanyaan koko Herry mengejutkan aku yang tengah khusyuk dengan rasa pusing.
“Belum ko, banyak yang nggak sesuai catatannya.”
“Apa maksudmu? Masa gitu saja nggak bisa, kan sudah diajarin sama si Murni.”
“Ini, banyak yang nggak jelas jumlah mesin yang dijaga operatornya” jawabku mulai kesal mendengar desakkan koko Herry.
“Kan sudah jelas kalau tiap operator jaga delapan mesin, ada juga yang sepuluh. Alah itu mah alasan kamu saja!” umpatnya dengan raut muka yang kesal.
Aku tak menjawab lagi, kurasa percuma karena ko Herry pun sama sekali tak membantu. Yang ada dia malah terus-terusan menyudutkan aku.
Operator areal mulai berhamburan, jam istirahat sudah tiba. Aku semakin panik, pekerjaanku masih jauh dari kata rampung. Mandor yang selalu menganggap enteng persoalan, melenggang ke luar areal tanpa menawariku untuk bergantian istirahat, sementara diriku masih berjibaku dengan monitor. Aku hanya bisa menatapnya kepergiannya—penuh rasa kesal.
“Masih belum beres Chie?” tanya mbak Warsih.
“Belum mbak, soalnya aku nggak tahu nomor kartu dan nama-nama operator shift lain. Belum lagi di sini ditulisnya nggak jelas, ada yang jaga sepuluh mesin ada juga yang hanya tiga, empat mesin. Aku jadi bingung mbak!”
“Iya lah... nomor absensi operator sendiri juga kadang lupa, apalagi operator shift lain. Huuuuh... kalau aku jadi kamu pasti udah nangis di depan komputer.”
Aku tersenyum pahit, “Kalau nggak ditahan, mungkin dari tadi juga sudah berlinangan air mata mbak!” gumamku.
**
Pukul setengah satu, laporan baru kelar. Aku berlalu ke ruang Follow-up. Kak Sherly, kepala bagian Follow-up memperlihatkan tampang terburuknya, bukan lantaran rambut putihnya yang mulai tumbuh liar—tapi dia benar-benar murka. Hanya sekilas, aku tak berani mendongakkan kepalaku. Brakkk... dia pun memuntahkan amunisinya, menggebrak meja kerja. Aku berusaha tenang, walau hatiku mulai gamang.
“Kenapa terlambat? Bukankah tadi sudah kubilang sebelum jam istirahat harus sudah selesai!” bentaknya.
“Maaf kak!” aku tertunduk lusuh. Hanya itu yang meluncur dari bibirku.
“Coba jelaskan, kenapa alasannya?” nada bicaranya masih menyiratkan kejengkelan yang luar biasa.
“Soalnya aku masih belum terbiasa membuat laporan produksi. Terlebih punya shift lain yang nama dan nomor kartu absensi operatornya saja aku tak tahu sama sekali.”
“Kenapa nggak minta bantuan orang lain? Kan ada kepala regunya?”
“Mereka sedang cuti hamil dan melahirkan kak. Sementara wakilnya sedang libur”
“Masa semua pada nggak ada, terus mandornya nggak masuk juga?”
“Masuk kak.”
“Mana coba kamu panggilkan mandornya! Nggak bener ini, harusnya dia yang mengerjakannya.”
Aku bergegas ke areal hendak memanggil ko Herry. Baru juga menaiki anak tangga ketiga, koko Herry terlihat berjalan ke arahku.
“Gimana Chie, sudah kamu kasihkan laporannya?”
“Sudah ko, tapi ko Herry dipanggil sama kak Sherly”
Lelaki keturunan Tionghoa ini segera memasuki ruangan Follow-up, aku mengekor di belakangnya.
“Herry... kenapa kamu biarkan anak buah kamu yang mengerjakan laporan produksinya? Nggak beres dia. Masa, harusnya sebelum istirahat sudah terkumpul, ini baru dikumpulkan sekarang. Buang-buang waktuku saja.”
“Iya, saya yang salah. Maaf deh kak! Soalnya dia masih belum bisa membuat laporan produksi kak. Dia masih baru.”
“Harusnya kamu persiapkan dia dari awal dong, sudah jelas kepala regunya pada hamil, minimalnya tiga bulan sebelum mereka cuti, anak ini harus digembleng dari jauh-jauh hari supaya hasilnya tidak seperti sekarang. Kalau terus-terusan seperti ini kacau, kerjaan bisa terhambat. Ajarin dia lagi yang bener!” gertak kak Sherly.
“Siap boss. Jangan marah-marah dong ntar cantiknya hilang!” bujuk koko Herry.
Kebekuan hati kak Sherly pun mulai luluh karena rayuan mautnya ko Herry “Alah kamu, sudah ketahuan salah bisanya merayu” perempuan Batak yang masih perawan di usia senjanya hanya mesem menanggapi rayuannya koko Herry.
“Hahaha... siapa yang merayu? Emang benar loh kak, kalau suka marah-marah nanti cantiknya hilang” kak Sherly menyeringai, diangkatnya hidung dan bibir atasnya. “Ini masalahnya sudah clear kan? Nggak ada yang harus dibahas lagi?” sambung ko Herry.
“Ya.. sudah, jangan diulangi lagi!”
“Okey.. makasih banyak kak.”
Aku dan ko Herry kembali ke areal, melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Waktu begitu cepat bergulir. Hingga tiba jam pulang. Aku berjalan tergopoh sekali, ingin segera tiba di kontrakan. Sayang ... waktu sholat dzuhurku telah usai. Tanpa mengganti kostum, aku segera meluncur mengambil air wudhu. Selepas makan dan sholat ashar, aku rebahan di kasur.
Ingatanku tak lepas dari kejadian di pabrik tadi siang. Baru kali ini aku dibuat mati kutu. Gejolak kesedihan menyelimuti jiwa. Seluruh energiku terkuras habis untuk bekerja, khusunya untuk hari ini, tapi tidak dihargai sama sekali. Untuk hari ini saja, aku sama sekali tidak mempunyai kesempatan makan siang. Bahkan selagi masih jadi operator, hampir setiap hari tak istirahat dan harus kehilangan waktu sholat. Haruskah seperti ini? Sampai kapan? Aku tak dapat menahan, tangisku meletup sejadi-jadinya.
**
No comments:
Post a Comment