JATUH KE LUBANG YANG SAMA


Berbekal ijasah SMA tanpa mempunyai pengalaman dari sebuah keterampilan menjadi kendala dalam mencari pekerjaan. Kursus jahit telah aku jalani, tidak serta-merta membuat jalanku mulus. Seperti yang sudah kukatakan, hampir semua perusahaan garment di Bandung menginginkan karyawan yang berpengalaman.
Lika-liku hidup membawaku ke tempat yang sama sekali tidak ada dalam perhitunganku. Rupanya peruntunganku memang selalu ada di pabrik.
“Apa seumur hidup kamu mau terus-menerus kerja di pabrik?” ujar pamanku pada suatu ketika.
“Ya enggak lah, kebetulan saja dapatnya di pabrik.”
“Bukan keinginan, jika terus-menerus kerja di pabrik. Tapi... daripada tidak kerja sama sekali, tak ada pilihan lagi”gumamku.

“Makanya cobain yang lain. Kalau ada lowongan CPNS, sekali-kali kamu cobain melamar!”
“Bukannya nggak mau, dulu juga sempat mencoba, rupanya pihak penerimaan kurang tertarik dengan seorang lulusan SMA yang hanya berpengalaman kuli di pabrik. Rata-rata jaman sekarang kalau mau jadi PNS harus berpendidikan yang tinggi, minimalnya D3. Itu juga tidak semua beruntung. Kadang berkali-kali tes juga belum berhasil, apalagi aku yang hanya lulusan SMA. Mereka saja yang sudah honor bertahun-tahun masih banyak yang belum diangkat.”
“Minta koneksi saja sama bapakmu, masa nggak punya kenalan?”
“Kalau melalui koneksi tetap saja urusannya uang. Dari mana coba?”
“Ya nggak apa-apa, nanti juga bisa kembali. Pinjam dulu ke bank, gampang kan?”
“Aku nggak mau kalau harus mati-matian ngeluarin uang. Apalagi aku sendiri nggak terlalu berminat jadi PNS.”
“Terus kamu inginnya jadi apa?”
Aku diam. Merenungkan apa yang sebenarnya kuinginkan.
**
Kali ini aku melabuhkan sauhku di pabrik pembuatan rambut palsu atau yang sering di kenal dengan sebutan wig. Jaraknya tak jauh dari rumahku. Dengan mobil jemputan, bisa ditempuh dalam waktu setengah jam.
Selama tiga bulan aku ditraining. Upah yang dibayar dari setiap bulannya berbeda. Bulan pertama, empat ratus ribu. Bulan kedua naik limapuluh ribu, begitu juga dengan bulan ketiga.
Perusahaan Penanam Modal Asing (PMA) ini belum lama berdiri. Investornya adalah orang Korea Selatan. Upah yang dibayar disesuaikan dengan UMK kota setempat, itu jika memenuhi target karena sistem kerja di sini bersifat borongan. Jika sebaliknya, pendapatan buruh dihitung berdasarkan jumlah barang yang disetor dikali dengan harga per picisnya. Harga setiap wigrelatif, tergantung dari jenis barang yang dikerjakannya (tingkat kerumitannya).
Hampir semua penduduk setempat, terutama lulusan SD dan SMP, berbondong-bondong mencoba peruntungan. Tak terkecuali beberapa orang dari kampungku.
Dilihat dari segi keamanan, pabrik ini memiliki tingkat kecelakaan kerja yang terbilang rendah. Tidak adanya mesin−−menekan angka kecelakaan kerja. Hanya beberapa kecelakaan kecil saja seperti tertusuk jarum. Pabrik ini hanya memiliki satu gedung utama sebagai tempat bekerja. Ruangan ini digunakan untuk menampung semua bagian.
Alat yang digunakan juga sangat sederhana. Jarum, helaian rambut palsu dan kepala terbuat dari kayu yang dibentuk setengah lingkaran−−didesain menyerupai batok kepala. Di ruangan itu hanya ada meja kayu dan kursi yang disusun berjejer, layaknya ruang kantin pabrik. Karena memang ruangan ini dwifungsi. Selain untuk bekerja, berfungsi juga sebagai tempat makan di kala istirahat.
Seiring berjalannya waktu−−perlahan−−para buruh mundur. Alasan yang nyaris sama, selain tak kuat berjam-jam duduk me-netting[1]dan penglihatan yang mulai kabur. Parahnya tak bisa mencapai target yang ditentukan. Pada akhirnya, upah yang didapat sama sekali jauh dari UMK.
Terlebih suasana di pabrik akhir-akhir ini tidak kondusif. Bukan sekedar gonjang-ganjing. Aku sendiri menjadi saksi mata tragedi massal itu. Peristiwa ini berlangsung hampir satu bulan lebih. Ini bermula dari musim kemarau yang panjang.
Untuk memenuhi kebutuhan buruh, pihak pabrik menggunakan air sumur yang ada dikawasan pabrik. Jaringan PDAM belum sampai ke sana, dikarenakan relif tanah yang curam. Kemarau panjang mengakibatkan kekeringan, hingga suplai air setiap harinya tidak mencukupi lagi. Kondisi inilah yang memaksa pihak pabrik membongkar satu sumur yang sebelumnya sudah ditutup.
**
Percaya atau tidak. Menurut kabar yang beredar, sumur itu ada penghuninya. Merasa keberadaannya terganggu, makhluk itu beberapa kali menampakkan wujudnya di depan para buruh yang memang pikirannya sedang kosong. Histeria para buruh tak terbendung, manakala suasana pabrik teramat sunyi. Salah satu buruh memekik keras−−meraung−−meronta-ronta. Kontan semua buruh berhamburan mendekati pintu darurat. Dari dalam kantor, muncul beberapa petinggi pabrik. Personalia, kabag dan para staff. Dengan muka yang ditekuk mereka mencoba menetralisir keadaan.
“Tenang semuanya, tak ada apa-apa! Kembali lanjutkan pekerjaan kalian” ujar salah satu keamanan pabrik.  Para buruh bergeming, masih ketakutan.
“Iya, yang tenang saja. Jangan terlalu banyak pikiran. Itu hanya pikirannya saja yang sedang kosong, jadi berhalusinasi. Makanya banyak berdo’a” personalia pun menyahutnya.
“Im, tolong kamu pimpin do’a saja biar semua buruh tenang!” sambungnya pada kabag produksi.
Teh Iim mengangguk, dia mendekati kerumunan buruh “Mungkin kalian juga mendengar gosip yang santer beredar, saya harap kalian bisa lebih tenang menyikapinya. Tidak akan terjadi apa-apa jika kita bersungguh-sungguh bekerja. Ingat ya, jangan biarkan pikiran kita kosong” secara pribadi, kejadian ini seolah menjadi cambukan baginya.
“Alangkah baiknya, sekarang kita berdo’a saja. Semoga tidak ada lagi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Kalian kembali ke tempat masing-masing!” sambungnya.
Masih diliputi perasaan takut, para buruh terpaksa menuruti perintah kabagnya.
**
kondisi mencekam seperti ini berlangsung terus-menerus. Setiap harinya selalu ada karyawan yang pingsan kerasukan atau sekedar melihat penampakan saja. Tak henti-hentinya pula−−saban hari−−menjelang masuk dan pulang kerja para petinggi itu memimpin do’a.
Pagi yang sunyi. Jam kerja belum sampai sepuluh menit dimulai. Brukk.. terdengar benda yang terjatuh. Tak lama, para buruh histeris. Seperti biasa, orang–orang yang berpengaruh di pabrik menenangkan kami. Buruh yang pingsan pun digotong ke mushola. Suasana kembali normal. Selang beberapa menit kemudian, jerit tangis menjadi pengiring di saat jam kerja. Aku dan teman-teman saling lempar pandangan, berbisik, seraya mulut komat-kamit, tak henti-hentinya berdo’a.
“Setelah ini, siapa lagi yang jadi korban? Kira-kira di barisan ini ada nggak ya?” tanya Dede sambil tertawa ringan memecah kesunyian. Aku tahu yang dia lakukan hanyalah bentuk penutupan diri dari rasa ketakutan.
Aku tersenyum, menggeleng.
Ani menimpali “Kamu saja kali..”
“Ih.. amit-amit!” jawab Dede.
“Pstt.. kalian ini malah ngomong ngaco. Aku beneran takut nih!” ujar ‘Ai Reni
Tak ada lagi yang berbicara. Hanya terseyum saling lempar pandang dan kembali melanjutkan pekerjaan.
Setiap barisan, di beberapa titik tertentu, selalu ada korban berjatuhan. Ini hari yang terparah. Sempat-sempatnya aku dan teman sebangku, menghitung jumlah korban yang berjatuhan. Di perkirakan lebih dari dua puluh orang dalam sehari. Pengakuan beberapa korban, mereka melihat penampakan makhluk yang tak lazim. Hingga akhirnya tak kuasa menahan takut dan histeris.
Berbagai cara dilakukan. Termasuk memanggil pemuka agama setempat. Merinding. Aku menyaksikan pengobatan yang dilakukan ustadz itu. Terlebih, dibacakan ayat-ayat al-qur’an, para korban menjerit histeris.
“Panass...” ujarnya dengan mata mendelik, tangan hendak mencakar. Pak ustadz menyuruh makhluk itu keluar dari tubuh korban. Makhluk itu bersedia jika permintaanya dituruti. Menutup kembali sumur yang telah digali. Segera, setelah peristiwa ini, pihak pabrik menuruti dan menutup kembali sumurnya.
Klimaks dari rentetan peristiwa ini, di saat pabrik menyelenggarakan acara peringatan ulang tahunnya. Bukan pengajian yang digelar, tapi acara musik dangdut koplo yang didatangkan. Masyarakat sekitar, menyebutnya pongdut. Pihak pabrik berdalih, terlanjur sudah mengontrak grup musiknya.
Awalnya semua berjalan lancar, sesaat setelah mister Kim hyung shin, sang Manager membuka acara. Para buruh terbuai, mengikuti irama musik seraya berbondong-bondong berjoget di depan panggung manakala lagu kebanggan pabrik, ABG Tua dan Alamat Palsuversi koplo didendangkan. Kedua lagu itu saban hari diputar mengisi kejenuhan para buruh yang bekerja dan menjadi top rank.  
Di sela-sela buruh yang berjoget, aku menyaksikan pemandangan yang kontras. Satu persatu buruh pun histeris, berjatuhan pingsan. Rupanya penghuni sumur terganggu dengan keramaian. Karena acara yang digelar, tepat berada di atas sumur yang baru beberapa hari ditutup. Musik dangdut itu masih saja tidak dihentikan. Beberapa penari dadakan pun tak menghentikan aksinya. Rupanya mereka sudah kebal dengan situasi seperti ini.
Ketegangan semakin memuncak, manakala salah satu penduduk setempat menerobos gerbang dan berjoget di panggung. Pihak keamanan pabrik mengusirnya, dengan alasan keamanan karena pria itu kedapatan tengah mabuk berat. Orang itu tidak terima dan menyulut aksi warga sekitar yang dari awal mengontrol jalannya acara. Amuk warga benar-benar menghentikan acara musik dangdut yang baru satu setengah jam dimulai. Terjadi adu agrumen bahkan adu jotos antara pihak pabrik dan penduduk setempat. Polisi yang bertugas kewalahan dan meminta bantuan.
Para buruh pontang-panting terjebak situasi. Bingung hendak ke mana berlari. Kami benar-benar terkepung. Dari dalam, banyak korban kesurupan yang mengamuk. Sedang di luar sana, warga terlihat lebih beringas. Terpaksa, kami tunggang-langgang ke dalam gedung. Saling seruduk, satu sama lain, ingin lebih dulu masuk. Beberapa orang terluka atas peristiwa ini. Kekacauan hari ini benar-benar klimaks dari semua peristiwa yang sudah terjadi di pabrik wig. Selanjutnya pihak pabrik memulangkan buruh lebih awal.  
**


[1] Kata dasarnya knetting; menjahit rambut palsu.

No comments:

Post a Comment