BLIND DATE

Jika mas Dito masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Berbeda denganku, dalam waktu beberapa minggu, aku menyibukan diri mencari kerja bersama Nunik. Itu bukan satu-satunya cara menghilangkan kepedihan hatiku. Pepatah mengatakan, sakit hati harus diobati dengan hati juga. Bisa jadi! Lewat teman dekatku, Ririn. Aku mendapat kenalan baru, seorang lelaki yang mengaku sekampung denganku telah membuatku—beberapa hari ini, jadi penasaran. Laki-laki itu pun dikenalkan Ririn via pesawat telepon.
Alkisah, perkenalan Ririn dan Pandu berawal dari ke-isenganRirin yang suka asal pencet nomor dan kebetulan nomor yang dia hubungi memang aktif.
Awalnya salah sambung, tapi kian hari mereka kian dekat. Terlebih Pandu mengaku berasal dari kampung yang sama dengan kami, walau kenyataannya dia sudah lama juga tinggal di Bandung.
Hari menunjukkan pukul setengah dua belas, si Raja siang masih saja malu. Sorotnya tak terlihat−−langit pun pias−−tak lagi beringas. Aku menyambangi Ririn di tempat barunya, pada saat itu pula, Pandu menghubungi Ririn dan menjadi awal kedekatanku dengannya.
Karena penasaran, aku memutuskan untuk bertemu dengan Pandu. Kukabari hal ini pada Ririn lewat telepon, suaranya terdengar lain, meski dia berusaha menyembunyikannya. Kemungkinan Ririn cemburu, tapi aku tak tahu pasti, itu hanya dugaanku saja. Entah kenapa dia selalu menampiknya, malah dia bilang kalau aku dan Pandu merasa cocok, baiknya kami berhubungan serius.
Rencana matang kurancang. Aku dibantu dua teman baikku, Nunik dan Yani. Menyusun sebuah siasat yang cukup apik.
 “Chie, nanti ketemuannya di mana?” tanya Nunik.
“Katanya sih di Terminal Leuwipanjang. Tapi nggak tahu juga, nanti deh aku tanyain lagi.”
“Hehehe.. kok nggak elite banget, ketemuannya di terminal. Harusnya di pusat perbelanjaan biar sekalian shopping teh!” protes Yani.
“Huh.. dasar matre, dia kan tinggalnya di daerah Kopo, tahu di mana aku lupa lagi nama tempatnya. Dari tempatnya ke terminal Leuwipanjang kan lumayan dekat. Sama juga kalau dari sini. Itu titik temu yang pas. Kalau mau shopping mah gampang, tinggal pergi bareng saja.”
“Hmmm.. teteh juga sama aja matrenya! Hehe... kalau aku nggak kerja, aku pengen temenin teh Achie, sekalian pengen tahu juga, orangnya cakep nggak ya?” Yani berkomentar lagi, aku hanya tersenyum.
“Harusnya sih emang kamu ditemenin Chie. Tapi aku juga nggak bisa nemenin kamu. Aku ada perlu sama saudara di Antapani.”
“Eh.. Chie, kamu dan Pandu kan nggak saling kenal, pasti kalau ketemuan bingung nyarinya. Mending kayak di sinetron-sinetron saja, kamu tanyain dulu dia mau pakai baju apa? terus kamu bilang kamu juga mau pakai baju apa. Tempatnya harus jelas di mana, jadi kan gampang. Nanti pas ketemuan, kamu jangan langsung nyamperin. Dari jauh kamu intai dulu, orangnya kayak gimana. Kalau cocok, baru kamu temuin dia, kalau nggak kamu tinggalin saja.”
“Uh.. sadis banget mbak Nunik!” ujar Yani.
“Itukan bagian dari trik, daripada nanti kamu sendiri yang repot.”
“Lah kalau nanti dia nanyain kenapa nggak ada di tempat janjian bagaimana harus jawabnya?”
“Gampang, tinggal bilang saja kalau sebenarnya kamu nggak jadi ke sana, ada halangan. Atau kalau nggak kamu bilang saja kamu hanya nge-tes dia, bohong apa nggak.”
“Okey, tumben kali ini kamu punya trik ngebohongin orang?”
“Eits.. jangan salah, dalam hal percintaan aku lebih berpengalaman daripada kalian. Hehehe..”
“Hahahaha..” aku dan Yani tertawa.
“Jadi kamu nanti pakai baju apa?” tanya  Nunik.
“ Hehe.. teh Achie yang mau ketemuan, kok jadi kita yang penasaran ya? Kalau saja aku bisa ikut dalam misinya teh Achie, huh.. pasti seru deh!” Yani berkomentar.
“Aku bingung, mau pakai baju yang mana. Tapi nanti aku mau bilang ke Pandu, aku pakai baju kaos warna merah. Kalian sabar.. nanti juga aku kabari!”
“Ingat, nanti teh Achie jangan pakai baju merah juga” pesan Yani.
“Siap dong!”
“Sukses ya!” seru Nunik.
“Okey!”
**
Fajar pun merona-merekah, menambah gairah. Aku sibuk mengobrak-abrik lemari baju. Mencari mana yang akan aku kenakan. Yani terkekeh melihat tingkahku. “Yeee.. yang mau nge-date bingung nyari  baju ya?” ejeknya padaku.
“Ah... kamu bukanya bantuin, malah ngeledek” mataku tertuju pada sebuah sweeter hitam. Hmmm.. boleh juga! Gumamku.
Pukul Sembilan pagi aku langsung meluncur naik angkot jurusan Cimahi-Leuwi Panjang, duduk di jok belakang sopirnya.
“Mau ke mana teh?” tanya mas Danang, sopir angkot yang kebetulan tetangga kontrakan dan sudah menikah.
“Ke terminal Leuwipanjang mas!”
“Mau ngapain?” lanjutnya.
“Ada perlu mas!” jawabku. Mas Danang manggut-manggut. Untung saja sopirnya bukan mas Muhdi, jadi nggak banyak nanya. Terminal Leuwipanjang sudah di depan mata, aku langsung mengirim pesan pada Pandu. Lama sekali Pandu belum juga datang. Menanti kedatangannya membuatku deg-degan. Aku menunggu di pinggiran terminal. Pandu meneleponku.
“Halo, Chie kamu di mana?”
“Ya halooo, aku di depan STMIK Mardira ‘a, terus sekarang ‘aa di mana?”
“Haloo.. halooo... Chie gak kedengaran!”
“I-ya haloo... ‘aa di mana?”
“Di dalam terminal Chie. Aduh.. berisik banget nih!”
“Kamu pakai baju apa Chie? Sekarang posisinya di mana?” kini suaranya terdengar jelas, mungkin dia sudah keluar terminal.
“Kan sudah dibilangin, aku pakai kaos merah! Aku di depan STMIK Mardira, dari teminal, ‘aa jalan ke sebelah kiri saja. ‘Aa sendiri baju birunya kayak gimana sih? Banyak banget nih yang pakai baju biru!”
“Nggak biru-biru amat sih, kemeja kotak-kotak warna biru telor asin tahu apa nih, ‘aa juga bingung hehe..” jawabnya. Tanpa menutup telepon, aku keluar dari persembunyianku, mencari-cari sosok pria itu.
“Ih.. nih orang nggak jelas banget. Tuhan, sebenarnya dia di mana? Jangan sampai dia mengenaliku lebih dulu.”Mataku masih celingukan. Karena tak sabar, aku keluar dari persembunyianku dengan posisi handphone masih menempel di telinga.
“Chie, kamu bohong ya? Katanya kamu pakai baju kaos warna merah. Tapi kok malah pakai warna hitam?” tiba-tiba pertanyaannya mengagetkanku. Rupanya dia mengendus motif kebohonganku. Aku terpana, tak menjawab.
Dari mana dia tahu aku mengenakan baju warna hitam? Sebenaranya dia ada di mana? tu.. tungguuuu! Oh my God!” Kurang lebih jarak sepuluh meter, aku melihat sesosok laki-laki berkemeja lengan pendek, memandang ke arahku, tapi masih belum terlihat jelas. Warna bajunya biru muda, kotak-kotaknya terlihat samar, “..Laki-laki itu begitu pendek, apa dia orangnya? Akh.. tidak mungkin, pasti aku salah!” gumamku. “Tapi laki-laki itu sedang menelepon seseorang. Apakah seseorang itu aku?”
“Ah.. kalau begini semuanya tak sesuai dengan skenarioku, gagal total. Di skenario, harusnya aku yang lebih dulu tahu. Kalau aku merasa cocok, baru aku menampakkan diri tapi sebaliknya, jika aku tak cocok sama sekali, aku harus meninggalkannya dan mencari alasan yang tepat sebagai penjelasannya.”
Laki-laki itu mendekat ke arahku. Kami benar-benar saling berhadapan. “Matilah..! Tuhan, aku harus bagaimana? Dalam kondisi seperti ini, tak ada kesempatan buat mengelak, aku tak mungkin lari.”
“Hai, lama nunggu ya?”
“Haaaai..” aku mendesah panjang. Seolah-olah tak percaya kalau aku sedang berhadapan dengan orang yang selama ini−−bisa dibilang−−nyaman diajak bicara, walau terkadang dari ucapannya terdengar seperti orang angkuh. “ Lumayan juga!” jawabku.
“Kok tadi pertanyaanku nggak dijawab?”
“Yang mana ‘a?” aku berusaha bersikap santai, menutupi perasaanku yang sedikit kecewa.
“Itu.. tadi ‘aa nanya ke kamu, kenapa kok kamu bohong. Katanya pakai kaos warna merah, tapi kok malah pakai jaket hitam. Sengaja ya?”
Aku malu atas kebohonganku yang sudah terbongkar, tapi aku berusaha tenang dan mecari jawaban yang tepat. “Nggak juga, tadinya emang benar mau pakai kaos warna merah, tapi dipikir-pikir nggak enak ah, warnanya terlalu mencolok.”
“Kenapa tadi nggak langsung bilang? Jadinya kan malah repot nyarinya!”
“Hehehe.. sedikit bikin kejutan dong!”
“Bukan kejutan itu mah namanya, bikin pusing orang tahu! Hehe...”
“Hee..”
Kami berjalan di sepanjang trotoar jalan raya. Sesekali tangan Pandu meraih tanganku, aku mengibaskannya berdalih malu dilihat orang. Sudut kanan mataku melirik ke arah bahu Pandu dan bergumam dalah hati “Aa, wajahmu cukup manis, kamu juga pandai menyenangkan hatiku meski sikap angkuhmu kadang muncul ke permukaan.” Aku mendesah “Berapa tinggi badannya? Aku saja hanya seratus lima puluh enam senti, pasti tinggi badannya berkisar antara seratus empat puluh lima sampai seratus lima puluhan. Hmmm..” lagi-lagi aku mendesah panjang. “Tuhan maafkan aku! Bukan maksudku menghina ciptaanmu, tapi aku tak sanggup kalau dia mengajakku berhubungan yang serius, lebih baik jadi teman saja.”
Pandu mengajakku mampir ke sebuah rumah makan Padang. Entah mengapa aku tak berselera dan menyisakan makanan di piring. Yang ada di pikiranku saat itu, bagaimana caranya supaya lekas pulang. Selanjutnya Pandu mengajakku menyambangi tempat kerjanya. Baru pas siang hari aku berpamitan.
**
Langkahku terasa berat saat mendekati gerbang kontrakan. Di balkon terlihat para sahabatku duduk santai di kursi kayu. Mereka terseyum menyambut kedatanganku, seolah menagih informasi. Melihat mereka, aku geli dan terseyum sendiri.
“Waduh yang habis nge-date datang-datang senyam-senyum nggak jelas!” tukas mas Dito.
“Ngomong apaan sih?”
“Gimana sukses nggak?” Nunik bertanya.
“Iya teh, gimana orangnya cakep nggak?” Yani ikutan penasaran.
Aku masih tetap tak menjawab. Bingung mau ngomong apa.
“Dari roman-romannya sih kayaknya nggak terlalu menyenangkan. Soalnya aku tahu tabiat si Achie, pasti ada sesuatu atau kejadian yang kurang menyenangkan, iya nggak?” Mirna menebak.
“Heuu.. bingung juga nih! Secara, kalau ngomong sih lumayan nyambung, wajahnya... lumayan manis juga! Tapi...”
“Tapi bener kan ada sesuatu yang nggak disukai darinya? Hahaha.. aku tahu watak kamu. Sudah kebaca!” potong Mirna.
“Kayak peramal saja kamu mah” gerutu mas Dito.
“Tapi apa Chie? Ah.. kamu mah ngomong nggak jelas gitu? Cerita atuh, kita kan pengen tahu juga!” Nunik penasaran. Begitu juga Yani.
“Iya ih.. teh Achie menyebalkan, suka berbelit-belit gitu ah...!”
“Tapi sayang orangnya.. pendek banget” jawabku pelan seolah tak mau mendengar reaksi mereka.
“Hehehe... Pendek? Segimana pendeknya?” tanya Mirna.
“Pokoknya pendek banget deh!”
“Iya kira-kira berapa senti tingginya?”
“Nggak tahu juga.”
“Alah paling sependek-pendeknya juga pasti sama denganku kan?” mas Dito sok memprediksi.
“Mending atuh kalau segitu mah. Aku juga nggak bakalan malu.”
Seperti tak percaya, mas Dito bertanya lagi “Masa, terus segimana tingginya dong? Kalau sama kamu mah pasti masih tinggian dia kan?”
“Nah itu dia, tadi pas jalan saja mataku sempet meliriknya. Masih tinggian aku mas! Kalau setinggi kamu mah pasti aku juga mau! Hehehe...”
“Hahaha.. si Achie mah aya-aya bae![1]kali ini mas Dito terkekeh mendengar ucapanku.
“Tapi bener kalau pendekan laki-laki mahaku juga ogah, malu euy! Ntar dikiranya malah sedang jalan sama adiknya bukan pacar. Hehehe..” Mirna berkomentar “Kita tuh bukan pemilih banget, kita juga tahu diri kok. Nggak ngarepin yang macem-macem, tapi se-enggaknya jangan sampai malu-maluin kalau di bawa ke ondangan. Hehehe..”
“Aku malah jadi penasaran pengen lihat orangnya. Eh.. suruh saja dia pake jojodok[2]kalau mau jalan bareng sama kamu, jadi kan kelihatannya tinggian dia, minimalnya juga seimbang lah. Hehehe...”
“Sialan kamu mas!”
**


[1] Ada-ada saja.
[2] Bangku kayu yang ukurannya sangat kecil. Biasanya hanya untuk duduk satu orang saja.

No comments:

Post a Comment