FIXED COST

NUNIK yang memang sebelumnya dirumahkan terlebih dahulu, kini dia melamar lagi ke Jayatex.Tak dapat kupungkiri, rasa was-was selalu menghampiri tatkala menunggu kabar darinya. Hal yang sama terjadi—di saat aku mengunggunya−−dia tidak langsung pulang. Pikirku pasti dia sudah kerja lagi. Sore hari, baru dia pulang. Mendatangi kamarku.
“Chie, kali ini trik kita keluar kerja dari PT. Abadi Terkendali ternyata salah besar. Andai saja kita nggak keluar dari sana, mungkin sekarang kita nggak jadi pengangguran.”
Kaget setengah mati mendengar ucapannya. “Apa? maksudmu kamu nggak diterima di Jayatex? Nggak mungkin ah.. Kok bisa begitu?”
“Eh.. kok kamu nggak percaya, nih lihat aku contohnya!”
“Yang bener?” aku masih nggak percaya. “Dulu waktu kamu habis kontrak, orang administrasinya ngomong apa saja?” sambungku.

“Ya sama Chie, kayak ngomong ke kamu dan buruh lainnya. Kalau mau kerja lagi di sana, disuruh nunggu selama tiga bulan. Syarat-syaratnya juga sama dikasih, kalau nggak salah ada delapan macam kan? Tapi kalau kamu masih penasaran, mending kamu coba sendiri deh. Paling jawabannya juga sama. ‘saat ini belum ada lowangan, kalau mau nunggu, kapan-kapan ke sini lagi.’ Gitu Chie ngomongnya.”
Aku masih tak percaya, siapa tahu nasib baik menghampiriku. Kali saja orang administrasinya berubah pikiran.
Untuk membuktikannya, pada hari H, aku datang ke Jayatex. Di sana ada banyak orang yang melamar. Aku dan orang lain yang sama-sama dirumahkan menghadap ke ci Linlin.
“Untuk saat ini, belum ada lowongan.” Pakkk... bagai ditampar, aku diam terpana “Gimana masih mau nunggu, atau mau dibuatkan paklaring?”[1]
Aku menelan ludah, lalu berkata “Kalau nunggu, kira-kira kapan ada lowongannya?”
“Nggak tahu juga. Belum ada SK yang turun. Gimana masih mau nunggu atau mau nyari kerja di tempat lain? Kalau kerja di tempat lain mungkin harus ada paklaring-nya!”
Hancur sudah harapanku, aku benar-benar kecewa. “Ngapain nunggu, kalau akhirnya nasibku nggak jelas juga. Lebih baik nyari ke tempat lain saja” jawabku ketus, diselimuti amarah yang terpendam.
“Kalau begitu tunggu dulu sebentar, saya akan buatkan surat rujukannya. Nanti kamu ke kentor personalia, berikan surat rujukan ini.”
Aku dan temanku meninggalkan kantor administrasi, menuju ke kantor personalia yang berada beberapa meter dari sini. Pemandangan yang sama. Orang-orang kantor personalia, sama garangnya dengan orang kantor administrasi. Tanpa basa-basi, salah satu staff mengetik surat paklaring-ku sesuai dengan rujukan dari kantor administrasi.
Staff itu seorang perempuan Batak berambut keriting sebahu. Dia memberikan paklaring itu padaku dan menyuruhku minta tanda-tangan dari kepala personalianya. Aku heran melihat tulisan yang tertera di paklaring-ku. Di sana jelas sekali dituliskan, kalau aku DENGAN SENGAJA−−telah mengundurkan diri dari perusahaan. Padahal kenyataanya lain sekali. Aku langsung protes.
“Kak.. ini kok keterangannya malah aku yang mengundurkan diri, padahal kan kenyataannya gak begitu?”
“Tadi kamu bilang minta dibuatkan paklaring, itu artinya kamu mengundurkan diri!”
Permainan apa ini? Aku benar-benar merasa telah didzolimi. Mungkinkah aku terlalu polos, hingga tak mengerti bahasa pabrik? Begitukah bahasa halus orang-orang personalia. Aku pulang dengan perasaan hampa. Menyesal telah berlaku ceroboh; dengan mengundurkan diri dari PT. Abadi Terkendali. Ini adalah harga mati yang harus kubayar. Kini aku tak mungkin melamar ke sana lagi, malu karena telah menyia-nyiakannya. Pelajaran moral yang tak bisa dilupakan.
**


[1] Surat keterangan pengalaman kerja.

No comments:

Post a Comment