AKU dan IBU

IBU, sosok yang paling aku tak tahu bagaimana cara menghadapi dan melunakkan hatinya. Tiap kali aku dan dia bicara, pasti berujung pada sebuah pertengkaran. Entah aku yang salah atau sebaliknya. Maka dari itu, aku dan Andi tak pernah−−mau−−berlama-lama berada didekatnya, bukan berarti tak menyayangi, tapi lebih ke upaya mencegah pertengkaran.
Masih terngiang di telingaku ucapan para ustadz dan ustadzah di sela-sela ceramah keagamaanya. ‘Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu’. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana jika ibunya seperti ibuku yang tak pernah merawat anaknya dengan baik, mencurahkan kasih sayang layaknya ibu-ibu yang lain, mendidik menjadi seorang berperilaku baik. Layakkah jika ibuku diberi gelar seperti itu?

Betapa aku merindukan sosok ibu yang bisa aku teladani. Apa dayaku? Berbagai cara telah aku tempuh hanya untuk membuatnya bersikap normal seperti ibu lainnya. Kenyataan yang didapat masih sama, aku harus menelan pil pahit dari setiap upayaku ini. Karenanya, ibu seolah menutup mata dan telinga. Tak pernah mau mendengar saran, apalagi kritikan dari orang lain. Termasuk anak dan suaminya. Lebih dari duapuluh-dua tahun dia berumah tangga, tapi perilakunya tak pernah berubah malah semakin menjadi. Aku bingung, jika sedang emosi rasanya habis sudah kesabaranku.
Ibu tak pernah memperlakukan aku dan Andi seperti anaknya sendiri. Dia menarik dirinya; keluar dari beban yang harus dipikulnya bersama bapak. Dia seolah menumpahkan segala tanggung jawab dan kewajibannya pada bapak.
**
Suatu waktu, aku yang sedang emosi berkata padanya “Bisakah ibu bersikap seperti ibu-ibu lainnya dan menjadi teladan, minimalnya bagiku dan Andi?”
Mendengar ucapanku, angkara murkanya spontan meluap. “Ngomong apa kamu? Kamu yang harus berubah, hormati aku! Gini-gini juga aku adalah ibumu, orang yang telah melahirkanmu. Kalau tidak ada aku, mana mungkin kamu ada di dunia ini.”
“Itu ibu sadar, kalau ibu telah melahirkan aku ke dunia ini. Tapi ibu juga harus menyadari kalau aku dilahirkan di dunia ini bukan tanpa sebab. Tuhan menciptakan seorang anak untuk dirawat, disayangi dan di-didik dengan baik. Lantas apa yang selama ini telah ibu perbuat untukku dan Andi? Tak ada!”
“Lancang sekali kamu!” hardiknya.
“Maaf bu, ibu sadar nggak, berapa tahun ibu berumah tangga? Umurku saja hampir duapuluh-dua tahun. Selama kurun waktu itu, adakah sikap ibu yang mengabdikan diri untuk suami dan anak-anaknya? Sadar bu... ibu itu orang tua, jangan terus-terusan bersikap ketergantungan pada orang lain walau itu anak dan suami! Kasihan bapak bu.”
Tak seperti biasanya, bapak yang juga sedang berkumpul dengan kami, hanya diam saja. Diamnya bapak membuatku merasa tak salah atas apa yang telah aku katakan pada ibu, walau dari cara bicaraku terkesan kasar. Tiap kali aku berbicara baik-baik, ibu selalu meresponnya dengan sikap menentang dan tak mau disalahkan sekalipun dia memang salah−−itu menyulut emosi dalam dadaku. Bahkan saudara-saudaraku selalu menyuruhku untuk mengingatkan ibu. Mereka berpikir, mungkin jika anaknya yang berbicara pasti akan didengar. Ternyata dugaan mereka salah!
“Neng, coba kamu yang mengingatkan ibumu. Siapa tahu dia mau mendengar. Kalau kamu tak ada, kasihan bapak, pulang kerja bukannya disediakan makanan malah harus repot sendiri. Masak sendiri, nyuci baju pun dicuciin sama bapa. Sebagai istri, ibu kamu tuh benar-benar tak ada kerjaanya, tak ada baktinya sama sekali. Masih untung bapakmu sabar, mungkin kalau bibi bersikap begitu, pastilah pamanmu menceraikanku!”
“Susah bi, malah ujung-ujungnya jadi bertengkar.”
“Oh gitu? Bibi pikir kalau sama kamu mahnurut.”
“Entahlah, aku juga sudah bingung bagaimana cara menghadapinya. Sudah tabiatnya begitu ya susah.”
“Iya, itu mah adat ka kurung ku iga[1]
**
Saat ini pula, bersujud dihadapanNYA, aku benar-benar meratap. Mengharapkan setitik cahaya buat ibu dan kelapangan untukku.
Dulu, sewaktu masih di bangku SMP, ibu pernah menyumpahiku gara-gara aku menasihatinya. “Bu, bangun dong! Tolong ibu tungguin nasi yang kutanak!”
“Ah.. nggak enak badan, sama kamu sajalah!” jawab ibu dengan posisi tak beringsut dari tempat tidur.
“Aku mau berangkat sekolah, ini hampir kesiangan.”
“Ya sudah biarin saja, nanti juga ada bapak!”
“Ibu itu kebiasaan ya? Tiap kali disuruh ke dapur pastilah jawabannya tak enak badan,  sedang sakit perut. Nggak bosen apa dari dulu alasannya itu-itu melulu?”
“Kamu teh nggak percaya banget, ini beneran sakit!”
“Ya kalau sakit kenapa nggak berobat, puskesmas dekat. Alah.. itu mah akal-akalan ibu saja supaya nggak ngerjain kerjaan rumah.”
“Dasar anak durhaka! Ngomong sama orang tua kasar banget, aku do’akan kamu celaka. Celaka... neng!” pekiknya.
Aku marah segera berlalu ke kamar. Sakit, benar-benar sakit hati ini, manakala ibu menyumpahiku seperti itu. Sampai-sampai, saat aku hendak berangkat sekolah, aku tak berani menyebrangi jalan raya, hanya karena takut kutukan ibuku ampuh. Pikiranku melayang jauh, bagaimana jika saat aku menyebrang, aku mengalami kecelakaan; tertabrak mobil. Aku benar-benar panik, di hadapanku−−terbentang jalan raya−−yang cukup ramai. Aku tak tahu, apakah aku masih bisa selamat jika menyebrangi jalan ini, atau mungkin salah satu kendaraan yang melintas di sini akan menjemput ajalku, wallahu ‘alam!
“Ya allah.. maafkan aku jika aku tak pernah bisa berbicara baik pada ibu. Tapi ENGKAU maha mengetahui apa tujuanku. Aku tahu do’a ibu sangat mujarab. Tolong lindungi hambaMU ini!” segera setelah aku berdo’a, aku menyebrangi jalan raya, alhamdulillah tubuhku masih utuh, tuhan masih melindungiku. Atau mungkin tuhan menginginkan aku membayar sikap kasarku pada ibu secara perlahan dan  segera berubah. Mungkin saja!
Kutukan-kutukan ibu tak pernah berhenti sampai di situ. Dia selalu membawa-bawa agama dan tuhan supaya aku tunduk dan patuh padanya. Mungkin jika ibu memberikan teladan bagiku, bisa saja aku patuh padanya. Namun apa yang dia lakukan benar-benar tak sesuai dengan statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Kadang, jika aku sedang emosi, aku seolah menyalahkan tuhan atas apa yang sudah menimpaku ini. Rasanya tuhan tak adil padaku. Teman-temanku bisa merasakan perhatian yang cukup dari ibunya walaupun kondisi ekonomi mereka pas-pasan. Apa yang menimpaku membuatku miris, kehidupan ekonomi keluargaku pun sama tak baiknya dengan beberapa temanku, walau bapak yang notabene seorang PNS, harusnya bisa mencukupi kebutuhan keluarga inti.
Tanpa terasa, air mataku membasahi mukena bawah daguku. Ingatanku masih tertuju pada keharmonisan Mirna dan ibunya yang barusaja sudah kusaksikan. Aku jadi berandai-andai. Andai saja aku di posisi Mirna, pasti hidupku tak kesepian lagi.
 Kecemburuanku bukan kali ini saja terjadi. Dari kecil hingga kini, aku selalu iri jika melihat anak sebayaku mendapatkan perhatian dari ibunya. Kejadian yang paling hangat, di saat aku masih duduk di bangku SMA, saat itu; pagi yang tak cerah, hujan begitu deras, aku hendak berangkat ke sekolah, meminta ibu mengantarkanku hingga jalan raya tempat aku menunggu angkutan. Sudah kuduga, ibu menolak permintaanku dengan keras. Dia menganggapku anak yang manja. Padahal, maksudku supaya aku tak membawa payung, karena di rumah hanya ada satu payung, yang kupikir pasti akan sangat dibutuhkan oleh orang rumah terutama bapak yang mau berangkat ke kantor.
Aku lebih memilih sehelai daun pisang yang mengantar kepergianku ke jalan raya, menunggu angkutan datang. Dari sebrang, tampak salah satu teman lelaki membawa payung dengan seorang perempuan paruh baya, rupanya diantar oleh ibunya. Aku menyaksikan pemandangan itu dengan rasa cemburu yang luar biasa. Seorang lelaki remaja saja masih begitu diperhatikan oleh ibunya, tapi mengapa aku tak bisa merasakan hal seperti itu?
Kisah serupa yang tak kalah mirisnya ketika pulang sekolah. Cuacanya masih sama, musim hujan lebat. Begitu turun dari angkutan, aku dan salah satu sahabat baikku saat itu, langsung menunggu hujan reda di depan sebuah kios kecil. Belum juga reda, datang mendekat, ibu dari sahabatku membawa sebuah payung dan jas hujan.
Sepertinya ibu sahabatku lebih mengerti ketimbang ibuku sendiri. Dia sengaja membawa payung untuk dipakainya, sedang jas hujan untuk anaknya berbagi denganku. Awalnya aku menolak tawaran mereka, berharap ada ibu yang menjemput. Sahabatku dan ibunya setia menungguku, tapi ibu tak kunjung datang. Terpaksa aku terima tawaran itu.
Harapan tinggal harapan, mustahil jika ibu berubah begitu saja. Terkadang jika mata hatinya sedang terbuka, dia mau membantuku dan bapak melakukan aktifitas rumah. Walau aku sendiri tahu, ibu mempunyai keterbatasan dalam bekerja. Karena hal inilah, aku jadi berandai-andai, andai aku punya uang yang banyak, ingin sekali berkonsultasi dengan ahli psikologi, bertanya bagaimana cara menghadapinya.
**


[1] Watak yang sudah terkurung, mendarah daging. Susah untuk dilepaskan.

No comments:

Post a Comment