ROMANSA



Pubertas adalah fase yang akan atau bahkan sudah dilalui setiap orang di usia yang relatif berbeda. Ditandai dengan segala macam perubahan. Termasuk perubahan secara fisik, maupun mental. Di usiaku yang menginjak dua puluh satu tahun, fase ini masih belum berakhir terutama secara emosional. Gejolak jiwa lebih menonjol dibanding nalar. Hasrat mendapatkan lelaki yang nampak terlihat sempurna secara fisik dan karier adalah sebuah prestisebagi sebagian orang. Tak kupungkiri itu, meski cinta datang karena terbiasa.
Kedekatanku dengan seorang pria seringkali menjadi bumerang buat diriku sendiri. Aku sering terjebak cinta dibalik nama persahabatan yang susah payah kami bina. Aku atau lelaki itu yang jatuh cinta−−sama saja menyakitkan. Sering berujung pada sebuah ketidakharmonisan. Kali ini ceritanya berbeda, kami saling menyukai.

Adalah Afrizal lelaki yang akhir-akhir ini dekat denganku. Dia merupakan kakak dari teman baikku, Yani. Dua bulan kedekatanku denganya membuatku gundah gulana, meski dia telah menyatakan rasa sukanya padaku. Sesungguhnya aku merasa tersanjung bahkan perasaanku melambung ke awang-awang. Tapi sekelumit ragu menghinggapiku, apakah dia benar menyukaiku? Atau hanya pelarian saja?
Sering dia berkisah padaku tentang hubungannya yang karam. Suatu hari aku dan dia duduk di koridor, saling curhat.
“Bagaimana hubunganmu sama dia?”
“Sudah lama aku tak pernah ke sana. Kami sudah tak saling berhubungan nyaris setengah tahun, mungkin!” suaranya terdengar mendesah.
“Kenapa nggak kamu sendiri yang ngalah, mencoba menghubungi dia lagi!” aku memberi saran.
“Percuma, aku sudah muak dengan tingkahnya, juga orang tuanya yang selalu mengumbar janji. Bagiku semuanya sudah berakhir. Tak ada apa-apa lagi” kali ini aku melihat dia berkata serius, tak  seperti biasanya yang sering bicara sekenanya.
“Kak.. bukankah hubunganmu sudah hampir enam tahun, apa semudah itu kamu melupakannya?”
“Sebenarnya dari dulu aku tak cinta sama dia, cuma rasa kasihan saja.”
“Mustahil kamu tak mencintainya! Mana ada hubungan yang sudah bertahun-tahun tanpa dilandasi rasa cinta. Aku tak percaya!”
“Terserah mau percaya atau tidak. Hanya ada rasa sayang seperti kakak terhadap adiknya. Kamu mau tahu alasanku bertahan dengan dia?” aku mengangguk, dia pun melanjutkan pembicaraanya “Aku banyak berhutang budi sama dia dan keluarganya. Dari mulai adikku, Yani pertama kali datang ke Bandung langsung ditampung oleh keluargannya. Disusul kedua sepupuku, sama-sama pernah tinggal di sana. Meski sekarang, mereka berdua tak bertahan lama seperti Yani dan lebih memilih pulang ke Lampung.”
Kami terdiam sejenak.
“Menurutmu bagaimana kalau aku menyukai orang lain?” dia bertanya memecah keheningan.
“Ya.. sah-sah saja, selama janur kuning belum melengkung, masih bebas memilih. Tapi ingat.. tanpa mengorbankan perasaan orang lain!” Aku menegaskan.
“Terus kalau ternyata aku sukanya sama kamu gimana?” dia berkata pelan nyaris tak terdengar.
“Apa?” aku benar-benar kaget “Sejak kapan kak Rizal menyukaiku, bahkan selama ini kak Rizal nggak pernah sedikit pun berbicara ke arah situ. Kakak jangan bercanda!”
“Apa sebuah penjelasan bagimu begitu berarti? Yang terpenting bagiku, ketika aku mulai menyukai seseorang, aku hanya akan memberinya perhatian dan itu sudah cukup membuktikan. Harusnya kamu peka dengan sikapku selama ini. Apa kamu tidak pernah merasakannya?”
Bagai gayung bersambut, riak-riak kegembiraan menerjang batu karang dan membasahinya. Aku jadi salah tingkah.
“Bu.. bukannn gitu kak! Akuuuu... aku juga sebenarnya merasakan ada yang aneh dengan diriku dan itu berkaitan sekali dengan perhatian kak Rizal padaku. Selama ini aku berusaha menepisnya. Aku nggak mau berpikir macam-macam, nggak mau berharap sesuatu yang tak pasti kak!...”
“Lebih tepatnya aku nggak mau menyakiti diri sendiri, karena yang aku tahu kak Rizal punya kekasih.”
“Sekarang kamu sudah tahu kebenarannya kan?”
“Iya.. tapi bagaimana jika orang-orang di sini curiga dan bertanya tentang kedekatan kita kak? Sementara yang mereka tahu, kamu sudah punya kekasih. Pastilah mereka mengira aku adalah orang ketiga yang menghancurkan hubungan kamu. Aku nggak siap dengan stigma seperti itu!” aku mulai gelisah dengan hal yang kupikirkan.
“Aku nggak nyangka, ternyata kamu berpikir sejauh itu. Apa peduli mereka tentang kebahagiaan orang lain? Mereka hanya bisa mencemooh dan kamu tak perlu menanggapinya. Jika kamu terus memikirkan perkataan orang yang nggak jelas kebenarannya, hanya sebatas gunjingan saja. Sudah bisa dipastikan hidupmu akan selalu dihantui rasa ketakutan. Mau kamu hidup seperti itu?” hardiknya.
“Bukan gitu, maksudku. Kita kan hidup bermasyarakat, setidaknya harus menjaga hubungan baik dengan orang lain. Aku nggak mau dianggap peran antagonis di mata orang lain kak! Mereka nggak tahu hubungan kakak dan teh Riana sudah berakhir...”
“Terus mau kamu apa?” kak Rizal memotong pembicaraanku.
“Untuk sementara, anggap saja kita tidak memiliki hubungan. Di depan orang banyak, kita bersikap biasa-biasa saja seolah tak ada apa-apa! Bukankah kamu juga selalu berusaha menutupi perasaanmu padaku di depan Yani?”
“Baiklah..”
“Tapi itu lain lagi ceritanya, aku nggak mau Yani cemburu. Bagaimana pun juga dia adikku satu-satunya. Apa pun akan aku lakukan untuk menyenangkannya. Kamu tahu, kejadian tempo hari saat kita habis jalan-jalan berdua, kamu lihat gimana reaksinya? Mungkin karena dia belum punya kekasih, jadi siapa pun yang dekat denganku akan dicemburuinya. Maklum, dari kecil dia dekat sekali denganku, jadi suka manja begitu...”
“Dulu juga waktu aku dan Riana masih berhubungan, dia sering menunjukkan kecemburuannya. Hmmm... Aku dan Riana jadi harus memutar otak jika ingin jalan berdua” sahutnya sambil tesenyum mengingat tingakah adik kesayangannya.
**
Sejak saat itu aku dan Afirzal menjalani hubungan tersembunyi, walau orang-orang di kontrakan selalu penasaran, ingin mendapatkan jawaban yang pasti.
“Kamu ada hubungan apa dengan Afrizal? Bukankah dia sudah punya kekasih?“ pertanyaan yang memojokkan bahkan provokatif dilontarkan teh Lilis padaku, membuat kupingku berasa panas.
“Nggak ada apa-apa, cuma dekat saja!” jawabku datar berusaha tak terpancing.
“Dekat..???? Maksudnya dekat seperti apa? aku dengar katanya kamu menjalin hubungan dengan dia? Malah aku sempat melihat kamu diantar-jemput ke tempat kerja” masih saja penasaran.
“Ya..  ya.. de.. dekattt sa-ja, seperti kakak-adik, aku menganggap dia sebagai kakak, dia juga begitu. Apa salah kalau dia mengantar-jemput orang yang sudah dianggapnya adik?” agak gelagapan dan balik bertanya.
“Iya juga sih, tapi... kalau kamu mau punya kekasih tentara, aku saranin mending main tuh ke alun-alun Cimahi. Di sana kan tongkrongannya para kacang ijo, siapa tahu nanti kamu punya gebetan kacang ijo[1]
Mendengarnya, aku tak menjawab, hanya tersenyum geli. Aku tahu, teh Lilis adalah orang yang sangat terobsesi dan ingin sekali punya suami seorang tentara. Itu tidak terlaksana. Sekarang dia sudah menikah dengan orang yang bukan dari kalangan militer, sama–sama karyawan.
Memang waktu masih gadis, teh Lilis pernah berhubungan dengan seorang prajurit tentara dan berencana menikah. Demi mewujudkan obsesinya, dia mengikuti persyaratan yang ada, termasuk mengikuti ujian persamaan SMA. Karena dia hanya lulusan SD. Apa mau dikata jika belum sampai berjodoh. Hubunganya karam, karena calon suaminya dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang perawat. Aku tak menyangka, kalau teh Lilis berusaha me-wabah-kan obsesinya padaku dan anak-anak lainnya. Tapi kami tak memedulikannya.
Hanya pada Mirna dan Herti saja aku mengakuinya. Yani semakin tumbuh dewasa, mulai mengerti dan tak ikut campur.
**


[1] Istilah kacang ijo sering ditujukan untuk para tentara.

No comments:

Post a Comment