NILAI PERSAHABATAN



Pulang kerja, mbak Murni menjengukku. Kebisaan yang sama kulakukan jika salah satu operatornya sakit. Kali ini dia datang sendiri. Tanpa mandor, kepala regu atau operator lainnya. Aneh sekali, bukannya mengharapkan imbalan, setidaknya ada rasa kepedulian sedikit saja pasti membuatku bahagia. Sedang mbak Murni adalah orang yang jelas-jelas pernah kubenci malah dengan baik hati datang menjenguk, memang sekarang kami berteman baik. Dia membawakan makanan untukku. Itu, dia lakukan atas inisiatifnya sendiri. Uangnya keluar dari kantong pribadi. Bukan yang seperti biasa kami lakukan, mengumpulkan dana dari semua operator.

“Kok mbak Mur datang sendirian?”
“Lah.. nungguin perintah mandornya lama amat, mending bergerak sendiri. Aku heran sama ko Herry dan mbak Darsinah, kalau operatornya yang sakit cepet banget dia nyuruh kita minta sumbangan buat ngejenguk. Tapi giliran kamu, sebagai asisten yang sakit, dia cuek saja. Padahal dia tahu kalau penyakitmu parah. Hmm.. memang nasibmu lagi jelek kali! Hehehe..” dengan terkekeh, mbak Murni mengkritik atasan kami.
“Hee.. jadi uang buat beli makanan ini dari mbak semua?” aku kagum dengan solidaritasnya yang tinggi. Dia datang bukan atas nama perusahaan, tapi atas keinginan pribadi. Rasa persahabatannya yang tinggi telah menggiringnya kemari.
“Ya.. begitulah! Sorry aku nggak bisa ngasih banyak, soalnya lagi pailit. Maklum minggu tanggung!”
“Ya nggak apa-apa dong mbak, ini juga makasih banget, mbak Mur masih mau jengukin aku. Tenang saja mbak, minggu depan kan bayaran![1]
**
Hari ketujuh berangsur membaik, walau tak pernah istirahat total−−sehari masuk−−dua hari ijin. Minum obat dokter rutin kulakukan, plus ramuan obat tradisional dari rebusan cacing kering, kapsul cacing dan bajigurcacing terpaksa aku minum. Rasa jijik kalah oleh keinginanku untuk sembuh, aku juga sudah tak asing lagi dengan bau amis makhluk ini. Aku hanya ingin semuanya kembali normal, itu yang kupikirkan.
Hari ini aku masuk kerja, kebetulan jatah shift malam. Badanku masih gemetaran, akibat panas yang tinggi. Aku, Mirna dan Herti menuruni anak tangga. Yani dan ibunya Mirna duduk di kursi balkon.
Aku mengenakan jaket tebal, setelah sebelumnya menyembunyikan dua bungkus roti kiriman mbak Murni di balik celana jeans−−di kedua betis, kemudian diikat karet gelang.
Ini kali pertama aku berbuat nekat, meski operator kaos-kaki lainnya sudah terbiasa melakukan aksi ini. Kondisilah yang memaksaku bertindak seperti ini. Pengaruh dari obat−−membuatku tak bisa menahan lapar. Ibunya Mirna melihat pemandangan ini dari kegelapan. Hatinya teramat sakit, dia tak kuasa hingga menitikan air mata. “Ya tuhan... anakku masih beruntung bisa membawa makanan ke dalam pabrik. Sementara anak ini harus berjuang mengelabuhi para satpam yang sedang jaga” gumamnya dalam hati.
Sehari setelah kejadian ini, dia menceritakan apa yang dilihatnya padaku, saat kami semua sarapan pagi di koridor.
“Memang begitu peraturannya bi, nggak boleh membawa makanan ke dalam. Baru-baru ini−−setelah aku sakit, perutku selalu perih bawaanya lapar terus. Terpaksa ngambil jalan pintas, bawa bekal di kaki.”
Mirna berkomentar “Gila ya.. orang lain harus muter otak kalau mau bawa makanan. Kalau nggak, puasa sampai jam istirahat tiba. Sementara di bagianku bebas, boleh bawa makanan ke dalam asal  jangan ganggu kerjaan saja.”
“Tapi teh Achie terbilang berani juga ya! Terus nggak ketahuan?” Yani keheranan.
“Terpaksa. Ya enggak lah, kan satpamnya hanya meriksa di bagian atas sampai pinggang saja. Pokoknya yang ada sakunya. Kalau betiskan di bawah, tertutup celana pula.”
“Makanya semalam ibu sampai nangis Yan! Ngerasa sakit hati lihat Achie harus bawa makanan diumpetin di betis segala. Padahal dia kan sedang sakit. Masih untung si Mirna mah” ibunya Mirna berujar.
Euh.. nggak kebayang deh kalau peraturannya dirubah. Kayaknya kerja gelemes banget” tukas Mirna.
Peraturan di bagian kaos-kaki memang lebih ketat. Tidak bisa seenaknya membawa makanan ke dalam pabrik. Hanya air putih dan permen saja yang diperkenankan. Air minum berwarna dilarang keras dibawa ke dalam lapangan. Alasannya karena barang yang diproduksi adalah barang jadi, takut mengotori produksi katanya. Sementara di bagiannya Mirna sedikit longgar, itu disebabkan barang produksinya masih setengah jadi dan biasanya melewati proses pencelupan terlebih dahulu.
**
Usai sarapan, aku tak langsung tidur. Mengontrol kesibukan di kamar mandi, masih penuh. Terpaksa aku mengantri, menunggu jatah mengerek tali timba. Teh Yeti merasa iba melihatku, tapi dia tak banyak membantu, karena dia sendiri pun terlihat letih sekali setelah mencuci beberapa ember baju.
“Kamu mau ngapain? Mandi?”
“Nggak teh, mau nyuci tapi direndam dulu biar kotorannya terangkat!”
“Emangnya kamu kuat?”
“Mau gimana lagi, semua seragam kerjaku sudah pada keluar lemari.”
“Minta tolong saja sama teman-temanmu, masa mereka nggak mau bantu?”
“Nggak lah, masih bisa kok. Nggak enak nyuruh-nyuruh orang lain segala.”
Aku berlalu meninggalkan teh Yeti di kamar mandi, hendak membawa cucian. Di koridor, ibunya Mirna sedang menyapu, dia mendekat ke kamarku “Nggak salah, kamu mau nyuci sebanyak itu?”
“Iya bi.”
“Kasihan banget kamu. Kalau bibi nggak meriang, mungkin bibi mau bantuin kamu. Mirna juga sudah tidur.”
“Nggak usah, bibi bisa sakit juga karena terlalu capek kerja ini-itu. Apalagi sekarang ditambah ngurusin aku yang sakit, malah energi bibi jadi terforsir. Aku nggak mau ngerepotin bibi, isrtirahat saja bi, supaya cepat sembuh.”
“Coba kamu mau nurut sama bibi, suruh orang rumah ke sini ngerawat kamu, mungkin kamu nggak bakalan repot begini” aku hanya tersenyum, bangkit membawa cucian.
“Yani.. nih teh Achie bantuin dong, sekarang kamu kan libur!”
Segera Yani keluar dari kamarnya “Iya bu..?”
“Tuh coba kamu lihat, masa teh Achie mau nyuci sebanyak itu? dia kan lagi sakit!”
Yani melihat kearahku “Ihh.. teh Achie kok malah mau nyuci segala, teh Achie jangan dulu kerja yang berat-berat dong, nanti malah tambah parah!”
“Yan, kamu sayang nggak sama teh Achie?” tanya ibunya Mirna.
“Sayang lah bu! Dia kan sudah aku anggap kakakku sendiri.”
“Ya kalau sayang, harusnya kamu bantuin dia dong! Ibu juga bukannya nggak mau bantu, tapi kebetulan hari ini ibu sedang nggak enak badan. Kalau sehat mah pasti ibu kerjakan sendiri.”
“Iya teh, sini cuciannya, biar aku saja yang nyuci!”
“Biarin nggak usah!”
“Teteh ini gimana, kan lagi sakit?” Yani meraih cucian yang kupegang.
“Aku nggak mau ngerepotin kamu Yan!” sergahku.
“Nggak kok, siapa juga yang direpotin, itu mahsudah kewajibanku sebagai teman, iyakan bu?”
“Iya lah semua orang harus tolong-menolong apalagi sama teman sendiri. Tapi kamu ikhlas nggak Yan?”
“Ikhlas dong bu!”
“Maaf, ibu jadi nggak enak tadi nyuruh-nyuruh kamu, soalnya ibu nggak tega lihat Achie, sementara saat ini ibu sendiri nggak bisa bantu.”
“Nggak apa-apa kok bu!”
“Eh.. Yan, nanti dulu, jangan semuanya dicuci! Ada barang pribadiku” aku berkata pelan dan berusaha mencegah Yani.
Yani mengetahui barang apa yang kumaksudkan “Oh... nggak apa-apa atuh!”
“Nggak bisa gitu dong, pamali! Ini biar aku sendiri yang nyuci, makasih banget ya, malah jadi ngerepotin kamu” segera aku mengambil barang-barang pribadiku.
“Iya, sama-sama, dulu juga waktu aku sakit, teh Achie yang nyuciin baju-bajuku” jawab Yani sambil berlalu pergi. Aku tersenyum melihatnya.
“Itulah indahnya persahabatan” sahut ibunya Mirna.
**


[1] Istilah gajian di kalangan para buruh pabrik.

No comments:

Post a Comment