Perjuanganku dan Nunik masih terus berjalan. Setiap hari, kami mengumpulkan berita terbaru dari koran dan informasi dari orang-orang yang kukenal. Rute yang kami tempuh berbeda setiap harinya. Senin, pergi ke kawasan industri di Cibaligo-Cimindi, Selasa ke kawasan Trikencana daerah Katapang; melewati Cirangrang, Kopo, Bihbul, Sayati dan Margahayu. Selanjutnya di hari Rabu ke daerah Gunung batu. Kabarnya toserba yang cukup terkenal di sekitar kota Bandung, sedang membutuhkan karyawan. Lamaran hanya dititipkan saja, kami disuruh menunggu kabar. Hari Kamis, ke daerah Kebon Waru tepatnya di jalan Jakarta. Masih sama, keputusannya harus menunggu beberapa waktu dulu.
Aku dan Nunik istirahat sejenak di Gasibu sambil duduk santai menghadap kearah Gedung sate, menyeruput es kelapa muda. Rupanya cuaca begitu gelap, langit terlihat seolah berduka. Mungkin saja akan turun hujan.
“Gimana sekarang Chie?”
“Nggak tahu aku juga bingung. Kira-kira ke mana ya?”
“Jangan dulu pulang lah... hari masih pagi, masih jam sebelas!”
“Terus mau ke mana, muter-muter lagi? Ckk.. ceudeum jiga kieu.[1]Nanti kalau hujan di jalan gimana? Kita kan nggak bawa payung.”
“Ya kalau ngelamar lagi ke tempat lain jam segini nggak mungkin, ini kan hampir jam makan siang. Perusahaan mana yang mau nerima, paling kita disuruh balik lagi besok pagi. Kamu.. punya teman apa saudara di sekitar sini nggak? Kita main saja ke sana, sambil nunggu cuaca cerah lagi.”
“Saudara ada sih ada tapi aku nggak tahu alamatnya.”
“Di telpon saja!”
“Justru itu, aku tak punya nomornya.”
Ingatanku langsung pada salah satu teman SD-ku yang sekarang sedang akrab, Beni. “Kalau teman sih ada tapi cowok. Kebetulan aku punya nomornya!”
“Akrab nggak kamunya? Jangan-jangan dia gebetan barumu? Boleh juga kita ke sana.”
“Biasa saja sih, cuma beberapa minggu belakangan kami sering sms-an, biasa nanya-nanya kabar aja!”
“Ya sudah, sekarang kita ke sana saja. Jauh nggak tempatnya?”
“Ntar aku SMS dulu!”
Beni membalas pesanku. Kebetulan dia sedang di kost-an, tidak ada mata kuliah.
“Ayo kita ke sana, katanya nggak jauh dari sini kok! Dekat Monumen Perjuangan, alamatnya ini ada!”
“Yukk!”
**
Kami bangkit membayar es kelapa muda, bergegas ke tempat yang dituju. Kawasannya lumayan nyaman, aku masih bingung kira-kira di mana temanku tinggal. Sebelumnya, aku tak pernah ke daerah ini, terasa asing! Banyak pria di sepanjang kamar kost-an, mungkinkah ini khusus kost pria? Ada seorang ibu paruh baya, hampir aku bertanya padanya. Namun kuurungkan niatku. Tatapan ibu itu membuatku risih, dia mengoceh-ngoceh tak jelas kepada setiap penghuni kost-an yang tengah nangkring di luar.
“Jaga kebersihan! Ini sampah di mana-mana dibiarkan begitu saja” gerutu ibu itu. Rupanya dia orang Batak, terlihat dari logat bicaranya. Sementara anak kost-nya tak menghiraukan−−hanya tersenyum, seolah itu sudah biasa.
Aku mendekati salah seorang penghuni kost, bertanya di mana letak kamar Beni. Tak jauh dari sana, kamar Beni berada di lantai dua. Kebetulan, di sana ada sepupunya Beni dari kampung sedang menyelesaikan program PKL, karena sepupu Beni duduk di bangku kelas dua STM.
Ruangannya masih lebih kecil dibanding kamarku. Harga sewa kamar pertahunnya lumayan mahal. Sekitar tiga juta rupiah pertahun, setara dengan dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulannya. Perbandingan yang mencolok dengan biaya kontrakanku perbulan yang hanya seratus lima ribu rupiah saja. Lima ribunya untuk sampah.
Kamar Beni begitu berantakan, mungkin karena dia seorang laki-laki, malas untuk beres-beres. Buku-buku tergeletak begitu saja. Tak banyak barang, hanya kasur lantai, dispenser, rak buku dan sebuah komputer saja.
Beni membawakan air mineral.
“Chie sorry nggak ada apa-apa nih!, hanya air putih saja. Ntar aku ke warung dulu!”
“Sudah biar saja, nggak usah repot-repot! Ngomong-ngomong kamar kamu berantakan sekali? Hehe..”
“Iya nih maklum cowok. Eh... ini teman kamu, kok nggak dikenalin?”
“Kenalan aja sendiri!”
“Hai, kenalin aku Beni!” sapanya pada Nunik sambil mengulurkan tangan. Tatapan Beni begitu tajam, aku tahu kebiasaan Beni tak bisa dilepaskan. Dari kecil, dia seperti itu jika melihat makhluk tuhan yang berparas elok.
“Nunik..”
“Wirya lagi liburan di sini?” aku bertanya pada sepupu Beni yang sudah kukenal.
“Nggak teh lagi PKL, kebetulan dapatnya di daerah Bandung.”
“Oh..”
“Kalian sudah pada makan belum?” tanya Beni.
“Sudah barusan sebelum ke sini!” jawabku berbohong.
“Tunggu sebentar ya, aku dan Wirya mau ke warung nasi dulu, belum makan siang nih. Kalian nonton film saja, nih ada film baru−−judulnya Mirror.” Tangannya mengutak-atik keybord komputer, menyetel film yang dimaksud. “Coba deh lihat! Kita pergi dulu ya!” sambungnya.
“Silahkan” jawabku.
Beni dan Wirya lama sekali, belum menampakan batang hidungnya. Dari luar, sayup terdengar suara perempuan marah-marah. Suara itu semakin dekat, sepertinya kami pernah mendengar suara itu. Di mana? Kami berdua saling pandang−−memasang daun telinga−−mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan. Ternyata perempuan itu menyebut-nyebut nama Beni.
“Si Beni mana?, masa dia berani bawa-bawa cewek. Tempo hari dia juga bawa cewek. Apa dia mau dilaporin saja sama orang tuanya? Ke mana dia?”
“Kurang tahu bu! Tadi sepertinya keluar, mungkin sedang makan” jawab seorang lelaki dari kamar sebelah.
“Nik, siapa itu nik? Apa dia marah sama kita?” aku mulai cemas.
Nunik pun menunjukkan sikap yang sama, walau dia terlihat lebih tenang “aku juga nggak tahu Chie, mungkin saja dia emang marah sama si Beni.”
“Kamu barusan dengar gak? Ibu itu menuduh Beni membawa cewek, kira-kira siapa cewek itu, jangan-jangan yang dimaksudnya adalah kita berdua. Wah.. gawat kalau gitu mah!” kali ini aku benar-benar panik.
“Tenang saja Chie, kok kamu jadi paranoid gitu! Mungkin saja yang dimaksunya itu bukan kita. Kalau pun dia menuduh kita, tinggal kita bilang saja yang sebenarnya kalau kita nggak ada apa-apa sama si Beni.”
Belum sempat aku berkomentar atas pernyataan Nunik barusan−−dengan mengejutkan−−perempuan tua itu sudah berdiri di pintu yang memang sengaja tak kami tutup.
“Mana si Beni? Kalian siapa?” hardiknya.
“Di.. dia.. dia nggak ada bu! Sedang makan, kami temannya Beni” jawabku.
“Temannya? Teman dari kampus?” dia menginterogasi kami berdua.
Karena ketakutan, aku menjawab dengan polos “Bukan, kami teman sekampung, kebetulan kami lewat daerah sini.”
“Oh.. jadi kalian bukan mahasiswi? Dua orang pengangguran yang sedang mencoba merayu mahasiswa?”
“Kami memang pengangguran, tapi kami tidak merayu Beni, barusan kami mencari kerja di daerah sini. Jadi kami mampir ke sini.”
“Dengar ya.. jangan suka ganggu-ganggu mahasiswa. Mereka di sini tugasnya belajar, bukan untuk membawa perempuan yang nggak jelas seperti kalian ini, jadi jangan coba-coba ganggu si Beni. Kalian pasti mau merayu dia kan?” telunjuknya mengacung-acung ke arah kami.
“Maaf bu, tadi kan teman saya sudah bilang, kalau kedatangan kami tak bermaksud apa-apa, kami hanya mampir sebentar. Nanti juga jika Beni sudah kembali pasti kami langsung pulang” Nunik berusaha memaparkan.
“Nggak usah tunggu-tunggu si Beni, sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini. Jangan mencari-cari alasan, karena saya tahu kalian perempuan macam apa.”
“Sudah Chie, kita datang ke sini bukan untuk dihina seperti ini. Kita hanya ingin berkunjung saja, tapi jika kedatangan kita dianggap meresahkan, lebih baik kita segera pulang.”
“Iya, kita pulang sekarang saja” mendengar ucapan kami, perempuan tua itu berlalu pergi sambil tetap ngoceh.
Aku dan Nunik keluar kamar, ada seorang laik-laki tetangga kamar Beni tengah duduk di kamarnya.
“Mas.. nanti kalau Beni datang, bilang saja kita berdua pulang. Bilangin maaf kita nggak pamitan dulu.”
“Iya, teh! Beni-nya masih belum datang juga?”
“Belum.. dari tadi sebenarnya kita sudah mau pulang. Tapi bingung, kamarnya nggak dikunci, mau di telpon, handphone-nya juga nggak dibawa. Titip saja ya!”
“Oh.. kunci saja pintunya! Biasanya kuncinya ada di rak buku.”
Aku mengunci kamar Beni dan menitipkannya pada laki-laki tadi. Segera aku dan Nunik meninggalkan tempat itu. Langit memang tak bersahabat, di luar sedang hujan lebat. Jarak lima meter dari kamar kost, Beni berteriak memanggilku.
Dengan terengos-engos, karena berlari. Beni bertanya padaku. “Kalian mau ke mana?”
“Kita mau pulang.”
“Pulang? Kok baru datang sudah mau pulang lagi, nanti saja dulu.”
“Buat apa berlama-lama di tempat kamu, nanti kita dihina-hina lagi.”
“Iya, kita nggak mau dicap sebagai tukang ganggu mahasiswa” Nunik menambahkan.
“Kalian ngomong apa sih? Aku nggak ngerti!”
“Coba kamu tanya saja sama pemilik kost-nya! Mungkin dia bisa menjelaskan. Maaf kita nggak bermaksud mengganggu kamu.”
“Oh.. pasti ibu kost-ku ngomong macam-macam ya? Barusan aku dikasih tahu si abang. Katanya kalian dilabrak. Tenang saja nanti aku jelasin sama dia! Dia memang suka begitu kalau ada orang tak dikenal datang ke kompleks sini, apalagi kalau yang datangnya cewek. Harus dimaklum! Sebelumnya pernah ada kejadian, salah seorang teman kami membawa pacarnya ke sini sampai menginap segala, sejak saat itu dia semakin ketat.”
“Sudahlah kita mau pulang, nggak usah bahas itu lagi!”
“Ya sudah kalau kalian ngotot mau pulang, aku juga nggak bisa maksa. Tapi ini masih hujan!”
“Biar saja”
“Maaf ya atas kejadian ini. Kalian jangan kapok ya, kapan-kapan main lagi ke sini!”
Aku mengangguk “Insyaallah, kita nggak janji!”
Kami berdua pamitan sama Beni dan berlalu pergi. Sebuah mobil mewah melintas dari belakang. Mengklakson kami berdua, pengemudinya seorang pria dewasa menolehkan wajahnya “Hai, ikut yuk!” ujarnya terseyum memandang rendah kami. Mataku mendelik kemudian menggelengkan kepala.
“Sialan! Masih saja kita dianggap perempuan nggak bener” Nunik menggerutu.
Tiba di kontrakan, kami menceritakan semua kejadian ini pada Mirna dan lainnya.
“Kasihan banget nyampe diusir-usir segala. Mestinya kamu tuh bilang kalau kamu saudara jauhnya si Beni, pasti ibu kost-nya nggak bakalan ngusir.”
“Kan kita syok banget, lagian si Beni nggak bilang kalau ibu kost-nya galak kayak herder gitu” jawabku.
Tak lama handphone-ku berbunyi, ternyata Beni menelponku, meminta maaf atas kejadia tadi siang. “Barusan aku sudah ngomong sama ibu kost, ngejelasin kalau kamu tuh sebenarnya saudara jauhku dari kampung, dia menyesal dan minta maaf padaku. Ingat ya jangan kapok. Kapan-kapan datang lagi ke sini!”
**
Di pagi yang masih berawan staratus[2]nya, kami pergi ke daerah Kosambi, Nunik mendapatkan informasi lowongan kerja di sebuah toserba yang cukup bonafit. Sebelum berangkat, aku menyiapkan air mineral untuk dan sedikit makanan ringan untuk bekal di jalan. Nunik tersenyum melihat tingkahku.
“Kamu kayak ibu-ibu saja, telaten sekali sampai-sampai mempersiapkan bekal. Tapi aku juga mau bawa payung ah.. kemarin kan kita kehujanan.”
“Iya dong, kalau mau pergi tuh kita harus ada persediaan, minimalnya air minum, itu penting banget. Gimana kalau tiba-tiba seperti kemarin, kita kehausan di tengah jalan. Mending kemarin masih di tempat ramai jadi kita bisa beli es kelapa muda, nah.. kalau jauh dari tempat jualan, kita juga yang repot. Berat sedikit nggak apa, yang penting fungsinya. Lagian kalau bekal kayak gini ngirit biaya tahu!”
“Okey.. sudah siap untuk perjalanan kita hari ini?”
“Ayo pergi! Kita kan selalu siap tempur!”
Kami bergegas dengan penuh semangat. Setiap langkah yang kami pijak adalah harapan yang tercecer di mana-mana. Kami menghentikan angkot di pangkalan Damri yang ke Cicaheum.
Pukul delapan kami tiba di pasar Kosambi. Dari sana kami mesti sedikit berjalan kaki, barulah sampai. Lagi-lagi kami kurang beruntung. Lowongan itu hanya berlaku bagi orang yang memang berpengalaman menjadi kasir, walau sebelumnya kami juga mengetahui syarat-syaratnya, tapi kami terus berusaha dan berharap para personalianya bisa diajak kompromi. Kami pulang dengan membawa lamaran itu kembali.
Hari masih pagi, Nunik mengajakku melamar ke tempat lain. Kami berjalan menyusuri banyak tikungan dan perempatan. Di setiap restoran ataupun kafe-kafe, kami berusaha menanyakan perihal adanya lowongan atau tidak. Tak terasa, kami berjalan hampir di sepanjang jalan Jendral Sudirman, tembus ke jalan A. Yani daerah Kebon jati. Kami terus menyusuri jalan mengikuti kehendak ibujari-kaki kami.
Terkadang, di tengah perempatan jalan, kami berdiskusi hendak berjalan ke arah mana. Tak selamanya kami berkata mufakat. Adakalanya, tanganku menunjukkan ke arah kanan sementara tangannya Nunik ke arah kiri. Jika sudah begini, kami bingung dan salah satu harus mengalah. Begitu seterusnya hingga tanpa disadari, kami sudah melewati jalan Jendral Sudirman, A. Yani, jalan Naripan kemudian menembus jalan Lembong dan berhenti di jalan Braga. Sejenak kami melepas dahaga dan lapar kami dengan bekal yang sengaja kami bawa. Berdiri di depan sebuah diskotik kuno yang menjadi ciri khas dari jalan Braga.
“Chie, untung saja kamu punya ide bawa bekal jadi kita nggak kehausan.”
“Tuh.. apa kubilang, berguna juga kan?”
Nunik manggut, “Eh.. di sini tuh banyak banget diskotik dan pub-pub malam, kamu nyoba ngelamar nggak?” dia menggodaku.
“Ngapain ngelamar ke sini? Masih banyak lah perusahaan lain yang membuka lowongan, kita saja yang nggak tahu. Kalau mau ngelamar juga kapan, orang sudah siang kayak gini juga masih sepi, kayak nggak ada tanda-tanda kehidupan. Atau malah sudah nggak beroperasi sama sekali ya? Lihat saja bangunannya sudah pada tua begini, peninggalan Belanda banget. Jangan-jangan tidak pernah direnovasi ya?”
“Jangan salah.. tua-tua begini, gedung-gedung di sini akan terlihat ramai jika malam tiba. Sekarang saja terlihat sepi, padahal katanya kehidupan di sini baru di mulai di malam hari Chie! Ya mungkin kalau mau nyoba ngelamar ke sini, kita datang malam hari saja, sekitar jam sembilanan. Kalau jam segini mah mana buka!”
“Alah kamu sok tahu banget, emang kamu pernah ngebuktiin? itu juga pasti kata orang.”
“Tapi kan nggak bakalan ada asap kalau nggak ada api, mana mungkin mereka bilang begitu pasti ada buktinya. Mau nggak nyobain ngelamar?” Nunik tertawa ringan dan terus menggodaku.
“Nggak lah.. salah-salah nanti orang kampung ngira aku cewek nggak bener lagi. Kita nggak ngapa-ngapain mereka menuduhnya lain.”
“Itu kan tergantung kita. Kalau kita niatnya kerja, nggak macam-macam, di manapun kita bekerja pastilah aman-aman saja. Tuhan maha mengetahui, orang kampung nggak perlu tahu apa yang kita kerjakan selama itu halal.”
“Memang benar, tapi tetap saja Nik, namanya kerja di tempat hiburan kayak gini pastilah banyak resikonya. Kita nggak tahu kehidupan malam tuh seperti apa. Yang kita tahu hanyalah sebatas kehidupan malam di pabrik saja” aku berhenti sejenak menelan roti bungkus yang kubawa.
“Inikan tempat umum, semua orang yang datang ke sini dari berbagai kalangan Nik! Kebanyakan tujuan mereka untuk mencari kesenangan. Kita nggak tahu tabiat mereka, walau kenyataannya mereka baik, bisa saja mereka berlaku tak sopan dan membuat masalah dengan kita−−hanya karena mereka tak sadar−−berada di bawah pengaruh alkohol.”
“...Kita nggak bisa jamin apa yang akan terjadi Nik! Masih mending kerja di restoran atau kafe-kafe yang bukanya dari siang hari, aku rasa itu jauh lebih aman. Paling sekitar jam sepuluh atau sebelas malam sudah tutup. Nah.. kalau ini sebaliknya, mungkin jam-jam segitu baru mulai rame-ramenya hingga dini hari. Belum lagi di dalam sana pasti ada minuman-minuman beralkohol. Seperti yang kukatakan tadi, walaupun kita nggak suka dan nggak mau minum, tapi kita nggak tahu juga itu akan bertahan berapa lama. Bukankah lingkungan sangat berpengaruh? Bisa saja yang tadinya nggak pernah nantinya malah jadi kecanduan?” sambungku.
“Benar juga sih.. malah aku pernah dengar temannya saudaraku yang pernah di tempat kayak gini, nggak nyampe sehari sudah kabur. Katanya sih ada pelecehan kayak gitu!”
“Nah itu dia...”
“Ngomong-ngomong tak terasa ya kita sudah sampai di sini, lumayan jauh juga jarak yang kita tempuh hari ini.”
“Iya benar-benar tak disangka kita berjalan sejauh ini. Terus sekarang kita mau ke mana nih? Males ah kalau langsung pulang mah!”
“Kita refreshing saja Chie ke Pasar Baru.”
“Wah.. tapi aku nggak punya uang banyak, nanti malah ngiler pengen belanja. Kalau bisa sih ke tempat wisata saja. Tapi di mana juga, dari sini kan dekatnya ke tempat belanja.”
“Itu juga salah satu tempat wisata, wisata belanja! Tapi kita nggak usah belanja, orang aku juga nggak punya uang. Kita survey saja, siapa tahu ada barang bagus buat lebaran nanti. Siapa tahu sebelum lebaran kita sudah dapat kerjaan baru.”
“Aamiin”
“Tapi kira-kira dari sini kita ke mana ya?”
“Tenang saja, kita kan punya senjata; nabi!”
“Apaan tuh nabi?”
“Dina-biwir[3]. Hehe...”
“Hahaha... kamu mah ada-ada saja!”
“Yeee.. aku tuh nggak ngada-ngada. Emang itu senjata kita, kalau nggak tahu arah, kita tinggal tanya orang saja. Gampang kan urusannya, itung-itung uji keberanian kita buat bertanya. Itu juga yang selalu di pesankan ibunya Mirna, sekalipun kita lupa jalan pulang, tapi kalau kita punya kemauan untuk bertanya, insyaallah kita tidak akan tersesat.”
Kami melanjutkan perjalanan menuju ke Pasar Baru, menerobos jalan sekenanya saja. Tak terasa, kami sudah berada di depan hotel Grand Aquilla Bandung.
“Nik, kita sudah sampai sini!” aku menunjukkan ke arah hotel.
“Iya kalau dari sini sudah dekat Chie, kamu lihat itu? Sungai Cikapundung sudah nampak!”
“Hmmm.. kamu tahu Nik sungai terpanjang di dunia?”
“Apa maksudmu bertanya tetang hal itu? Tentu saja sungai Nil yang ada di Mesir, masa kamu nggak tahu.”
“Kalau menurutku bukan, masih ada yang lebih panjang dari sungai Nil.”
“Apa iya? Sungai apa tuh?”
“Itu yang ada di hadapan kita, sungai Cikapundung.”
“Ah.. ngaco!”
“Beneran, kalau sungai Nil yang di Mesir kan lokasinya hanya di satu benua, Afrika saja. Nah, kalau sungai Cikapundung kan melewati dua benua sekaligus, terbentang sepanjang Asia hingga Afrika. Hayo.. panjangan mana?” aku meledek Nunik. Sementara Nunik merasa tertipu oleh ceritaku.
“Sialan kamu! aku sudah menyimak baik-baik tahunya kamu malah iseng. Itu mah kebetulan saja sungai Cikapundung posisinya melewati jalan Asia-Afrika.”
“Hehehe... biasa aja kali, ngomongnya nggak usah pakai urat. Sekedar selingan biar perjalanan kita nggak terasa capek.”
Nunik tersenyum kemudian berkata “Tapi sepertinya kita tak mesti melewati sungai itu Chie, kita menerobos saja ke arah kiri. Soalnya dulu aku pernah dibawa saudaraku menerobos jalan, malah lebih dekat deh, nggak muter. Sayangnya aku lupa lagi arahnya.”
“Hayo, kita tanya dulu sama bapak itu” aku dan Nunik mendekat kea arah tukang parkir.
“Maaf pak numpang tanya, kalau mau ke Pasar Baru tapi nggak melewati sungai Cikapundung bisa nggak pak?”
“Oh.. bisa neng! Motong jalan lewat sini saja” tangannya menunjukkan ke arah kiri. Persis seperti dugaan Nunik. Benar sekali, keluar dari jalan, kami langsung menghadap ke depan Pasar Baru. Tanpa tedengaling-aling, kami langsung duduk selonjoran di antara anak tangga di beranda Pasar Baru, membentangkan kedua tangan. Tak peduli orang berkata apa, kami hanya ingin istirahat sejenak, merasakan kenikmatan setelah perjalanan yang ditempuh cukup melelahkan, sampai-sampai telapak kaki kami terasa kebas. Masa bodoh dengan pikiran orang, toh kami juga tak kenal dan mungkin tak akan bertemu mereka lagi.
**
Tiba di kontrakan sekitar pukul setengah lima sore. Aku nangkirng dikamar Nunik sambil menaikkan kedua kaki ke dinding, supaya peredaran darahnya lancar. Yani dan Mirna menghampiri.
“Tumben datangnya sore, apa sudah dapat kerjaan?”
“Belum, barusan aku dan Nunik habis muter-muter. Akhirnya nangkring di Pasar Baru.”
“Iya, tadi nggak kerasa ya Chie, kita jalan-jalan kayak gini, eh.. sekarang pas di kontrakan, terasa benar-benar kebas.”
“Emang kalian jalan kaki dari mana?”
“Dari Kosambi eh.. nggak taunya nyampe juga ke Pasar Baru” jawab Nunik.
“Gila.. itukan jauh banget! Kenapa nggak naik mobil saja. Naik Damri juga lumayan jauh” komentar Mirna.
“Kalau aku sih.. selama ada temannya, ya senang-senang saja. Walau awalnya aku sempat ngajak Nunik naik angkot.”
“Iya, intinya sih bisa ngirit ongkos. Kan sayang kalau ngelamar mesti naik turun angkot atau bis kota. Jadinya malah berat di ongkos dong!, Belum lagi kemungkinan tempat yang dituju bisa terlewati, malah berabe. Kalau jalan kaki lebih fokus, kita bisa lihat sana-sini, ada lowongan apa nggak? Kalau naik mobil belum tentu bisa begitu ya Chie? Hehehe...”
“He eh..”
“Kayaknya kota Bandung mah sudah ke ubek sama kalian berdua deh! Hehe..” ujar Mirna.
“Iya ya, berat banget perjuangan kalian. Giliranku nanti akhir bulan ini dapat jatah dirumahin. Sepertinya kalau kalian sudah dapat kerjaan, aku nggak bisa muter-muter kota Bandung kayak kalian deh. Paling aku ngelamar yang dekat-dekat kontrakan saja, kalau nggak ada terpaksa minta tolongin sama kak Rizal” Yani pun ikut berkomentar.
“Belum tentu juga kita dapat kerjaan dalam waktu yang cepat ya Nik?”
“He eh.. siapa tahu malah kamu duluan yang dapat” Nunik menyahut.
“Lah.. kita saling do’akan saja. Tapi aku yakin kalau perjuangan kalian berdua sepertinya nggak akan sia-sia. Meski nggak sekarang, suatu saat kalian pasti bakal hidup sukses” ujar Yani.
“Aamiin.. “
“Kayaknya teh Mirna saja yang adem-ayem” kembali Yani berujar.
“Kalau aku kan lebih dulu masuk kerjanya jadi lebih aman. Heuuh.. nggak kebayang deh kalau aku dirumahkan kayak kalian berdua. Mesti ke mana nyari kerja, nggak ada relasi sama sekali, nggak tahu daerah mana yang ada kawasan industrinya. Belum lagi bingung buat bayar pengobatan bapak, uangnya dari mana. Jangan sampai deh.. mungkin tuhan juga mengerti kondisiku..”
“Apa pun yang terjadi, kita harus berani menghadapinya. Bahkan dulu, aku selalu malu jika harus bertanya pada orang asing. Tapi sekarang, itu sudah menjadi kebiasaan. Ke mana pun kita melangkah, harus berani bertanya supaya tidak tersesat. Jangan kalian pikir aku tahu seluk-beluk kota Bandung, sedikit-sedikit, aku bertanya pada orang lain, mencari informasi, sekalipun aku tak tahu sama sekali daerah tersebut. Peta kota Bandung saja aku tak punya” paparku.
“Memang benar, senjata yang paling ampuh ya.. di bibir kita; ber-ta-nya!” sambung Mina.
**
No comments:
Post a Comment