TAHUN BARU BAGIAN 2

Kali ini aku kerja pagi, otomatis tak akan telat sampai tujuan. Seperti biasa tempat yang paling digemari di Bandung adalah Gasibu. Jam delapan malam, kami berkumpul di beranda rumah pemilik kontrakan, kebetulan berdampingan dengan kontrakan kami. Persekongkolan gila pun dirancang apik.
Kami tahu jika Uli dan Tia (anak pemilik kontrakan), tidak diijinkan membawa motor sekalipun teman laki-laki yang membawanya. Alasannya jelas. Pertama karena keamanan. Kedua, adanya pertikaian antara Uli dan Tia dengan kakak laki-lakinya; ‘a Edang yang sedang mabuk berat karena pengaruh alkohol. Emak Isah tahu sekali tabiat anak lelakinya itu. Maka dari itu, dia begitu menetang keinginan dua putrinya.
“Coba saja kalau kalian berani bawa motor itu. Emak akan laporin pada kakak kalian, ang Ijan. Si Edang juga kalau tahu pasti marah banget. Dia menganggapnya emak pilih kasih” dengan nada marah mak Isah mengancam. Memang semua anak-anaknya hanya takut pada kakak tertuanya, ang Ijan. Mungkin karena dia seorang anggota marinir.

“Tapi itu motor punyaku mak! Aku sendiri yang bayar cicilannya. Kenapa jadi si Edang yang sewot, makanya suruh dia beli motor kalau masih tak punya uang, kredit saja biar nggak nyusahin orang!” Uli marah-marah tak terima keputusan emaknya.
“Mana punya uang lah! gajinya saja masih suka kurang buat ngidupin dia sehari-hari” Tia ikut berkomentar. Sementara aku, Mei, Iwang dan Uus diam dan saling melempar pandangan.
Demi mewujudkan keinginan ini aku dan teman-teman sekontrakan, patungan menyewa motor dari tukang ojek. Satunya lagi motor balap milik Uus.
Mengendap-endap, kami berjalan hingga ujung jalan. Sengaja motornya Uli tidak dibawa. Menghilangkan alibi.  Kami menunggu di pangkalan ojek, sedangkan Uus dan Iwang pergi membawa motor milik Uus. Di jalanan luas, Iwang dan Uus beraksi dengan memboncengi kami.
Perjalanan yang menyenangkan. Berkonvoy keliling kota, menjemput rombongan lainnya. Memotong jalan ke Gedebage, Kiaracondong tembus ke pusat kota. Kami tiba beberapa menit sebelum bola-bola api memercikkan keindahannya. Suara MC acara timbul tenggelam ditelan deru motor pengunjung. Hitungan mundur berakhir, langit pun sesaat bersolek ria seirama dentuman kembang api yang melesat ke angkasa.
Rombongan kami meluncur lagi, menjemput fajar. Uus yang tampil sebagai pimpinan konvoy, memberi kode pada anak buahnya. Hanya saja, ada sebagian yang tak menghiraukan termasuk Iwang. Ia dan kawannya lurus saja. Uus tak kuasa menghetikan laju mereka. Suaranya tak jelas terdengar ditelan gemuruh motor. Segera ia menepi.
“Gawat, mereka asal nerobos saja. Padahal jelas-jelas arah ke sana di-forbidden. Pasti mereka kena tilang!”
“Masa dini hari kayak gini ditilang, emang ada polisi jaga? Lagi pula ini kan tahun baru. Nggak pakai helm sama bonceng dua penumpang saja nggak apa-apa kok!”
“Jangan salah, justru mereka suka mengambil keuntungan. Itukan di jalanan yang ramai, arah sana sepi. Mereka melanggar rute. Ya semoga saja sih nggak ada masalah!”
Iwang datang dari arah yang tadi dilaluinya. Hari pertama di tahun yang baru, Iwang ketiban sial dua kali berturut-turut. Setelah jaketnya hilang, ia pun kena tilang.
Air mukanya tampak kecewa. Ia memarkirkan motor dipinggir motornya Uus.
“Aduh sial Us!”
“Kenapa, kena tilang ya?” tanya Uus sedikit meledek.
Heu euh.. hari pertama langsung kena sial. Tadi jaketku jadi korban, sekarang lima puluh ribu di dompet melayang. Ckk...” geleng kepala tak percaya.
“Sudah ikhlaskan saja. Itung-itung buang sial. Minggu depan juga bayaran!”
“Kamu sih nggak ngasih tahu kalau ke arah sana di-forbidden!”
“Ih.. dari tadi juga aku ngasih kode, kaliannya saja yang main nyemprung seenaknya.”
“Kupikir nggak bakalan ada patroli. Gila polisinya kayak kurang kerjaan saja, harusnya mereka jaga di tempat ramai.”
“Lumayanlah.. aji mumpung!”
“Ckk.. bener banget, harusnya mereka maklum ini kan tahun baru. Eh.. ngotot be ek nahan motor mun teu dibere duit mah.[1]Bahaya kalau motornya sampai ditahan.”
“Untunglah motornya dibalikin.”
“Iya tadi aku ngomong sama polisinya; ‘Pak tolonglah jangan sampai ditahan, kalau ini motorku terserah bapak deh. Aku tahu aku yang salah, tapi ini bener-bener motor punya orang lain’ terus dia bilang; ‘Kamu maunya apa?’ ya kubilang saja ingin damai; ‘Nih pak aku punya uang segini, tolong saya dong pak!’ Baru deh diam”
“Ya sudah kita pulang saja. Jangan kelamaan nanti ketahuan sama si emak!”
Masih di ambang fajar, kira-kira pukul setengah empat pagi kami tiba. Rancaekek masih senyap belum menggeliat. Kaki berjingkat-mengendap, menutup pintu kamar perlahan. Kemudian aku pun pasrah dibalik selimut tebal, terbius ke alam mimpi.
**


[1] Ngotot mau nahan motornya jika nggak dikasih uang.

No comments:

Post a Comment