TAKDIR YANG MEMPERSATUKAN

Kebersamaan dengan teman sekontrakan adalah caraku melepaskan kepenatan. Walau hatiku diguncang prahara, akibat status pengangguran yang baru kusandang dan patah hati  karena cinta yang tak dianggap−−aku tak mau larut. Aku masih punya banyak teman, rasanya sayang jika menyia-nyiakan orang-orang yang selalu ada buatku. Sebagai penghuni yang masih lajang, aku dan teman-teman sering berkumpul hanya sekedar makan-makan, saling berbagi kisah, menonton film ataupun pergi rekreasi.
Sudah bisa dipastikan, setiap kali kami pergi jalan-jalan atau rekreasi, pasti itu berawal dari ketidaksengajaan; tanpa perencanaan terlebih dahulu. Seperti yang pernah terjadi di saat hatiku masih gamang, serempak teman sekontrakanku berinisiatif pergi jalan-jalan ke daerah Lembang. Tak susah mencari armada buat tumpangan. Di kontrakan kami, ada beberapa angkot yang bertengger. Karena beberapa penghuni berprofesi sebagai sopir angkot. Salah satunya mas Muhdi, kebetulan juga dia masih lajang dan angkotnya milik pribadi. Jadi tak ada masalah.

Angkot jurusan Cimahi-Leuwipanjang menjadi pengantar perjalanan kami menuju dinginnya malam di Lembang. Ada sepuluh orang yang ikut acara dadakan ini Lokasi pertama yang akan dikunjungi yaitu kawasan wisata pemandian air panas Ciater. Sayang kami terlambat, tiket biasa sudah ditutup karena sudah larut malam. Kecuali jika kami mau membeli yang paketan−−satu paket−−satu kendaraan, bisa sepuasnya sampai pagi hari. Tapi buat apa, kami juga tak akan berada di  kolam renang sampai semalaman. Harga tiketnya juga lumayan mahal, bagi ukuran kantong buruh seperti kami.
Mas Muhdi memutar angkotnya, bergerak menuju saungjagung bakar. Aku menghangatkan tubuhku dan menggosok-gosok telapak tangan di dekat perapian sambil menunggu jagung bakar matang.
Pelayan membawa pesanan kami. Jagung bakar dengan citarasa yang berbeda ditambah menu tambahannya, makanan khas orang Sunda; Colenak.[1] Mas Muhdi memesan secangkir arak dan menawarkannya pada kami. Dengan lembut aku menolak. Sementara para lelaki dan sebagian perempuannya terlihat penasaran, mencoba mencicipi.
Pukul satu dini hari, bibinya Yani yang sengaja jauh-jauh dari sebrang menjenguk keponakan di rantau, panik dan menyuruh kami segera kembali. Dia benar-benar cemas dan menunggu kami di kontrakan. Dalam perjalanan pulang, mas Muhdi mendadak nge-rem mobilnya. Rupanya mas Dito yang tidak terbiasa minum arak, mual dan muntah. Sedang mas Muhdi terlihat bugar saja, mungkin dia terbiasa meminumnya.
“Makanya mas, kalau nggak pernah, jangan suka coba-coba. Beginilah akibatnya” ujar Yani dengan nada yang keras.
Mas Dito sama sekali tak menyahut ucapan Yani, dia terlihat begitu tersiksa dengan keadaanya sekarang.
“Ya inikan efeknya bukan dari arak saja, tapi tadi si Dito kebanyakan makan colenak. Itukan terbuat dari tape. Tape sama arak kalau dikonsumsinya barengan, apalagi sama orang yang tak pernah sama sekali, maka hasilnya seperti ini. Sorry Dit, aku lali ‘ndak ngasih tahu!” sahut mas Muhdi merasa tak enak hati.
“Udah turu bae, mengko[2]juga baikan. Hehe..” sambungnya.
**
Kebiasaan ini, berlangsung terus sampai suatu malam semua teman dekatku berkumpul. Kami membuat acara makan-makan. Di dapur umum−−depan kamar Yani yang selalu menjadi penghalang setiap orang yang berlalu-lalang (karena setiap dapur posisinya berada di koridor sempit). Yani, Mirna dan Herti memasak nasi goreng secara keroyokan. Nunik di dalam kamar mengulek bumbu rujak, sedang tugasku mengupas buah mangga muda.
Mas Nano bergidik dan memicingkan matanya, melihatku yang sesekali mengemut potongan mangga muda. Ngilu katanya.
Kebiasaan yang tak asing, mas Dito selalu saja asyik di depan televisi. Susah sekali untuk digoda, terlebih hanya sekedar buah mangga yang kecut. Sama halnya dengan mas Dendi, meski sedang menonton televisi, tangannya tak bisa diam. Menepuk-nepuk kedua pahanya sambil berdendang lagu India, seolah menabuh gendang.
Begitulah mas Dendi, kesukaannya terhadap film bollywoodmenjadikannya pintar beryanyi lagu India. Bukan sedang ber-lipsinc, gerakan mulutnya dan suaranya sesuai sekali dengan lirik lagu. Ini membuatkku penasaran, iseng sekali aku mengecilkan volume tape recorder, itu sama sekali tak berpengaruh. Dia seorang pengagum sejati, dari awal sampai akhir lagu, dia hapal sekali liriknya. Bahkan lagu-lagunya Shahrukh khan, dia hapal satu album.
“Busyet mas.. kamu kok bisa nyanyi lagu India, padahal kan kata-katanya juga nggak ngerti.”
“Ayo kalian mau reguest lagu apa? Dil Hai Tumharaa, Kal hoo Na hoo, atau apa?” tantangnya.
Bakatnya sungguh mengagumkan, selain pandai menyanyi lagu India, dia juga pandai sekali membuat kaligarafi yang indah. Tak ada yang menyangka, di balik tingkahnya yang nyeleneh, tersimpan kemampuan yang luar biasa. Terkadang dia juga berduet dengan Yani, lagu India vs Malaysia-an, karena Yani pecinta lagu-lagu melayu.
Serba-serbi tingkah anak kontrakan sangatlah mengesankan, persahabatan dengan apik terjalin. Saling mengasihi satu sama lain. Meski terkadang timbul perselisihan tapi itu tak memutuskan ikatan diantara kami.
“Naas-si goreng matang... siapa yang mau?” Yani mengoda kami yang asyik nonton televisi.
“Mana aku mau?” sahut mas Dito, kali ini dia sedikit menoleh.
“Aku juga mau!”
“Eitss.. bawa piring masing-masing dong! Sudah dibikinin masih saja mau diladenin, sana ambil sendiri!” Ujar Mirna.
Kami menyantap makanan berjamaah sambil nonton televisi dan full music. Cuci mulutnya rujak mangga muda.
“Heh.. kalian itu lagi ngidam apa kesambet jurig? Malam-malam gini makan rujak, mangga muda lagi. Gak takut sakit perut apa?” Ujar mas Nano yang dari tadi geleng-geleng kepala, keheranan.
“Maklum mas, bawaan orang nggak punya duit mahlaper terus. Apa pun pasti dilahap” jawabku.
“Kalau aku sih dari dulu emang doyan mangga muda mas” Mirna menyahut. “Air.. air.. Yan tolong minta air dong! Gila, pedas banget. Berapa biji sih cabenya?” sambungnya sambil melirik ke arah Nunik.
“Tadi aku kasih lima biji, tapi sama si Achie ditambah lagi jadi sebelas” Nunik menjelaskan.
“Wah.. berarti Mirna sama Achie mah kalau nanti ngidam sudah nggak kaget lagi dong?” Herti yang pendiam pun ikut berkomentar.
“Belum tentu juga ngidamnya sama. Siapa tahu nanti malah ngidam rujak pete” jawabku serampangan.
Haaaa hahahahaha.. gelak tawa tak terbendung.
“Hemm.. rasanya indah banget ya kalau tiap hari kita bisa ngumpul kayak gini” ujar Nunik dengan mulut yang masih mengunyah rujak mangga.
“He eh.. gak kebayang kalau seumpama kita berpisah, belum tentu aku dapat teman yang seperti kalian. Sedih pokoknya..” sahut Yani.
“Ya.. tapi kan nggak selamanya kita bareng-bareng terus kayak gini. Nanti kalau pada nikah, pasti sibuk dengan urusan masing-masing. Kamu di mana, aku juga nggak tahu di mana. Sekarang juga kalau kita dapat kerjaan yang jauh, mau nggak mau ya kita berpisah juga. Dan kita harus siap menghadapi resiko seperti itu. Di manapun kita berada, kita akan selalu punya teman selama kita tak menutup diri dari orang lain” mas Dito selalu berkata sok bijak.
**
Suasana semakin hening ketika semua teman pria kembali ke kamar masing-masing. Hanya wanita saja yang masih bertahan di kamar Yani dan memutuskan tidur bersama. Aku menggelar kasur lantai, berbaring diantara Mirna dan Nunik. Posisi Yani di pinggirnya Mirna dekat tembok, Herti di samping Nunik dekat ke arah pintu.
“Pada nyadar nggak sih, diantara kita memiliki latar belakang yang sama? Aku bertanggung jawab atas kesembuhan bapakku. Tiap bulan harus nyiapin dana yang lumayan besar buat berobat bapak, sedangkan hasilnya masih belum ada perubahan pada bapak. Nggak kebayang kalau seumpama aku harus kehilangan ibu, pastinya aku kehilangan arah.”
“Aku juga sama seperti teh Mirna, bahkan lebih parah. Selain bapaknya yang sakit, hidup aku dan kak Rizal selalu dirongrong oleh bibi, dia merasa punya hak besar atas kami, karena jasanya yang telah merawat kami. Tiap kami pulang kampung, dia selalu minta jatah. Seperti nggak ikhlas saja merawat kami. Sampai-sampai rumah yang harusnya ditempatin bapak malah dijual dan bapak disuruh pergi. Kasihan bapak.”
“Memang tadinya itu rumah siapa Yan? Kok bapakmu bisa sampai diusir segala?” Nunik penasaran.
“Rumah peninggalan ibu, dulunya rumah itu milik kakek dan diwariskan ke ibu jadi bapak juga tinggal di sana. Sementara bibi dapat warisan kebun sawit. Tapi karena ibu meninggal, jadi bibi menjual rumah itu. Awalnya sih, bibi juga nggak berniat menjual rumah itu. Mungkin karena beberapa tahun kemudian bapak memutuskan menikah lagi, terpaksa dijual. Katanya, nggak sepantasnya bapak tinggal di rumah peninggalan ibu dengan membawa istri dan anak tirinya.”
“Oh.. bapakmu menikahi janda beranak? Terus uang hasil penjualan rumah itu dikemanakan?” tanyaku.
“Iya, kata bibi sih dipakai buat ganti biaya perawatan kami terutama biaya kak Rizal sampai bisa jadi tentara seperti sekarang.”
“Ih.. nggak nyangka ya bibi kamu jahat banget ya?” Mirna berkomentar.
“Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa berubah, padahal dulu dia baik. Mungkin karena bapak menikah lagi, sekarang dia jadi berubah.”
“Mungkin dia ketakutan kalau ibu tirimu akan menguasai rumah itu!” ujar Mirna.
“Mungkin juga, padahal ibu tiriku baik. Malah sekarang kondisi kejiwaan bapak tambah parah sejak rumah itu dijual. Untung ibu tiriku tak meninggalkannya, dia yang merawat bapak.”
“Sabar ya.. nasibku juga tak kalah menyedihkan. Entah harus mulai dari mana, yang jelas hubunganku dengan ibu tak pernah harmonis. Dari kecil, dia sama sekali tak tahu bagaimana caranya merawat dan mendidik anak. Acap kali kami bicara, pasti berujung pada sebuah pertengkaran. Kupingku terlalu panas mendengar bisik-bisik tetangga. Mereka bilang, selama ini aku dan Andi tak pernah disusui dan dirawat ibu. Bahkan aku selalu iri dengan teman-teman di sekolah. Aku menginginkan figur ibu yang sesungguhnya. Hanya bapaklah yang selalu menjadi sumber kekuatanku” aku mendesah panjang, tiap kali bercerita tentang ibu, entah mengapa dada ini terasa sesak.
“Sabar ya teh!”
“Iya sabar Chie, aku juga sudah lama nggak mendapat kasih sayang ibu dan bapak. Kalian sendiri tahu kan sewaktu aku masih kecil, mereka meninggal akibat kecelakaan. Sekarang aku hanya bareng kakak-kakakku.”
“Iya ya, kamu malah lebih tragis. Kamu mahnggak beda kayak si Ririn, dia juga tinggal bareng ibu dan kakak-kakaknya. Bapaknya sudah lama meninggal. Mungkin diantara kita hanya Herti yang lempeng-lempeng saja, nggak ada masalah” ujar Mirna.
“Hehe.. siapa bilang, sama saja. Aku juga punya masalah, dulu bapak kerja di Bandung di pabrik ukiran, daerah Jatayu. Penghasilannya lumayan. Tapi sekarang perusahaanya bangkrut, jadi bapak pulang kampung, hanya mengandalkan dari hasil sawah. Buat biaya sekolah adikku saja susah, dan sekarang aku harus bantu.”
“Masih mending kalau cuma masalah ekonomi saja. Itu bisa dicari. Beruntung kamu mah Her, nggak kurang kasih sayang orang tua, nggak kayak kita-kita” Yani berkomentar.
“Mungkin karena alasan itu kita dipertemukan, untuk saling menguatkan satu sama lain” ujarku.
“Ya.. karena takdirlah yang mempersatukan” Mirna menambahkan. Seketika suasana menjadi hening. Kami berlima terlelap dalam gelapnya malam hingga suara tarhim[3]membangunkan kami.
**


[1] Jenis makanan yang terbuat dari singkong/ peuyeum yang dibakar ditaburi parutan keju dan dikasih susu cair.
[2] Tidur saja, nanti juga membaik.
[3] Seruan dari mesjid sebagai pertanda waktu menjelang subuh; berupa lantunan shalawat.

No comments:

Post a Comment