CAHAYA BARU

Pertengahan bulan Nopember, di saat aku, Herti dan Yani sibuk mencari kerja, tawaran datang dari salah satu teman baikku, Ririn. Sepertinya tuhan menakdirkan aku dan Ririn untuk terus bersama. Segera aku melengkapi persyaratan yang ada dan melamar ke sana, tempat Ririn bekerja. Aku begitu antusias, karena Ririn saja sudah bertahan cukup lama dan memang kerasan kerja di sana.
Jalanku begitu mulus, setidaknya itu yang kupikirkan pada saat itu juga. Ribuan pelamar yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat, bahkan dari dari beberapa kota lain di Indonesia. Aku adalah salah satu pelamar yang beruntung dari sekian banyak pelamar beruntung lainnya.
   
Berat hati, kutinggalkan kontrakan lama, tentunya teman-teman yang sudah lama menemani hariku. Yani yang manja, membantuku berkemas dengan mata berbinar. Hari ini semua temanku membantu mengangkut barang ke dalam angkot mas Muhdi yang sengaja kucarter. Mereka begitu antusias mengantar kepergianku ke tempat baru dan dunia baruku.
Sangat mengharukan, seperti melepas seorang pejabat penting saja. Hampir semua penghuni kontrakan berhamburan keluar menyaksikan kepergianku yang diiringi beberapa sahabat baikku. Tak ketinggalan, ibunya Mirna yang sudah menganggapku seperti anaknya sendiri turut mengantarku. Angkot penuh sesak, beberapa kardus barang-barangku dimuat di lorong antara kursi penumpang.
 Angkot mas Muhdi melaju, aku menatap lekat orang yang berjejer, mereka melambaikan tangannya melepas kepergianku. Sungguh aku terharu. Yani bicara memecah keheningan :
“Teh, sekarang tinggal aku dan Herti saja yang masih harus berjuang. Jadi nggak semangat!”
“Jangan mudah menyerah dong, mungkin belum rejekinya kamu. Allah nggak suka dengan orang-orang yang suka berputus asa.”
“Iya Yan, kok kamu jadi cengeng gitu sih, kan masih ada kita-kita!” Mirna menenangkan Yani.
Kontrakan Ririn begitu nyingkur,[1]angkot mas Muhdi diparkir di pinggir pangkalan ojek. Semua temanku bergotong-royong membawa barang-barang hingga ke tempat tujuan. Sejenak mereka beristirahat, berselonjoran kaki di beranda kamar penghuni lain.
Mas Dito menghembuskan nafas seraya berkata “Rin, bisa-bisanya kamu milih kontrakan yang jauh dari jalan raya. Gimana kalau kerja?”
“Capek ya mas? Emang sih kalau dari jalan raya mahjauh. Tapi kalau ke tempat kerja justru dekat. Soalnya kontrakan ini berada tepat di belakang pabrik, tinggal motong jalan saja. Tuh dari gerbang masuk tadi belok ke arah kiri!”
Mas Dito manggut sambil merokok. Yani berkomentar “Oh... kupikir lewat jalan yang tadi.”
“Wah.. lewat sana mah kejauhan.”
Aku yang sudah tak canggung dengan Ririn, mengambil air minum untuk semua teman.
“Sorry ya jadi ngerepotin kalian, nih minum dulu!”
“Iya nih nggak ada apa-apa” Ririn ikut merasa tak enak.
Malam kian larut, mereka berpamitan. Ibu Mirna berpesan “Yang betah ya Chie! Ini tinggal dua lagi yang jadi pikiran ibu.”
Herti dan Yani hanya tersenyum.
Dari kebahagiaan ini terselip rasa kecewa, lagi-lagi aku ditempatkan di bagian yang aku tak suka, bagian mesin, meski bukan mesin yang sama—kaos-kaki. Mesin tenun sekarang menjadi kewajibanku untuk menjaganya. Pekerjaan yang sama dilakukan oleh Mirna. Bedanya, sumber daya yang dikeluarkan, Mirna menjaga mesin waterjet, sedang aku mesin Airjet. Entah mengapa, aku tak pernah merasa senang jika ditugaskan menjaga mesin. Bukan kebetulan semata−−tiap berjaga−−mesin-mesin itu sepertinya tak mau bersahabat denganku.
**


[1] Mojok, posisi yang jauh dari jangkauan.

No comments:

Post a Comment