Seiring keluarnya aku dari pabrik tekstil, kelangsungan kerjaku di garment mulai terancam. Menjelang lebaran, kabarnya ada pemutihan karyawan. Nasibku tak baik, aku termasuk ke dalam daftar pemutihan itu. Lagi, aku menjadi pengangguran.
Minggu pagi yang masih berkabut, rintik-rintik hujan bersambutan. Aku menyusuri sepanjang trotoar pasar tradisional. Dari arah berlawanan, sebuah sepeda motor menepi. Pengemudinya terlihat masih muda, tampan pula. Dia mengulurkan selembar kertas padaku.
“Teh, sekedar informasi saja, sedang ada lowongan kerja. Coba dilihat-lihat dulu, siapa tahu berminat!”
Tak banyak basa-basi. Kuambil brosur itu, dia pun berlalu.
Di luar, hujan masih belum reda. Aku menghangatkan tubuh dengan secangkir teh manis, membolak-balik brosur yang baru kuterima. Kurenungkan baik-baik, mempertanyakan .kebenaran isi brosur tersebut. Posisi yang ditawarkan cukup menjanjikan. Aku manggut-manggut, alangkah baiknya jika aku membuktikannya, pikirku saat itu.
Aku tidur lebih awal dari biasnya. Setengah empat pagi, mataku sudah terjaga. Kuintip dari balik gordyn, suasana di kamar mandi masih sepi. Segera kuraih keranjang cucian dan membawanya turun lengkap dengan peralatan mandiku.
Pukul enam, aku sudah siap dengan membawa map lamaran.
“Mau ngelamar ke mana Chie? Tumben pagi banget?” Tanya Mirna yang masih duduk santai di bangku sembari menyeruput teh manis.
“Soalnya lumayan jauh Mir, ke daerah Buahbatu.”
“Oh.. pabrik apa?”
“Bukan pabrik, aku juga kurang tahu. Sepertinya di mall.”
“Semangat ya!”
“Okey!”
**
Bis kota yang kutumpangi terjebak macet. Hampir tiap melaju beberapa meter sudah berhenti lagi, ini dikarenakan waktunya jam kerja. Pukul delapan, aku tiba di tempat tujuan. Kulihat sebuah pusat perbelanjaan, gedungnya tinggi menjulang. Pikirku, pasti ini tempat yang dimaksud.
Ada seorang petugas keamanan sibuk dengan walkie-talkie genggamnya. Kutunjukkan brosur yang kupegang padanya.
“Pak numpang tanya, kalau MTC Blok 6 Nomor 184 di mana ya?”
“Oh, yang sedang buka lowongan itu ya?”
“Benar pak!”
“Lurus ke jalur dua dulu, nanti belok kanan, lihat-lihat deh sepanjang situ nanti ada ruko-ruko.” Aku termenung “Ruko-ruko? Kupikir kantor besar di mall!” bapak itu pun berpesan padaku “Neng, nanti kalau diminta uang buat pendaftaran yang lima belas ribu itu jangan dikasih dulu!”
“Uang? Emangnya pakai uang gitu pak?”
“Yang sudah-sudah sih begitu! Soalnya dari kemarin-kemarin banyak yang ngelamar. Tapi pada pulang lagi. Katanya harus pakai uang, yang lumayan banyak. Pendaftarannya juga harus pakai uang.”
“Wahhh... terimakasih ya pak atas informasinya!”
“Sama-sama”
Menghadap ke muka pintu gedung kecil bernomor 184. Lekat-lekat kupandanginya, seolah tak percaya. Kemudian mataku mengarah ke mall yang menjulang tinggi. “ruko?”
Ada banyak orang yang melamar. Aku mendekati recepcionist-nya, “Siang mbak!”
“Siang.. ada yang bisa dibantu?”
“Ini mau nanyain perihal lowongan kerja. Syarat-syaratnya apa saja?”
“Yang penting ada KTP dan ijazah saja. Mau melamar?” aku menganggukkan kepala “Silahkan isi dulu data lengkapnya!” dia mengulurkan sebuah map berisikan data calon pelamar.
Aku mengisi sesuai dengan petunjuk yang ada. Recepcionist itu beranjak “Tunggu di sini dulu, nanti dipanggil!” dia segera berlalu ke ruang lainnya. Aku menunggu dengan beberapa pelamar lain, dari pintu masuk masih ada beberapa orang yang juga punya kepentingan sama.
Tak lama, namaku dipanggilnya. Segera aku menghadap ke personalia. Seorang pria muda, yang terbilang tampan. Namanya pak Fauzi, usianya diperkirakan tak jauh denganku. Dia menyalamiku dan mempersilahkan duduk. “Masih muda begini sudah jadi personalia? Pasti minimalnya dia lulusan sarjana!”
“Siapa namanya?”
“Yarsi Yuniasari”
Dia manggut-manggut kemudian berkata “Begini ya Yarsi, peraturan pertama kamu tadi sudah mendaftar, jadi harus membayar administrasinya dulu sebesar lima belas ribu rupiah baru kamu bisa mengikuti tes.”
“Membayar?” aku seolah tak percaya, sesaat aku teringat ucapan bapak keamanan tadi di pekarangan pintu masuk.
“Iya itu kan termasuk uang pendaftaran. Setelah ini kamu baru bisa mengikuti tes. Otomatis kamu sudah menjadi bagian dari karyawan PT. Teguh Maju Jaya”
Aku merenung, baru kali ini ada perusahaan yang meminta uang pendaftaran segala. Tapi andai aku tak membayarnya, pasti aku penasaran. Jauh-jauh aku datang ke sini jika harus kembali begitu saja. Aku pun mengeluarkan uang, membayar biaya pendaftarannya.
“Baiklah Yarsi, sekarang kamu memasuki langkah kedua untuk menjadi karyawan di sini” dia mengambil selembar kertas kosong dan selembar kertas soal.
“Ini pertanyaannya, kamu jawab dengan benar dan tulisan yang rapih ya!”
Aku mengangguk, tak mengerti jelas apa maksudnya. Pertanyaanya tidak terlalu sulit dan hanya sedikit. Dalam waktu lima belas menit, pertanyaan itu sudah aku selesaikan. Personalia itu serius menyimak jawabanku dan manggut-manggut.
“Hmmm.. lumayan rapih tulisannya” perasaanku berbunga terlebih yang memuji tulisanku adalah pria tampan. “Tapi lebih bagus lagi kalau terus berlatih dan memperbaiki tulisannya supaya lebih rapih lagi ya!” aku benar-benar tak mengerti maksud dari ucapannya. Baru beberapa detik dia memuji tulisanku, seketika dia menganggap seolah tulisanku tidak rapih sama sekali. Mataku melirik secarik kertas kuitansi yang diberikannya sebagai bukti pendaftaranku. Kubandingkan tulisannya dengan tulisanku, aku tersenyum geli. “Harus banyak berlatih menulis? Lumayan rapih, tidak salah? Bukankah tulisannya tidak lebih baik dari tulisanku? Seperti ceker ayam saja! Apa dia benar-benar buta dan tidak menyadarinya? Mengapa dia menyuruh orang lain memperbaikinya sementara dia tidak mengoreksi tulisannya sendiri? Sungguh tak masuk akal! Hmmm.. pasti ini hanya basa-basinya saja.”
“Langkah ketiga−−wawancara, siap?” Dia memandangku, sejenak pandangan kami saling beradu. Aku segera menunduk.
“Perusahaan ini tergolong gerenal trading, maksudnya perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum. Seperti ekspor-impor barang. Jadi tidak memproduksi barang sendiri, bisa dibilang juga sebagai distributor dan satu-satunya di Bandung, belum ada cabangnya” paparnya.
“Oh.. kalau se-Jawa Barat, kira-kira di mana saja pak? Di Ciamis ada? Apa cuma di Bandung saja?”
“Untuk kawasan priangan timur, di Tasikmalaya dulu sempat ada, tapi sudah dipindah ke daerah Kuningan.”
Tahap ketiga, pak Fauzi bertanya seputar arti SIUP dan NPWP. Personalia itu memandangiku lekat-lekat “Anda tahu apa itu loyalitas?” aku mengangguk “Arti loyal menurut anda sendiri apa?”
“Menurutku saya, loyal adalah bentuk kesetiaan.”
“Benar, tapi perlu ditambahkan, loyalitas itu bentuk kesetiaan seseorang terhadap orang seorang ataupun grup bisa saja sebuah badan atau perusahaan. Biasanya ditunjukkan dengan kerelaan dan mau berkorban untuk kemajuan bersama. Sudah paham kan?” kembali aku menganggukkan kepala “Menurutmu bagaimana jika sebuah perusahaan meminta loyalitas dari karyawannya?”
“Itu sudah biasa terjadi. Bukankah setiap karyawan harus loyal terhadap perusahaan tempat dia bekerja?” aku balik bertanya.
“Iya, itu kamu mengerti. Terus kalau kamu dituntut untuk membeli barang-barang dari perusahaan sebagai bentuk dari loyalitas bagaimana?” aku seperti mendapatkan sebuah pertanyaan yang menjebak.
“Maksudnya?”
“Begini, setiap perusahaan memiliki peraturan yang berbeda. Di perusahaan ini, menuntut loyalitas seperti itu pada setiap karyawannya. Mungkin kalau di pabrik tempat sebelumnya kamu bekerja hanya menuntut kerja keras kamu tanpa tahu kapan kamu akan mendapat posisi yang sedikit lebih baik dari sekedar operator rendahan. Maaf, bukan maksudnya menghina!” sejenak dia menghela nafas dalam-dalam seolah merenungkan kata-kata apa yang akan di ucapkannya kembali.
“Kamu lihat orang tadi sebelum kamu? Dia membawa seperangkat barang elektronik. Dia membelinya dari perusahaan kami, sudah dipastikan besok dia mulai kerja. Kamu boleh memilih barang yang berbeda dengannya. Di sini...” dia menunjukkan brosur barang-barang plus daftar harganya padaku. Aku terkesiap, mulai mengerti ke arah mana dia berbicara.
“Ini coba kamu lihat, ada beberapa paket yang harus kamu pilih. Ada barang elektronik, tas dan perabot memasak. Terserah mau yang mana, yang penting harganya sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Nanti jika kamu membelinya, tiga bulan kemudian uang yang kamu berikan akan kembali utuh. Sedang barangnya jadi milik kamu sendiri. Tuh kan malah kamu yang diuntungkan!”
Dengan enteng aku bertanya “Kalau saya tidak berminat membelinya bagaimana, apa saya masih diterima kerja di sini?”
“Itu keharusan, bagian dari syarat-syaratnya! Karena loyalitas yang dituntut memang seperti itu. Kamu sendiri tahu arti dari loyalitas kan?”
“Iya, memang saya tahu. Tapi tidak harus dengan seperti ini juga kan? Kalau begini caranya, itu sama saja mencekik leher saya pak. Tujuan saya bekerja kan ingin mendapatkan uang, bukan untuk mengeluarkan uang. Mending kalau tidak ditarget berapa rupiah yang harus dikeluarkannya” aku menatap tajam pria yang ada di hadapanku ini. Air muka pria ini berubah seketika di saat aku berkata “Sepertinya saya pernah melihat bapak, tapi di mana ya? Saya lupa lagi!”
“Oh.. masa? Mungkin dulu sewaktu saya masih kerja di pabrik. Saya kan sering ke daerah Cimahi” jawabnya salah tingkah dengan muka memerah.
“Mungkin” aku masih berpikir keras, rasanya belum lama ini aku melihat wajahnya.
Pak Fauzi masih terlihat salah tingkah, dia mencoba mengalihkan pertanyaanku “Sampai di mana tadi?”
“Loyalitas pak!”
“Ya, itu saya kembalikan kepada anda, terserah anda. Tapi kalau saya jadi anda, mungkin saya tidak akan membuang-buang kesempatan yang ada untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang jauh lebih baik daripada bekerja di pabrik. Sedikitnya saya tahu kehidupan di pabrik seperti apa, karena dulu saya juga pernah bekerja di pabrik, hanya saja saya merasa kurang nyaman terutama dengan pembagian shift. Bagaimana?”
“Entahlah pak. Mana ada uang sebanyak itu, kalau pun ada, mending saya gunakan untuk keperluan saya sehari-hari. Memangnya nggak bisa nyicil?”
“Sebenarnya harus hari itu juga di saat kamu diterima kerja. Apa kamu mau pulang dulu ngambil uangnya terus nanti ke sini lagi? Terserah!”
“Mana mungkin saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu seharian.”
“Kalau kamu berminat, saya kasih keringanan, paling tidak sampai besok jam dua belas siang, saya masih di kantor. Tapi hari ini harus ada DP-nya!”
“Bagaimana mengenai posisi yang ditawarkan, apa itu benar pak?” aku menarik nafas dalam-dalam “Jujur, aku kurang bisa memercayainya. Soalnya, aku hanya lulusan SMA, tidak berpengalaman pula. Kok bisa ada perusahaan yang dengan entengnya menerima orang yang sama sekali tidak berpengalaman. Sementara di perusahaan lain, berlomba-lomba mencari lulusan sarjana, minimalnya D3, itu pun harus berpengalaman.”
“Kita kan sistemnya learning by doing, belajar dulu. Nanti semua karyawan baru diberikan pelatihan. Setiap harinya berbeda. Misalnya hari Minggu latihan olahraga, Seninnya pengenalan suasana kantor. Selasa dan seterusnya ada jadwal yang berbeda pula. Tapi, terlebih dahulu semua karyawan baru harus melakukan pengenalan di lapangan, kalau yang pintar sih sekitar sebulanan juga sudah balik lagi ke kantor.”
“Oh.. kalau gitu sama seperti sales dong pak?”
“Perlu ditegaskan, pekerjaan yang ditawarkan adalah nonsales. Ingat ya, di sini membuka lowongan bukan untuk dijadikan sales. Kalau kamu tak percaya, kamu lihat, di brosur ini jelas sekali ditulis pekerjaan nonsales. Di sini juga lebih dikuatkan dengan tanda tangan managernya. Namanya jadi jaminan. Dia bertanggung jawab jika semua itu bohong, kamu bisa memperkarakannya ke pihak yang berwajib.”
“Mungkin lain kali saja. Sekarang saya tidak punya uang.”
“Ya, silahkan dipikir masak-masak. Tapi jangan kelamaan, kesempatan baik tidak datang dua kali. Lebih baik kamu pinjam dulu pada teman atau tetangga kontrakan, pasti nanti juga uangnya kembali lagi!”
Aku membuka pintu dan berpamitan padanya.
Aku mengarahkan segenap pikiranku, mengingat sosok yang baru saja kutemui. Lagi-lagi buntu. Sebenarnya siapa pak Fauzi itu? Rasanya aku tak asing dengan wajahnya.
“Bagaimana neng?” sapa bapak keamanan yang tadi pagi bertemu denganku.
“Ya kira-kira begitulah pak! Seperti yang bapak tadi bilang padaku!”
“Terus bagaimana? Dibeli barangnya?”
“Nggaklah pak, kalau ada uang segitu mending dipakai buat makan sehari-hari.”
“Iyalah, cari yang lain saja, yang syarat-syaratnya tidak memberatkan!” aku mengangguk “Mari pak saya pulang dulu!”
“Hati-hati!”
Di dalam bis, pikiranku tak lepas dari bayangan raut muka pak Fauzi yang seketika memerah. Sopir bis mendadak mengerem, kontan semua penumpang panik. Kepalaku terbentur ke jok depan. Seperti mendapat pencerahan, tiba-tiba aku mengingat kejadian kemarin pagi di saat seorang pria memberikan selembar kertas padaku. Wajah pria itu masih muda, tampan pula. “Ya, itu benar-benar dia!” Gumamku. Lalu, kenapa dia memberikan brosurnya sendiri, bukankah jabatannya termasuk tinggi, kenapa harus seorang personalia yang turun tangan sendiri? Aku benar-benar tidak mengerti. Sampai di kontrakan pun otakku masih dijejali dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
**
“Chie, gimana hasilnya?” tanya Mirna.
“Nggak jelas. Katanya sudah diterima, tapi pakai embel-embel segala.”
“Maksudnya?”
“Dengan dalih loyalitas, pihak perusahaan menuntut calon karyawan barunya untuk membeli barang produk mereka, paketan. Kamu tahu berapa jumlahnya? Minimal, tiga ratus limapuluh ribu rupiah. Sama saja dengan membunuh orang yang lagi sekarat” aku mendesah panjang.
“Oh.. itu sama persis dengan temanku, jangan mau! Dulu juga temanku sebelum kerja di pabrik ditawarin kerja kayak gituan. Ngomongnya sih buat ditempatin di kantor, jadi staff, recepcionist atau bagian administrasi. Ujung-ujungnya malah jadi sales door to door.”
“Masa, kok bisa gitu? Bukankah sudah ada perjanjiannya?”
“Iya, kan bilangnya ditraining dulu di lapangan. Tapi hampir dua tahun, dia sama sekali nggak diangkat-angkat ke bagian kantor. Itu mah akal-akalan saja.”
Pukul setengah dua belas siang, aku mendapat telepon dari pihak perusahaan yang tadi berurusan denganku, PT. Teguh Maju Jaya. Menanyakan perihal pembayaran biaya paketan. Aku yang memang tidak punya uang−−menolak tegas tawaran itu.
Kurenungkan ucapan Mirna dan kecurigaanku yang dari awal mengendus ketidakberesan pada perusahaan yang notabene bergerak di bidang perdagangan umum itu. Tanpa sengaja, aku teringat sesuatu. Buru-buru aku mencarinya ke lemari ekselku, untung masih ada, belum terbuang.
Kulihat kertas itu baik-baik. Bahasanya tidak beda jauh dengan brosur yang kuterima dua minggu yang lalu. Kusamakan isinya. Aku tercengang, manakala melihat SIUP dan NPWPnya, sama. Sementara alamatnya berbeda. Nama perusahaan mendekati PT. Teguh Maju Jaya , PT. TM Sukses Jaya. Mungkinkah nama TM sama dengan Teguh Maju? Atau mungkinkah dua perusahaan yang berbeda bisa memiliki satu SIUP dan NPWP yang sama? Apakah ini termasuk modus penipuan? Kulihat lagi satu persatu nomornya dengan seksama, persis, tak ada yang beda.
Aku yang masih penasaran, mencoba menghubungi perusahaan pertama yang menawariku pekerjaan, PT. TM Sukses Jaya. Jawabannya sangat mengejutkan. Jelas-jelas nomor yang kuhubungi sama dengan yang tertera di brosur. Sedang pemilik nomor tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal PT. TM Sukses Jaya.
Sementara itu, aku masih diliputi penasaran menghubungi perusahaan kedua. Aku bertanya perihal eksistensi perusahaan. Jawaban pun tidak kurang mengejutkan, dengan tegas pihak perusahaan mengatakan, di Bandung hanya ada satu dan belum ada cabangnya karena perusahaan memang baru beroperasi. Pada saat itu juga, aku merasa ingin sekali melaporkan kasus itu pada yang berwajib, tapi kuurungkan karena pengetahuanku yang terbatas. Salah-salah, aku sendiri yang disomasi. Apa untungnya juga buatku?
**
No comments:
Post a Comment