Porsi tidur yang tidak teratur membuatku limbung di tempat kerja. Parahnya aku tak konsen bekerja, dipengaruhi oleh beban pikiranku akhir-akhir ini. Pukul setengah dua belas malam, aku meminta ijin pulang. Mandorku hanya mengijinkan istirahat di polyklinik. Hanya masuk angin biasa, tapi parahnya−−diare tak kunjung henti.
Ruangan ini teramat sunyi, setidaknya untuk ukuran penakut seperti diriku. Perawat jaga terlalu pelit, rengekan-ku tidak mempan sama sekali. Dia mencemaskan kondisiku dan tak bertanggung jawab atas apa yang akan menimpaku di jalanan karena tak ada orang yang mengantarku.
Diare-ku mulai reda, harusnya aku bisa tidur nyenyak. Sebaliknya, aku gelisah. Mataku terjaga. Seyap, hanya gemericik air hujan saja yang terdengar. Kupandangi tirai putih pembatas ranjang. Sedikit terbuka, terlihat di ranjang sebelah pemandangan yang tak menarik. Suatu benda putih terbujur dengan tali pengikat di atas dan bawah. Aku benar-benar membencinya. Benda itu jika dilihat dari jauh, sangat mirip dengan makhluk yang menakutkan.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Kupandangi jam dinding, ternyata fajar masih lama. Dalam kegelisahan, aku berharap ada pasien lain yang menemaniku melewatkan malam ini. Tak lama, tuhan mendengar do’aku. Aku menangkap perawat jaga berbincang dengan seseorang di ruang periksanya. Tapi aku heran, seseorang itu tak terdengar lagi. Kutanyakan kebenarannya pada perawat. Dugaanku benar, orang itu hanya minta surat rujukan ke rumah sakit, kemudian pergi lagi karena diantar suaminya.
Dentang jam dinding terdengar begitu menohok jantungku. Aku pun gelisah. Suara pintu terbuka−−ada pasien lagi. Kali ini tuhan mengabulkannya. Pasien itu pun tidur di ranjang sebelah. Sesak nafasku seketika sirna. Selang beberapa jam, pagi mulai bersahutan, gema adzan shubuh pun berkumandang. Aku menggeliat, bahagia−−menjemput pulang.
**
Usai sarapan, aku langsung menggulung tubuhku dengan selimut tebal. Pembalasan dendam dimulai. Seperti dilempar ke dunia lain; aku yang setengah sadar, tak bisa bergerak. Hanya merasakan sesak di bagian dada saja.
“Ayo bangun!” perintah otakku tak direspon. Lagi-lagi siluet makhluk menyeramkan itu menindih tubuhku. “Ayoo.. gerakan tanganmu dulu! Keluarkan semua energinya!” aku mendesah “Lawan dia!” aku terbangun. Peluhku bercucuran. Kuambil segelas air “Huhhh.. siang-siang begini, masih saja mimpi buruk!”
Sejenak tidurku tertahan. Merenungkan kejadian yang terus berulang, haruskah aku berobat supaya tidurku tenang?
Merinding jika mendengar petuah teh Dede, sang pemilik kontrakan. Aku disuruhnya membersihkan diri dengan cara di-ruqyah.[1]Menurutnya, makhluk itu pasti jelmaan jin yang menyukai atau bisa jadi membenciku. Dia merujuk seorang ustadz padaku. Aku tak terlalu menganggapinya. Bagiku, hal-hal gaib sangat tak masuk akal. Aku lebih memercayai alasan medis.
**
Penyakitku ini terbilang bandel. Lebih parah dari sebelumnya. Nyaris saban hari aku diserangnya. Solusinya masih sama, aku menginap di kamar teman, atau sebaliknya.
“Tolong Mei.. tolong aku!” aku berteriak sekencangnya. Mei masih bergeming di sampingku.
“Astagfirullah, aku mau bangun. Tolong aku!” tanganku sedikit bergerak, mata terbuka lebar. Tapi... lagi-lagi aku mendapati tubuhku masih terbujur kaku. Kupikir aku sudah terlepas dari ikatan itu. Tenyata, masih sama. Makhluk jelmaan itu masih tersenyum puas mencekik dan menindihku. Ragaku benar-benar lemas. Berkali-kali aku merasa yakin sudah terbangun, tapi terjebak lagi di situasi yang sama.
Kulihat gadis di sampingku, nyenyak sekali tidurnya. Ingin rasanya aku membangunkan dia. Sayang aku tak punya kekuatan.
“Ya allah, tolonglah aku!” aku membaca beberapa ayat al-qur’an, sekuat tenaga kukepalkan jariku dan kugerakan dengan kuat. Aku terbangun, segera duduk benar-benar terbebas.
“Haaaahh..” aku mendesah panjang.
Tiba-tiba Mei pun terbangun “Achie, kamu tega banget. Dari tadi aku minta tolong bangunkan aku. Kamu malah tidur terus.”
“Apa? aku yang dari tadi teriak-teriak tapi kamunya nyenyak sekali!”
“Boro-boro nyenyak. Aku berjuang menggerakkan tubuhku supaya bisa terbebas, tapi susah sekali. Lagi-lagi tubuhku kaku.”
“Masa iya? Berarti barusan kita terkena eureup-eureup. Tapi kok barengan gitu ya?”
“Kamu beneran kena eureup-eureup? Kok jadi menakutkan begini ya?”
Kami terdiam, saling berpandangan.
**
[1]Do’a-do’a penyembuhan diri, harus dilakukan sesuai dengan syariat islam. Kebanyakan orang, melakukan rukyah dengan meminta bantuan orang lain yang dianggap memiliki keimanan yang tinggi. Namun pada akhirnya, orang awam sering menyekutukan tuhan dengan mempercayai bahwa kesembuhan penyakitnya berkat pertolongan orang yang dianggapnya memiliki keimanan tinggi itu.
No comments:
Post a Comment