Kalimat yang tak asing didengar, di telinga para buruh tenun AJL.[1]Tak ada yang lain, lidah mas Saryanto selalu mengulang pepatah yang sama, seolah perbendaharaan katanya mentok di situ saja. Aku yang menginjak enam bulan masa kerjaku, kudu sabar dengan celotehannya. Jika ada salah satu buruhnya yang terlihat malas, maka harus siap mendengarkan ceramahnya, kata-kata andalan pun meluncur.
“Ayo, kerja yang bener! Masa dari tadi mesinnya mati terus.”
Semua buruh di tiap lorong langsung khusyuk membetulkan mesin. Tak sedikit pun menoleh ke arah mandor yang garang itu.
Aku benar-benar sibuk menyambung benang lusi[2] di beam.[3]Belum juga usai, sepertinya ini hari sialku. Mesin yang lain ikutan mati. Aku tinggalkan dulu mesin yang jebol ini. Mungkin saja kerusakan mesin yang lain tak lebih parah. Aku lihat keterangan di monitor mesin tsudakoma[4]miniku, ternyata ada masalah pada benang pakannya. Kutekan dua tombol untuk membuka sisir tenun, kuambil sisa benang tenunan yang tak sempurna di mesin lalu kujalankan lagi mesinnya.
Kembali ke beam. Kumasukkan satu-per-satu benang lusi itu ke dalam dropper[5]dan gun.[6] Kukaitkan benang yang baru kusambung tadi ke benang lainnya. 1-2-3 # 4-1-2 # 3-4-1 # 2-3-4 adalah rumus yang dipakai sesuai kode kain yang jalan saat ini. Ada juga rumus yang sangat sederhana 1-2 # 3-4, namun kode kain itu tak jalan di mesinku. Kutarik benang sambungan dari sisir, lalu kujalankan mesinnya. Mesin pun bergerak cepat menghasilkan sekitar 180 sampai 200 yard per shiftnya, jika lancar.
Harapan mendapat produksi 180 yard permesin sirna manakala hampir semua mesin dalam satu lorong bajred. Produksi mesinku yang tertinggi mentok di kisaran 155 yard. Mandor melaporkan kekacauan ini pada kabag produksi. Setelah overshift-an, aku dan dua teman baruku tak langsung pulang. Menghadap ke kantor produksi untuk disidang. Sementara mbak Suci, rekan satu lorongku, tak se-suci namanya. Dia terbebas dari hukuman, setelah mengkambinghitamkan kami bertiga. Mas Saryanto memasang tampang berangnya.
Aku dan semua operator di mesin begitu membenci tampang penjilat itu. seketika, kabag produksi yang menaruh kepercayaan penuh pada mas Saryanto pun menggebrak meja. Melampiaskan kekecewaannya. Kami dicecar habis-habisan. Mereka berdua tak sedikit pun memberi kesempatan berbicara. Dengan kejamnya, mereka melayangkan SP satu, kami bertiga masuk dalam blacklist-nya. Selama bekerja, ini peristiwa terparah yang tak bisa dilupakan.
**
Hidupku tak bergairah lagi. Jauh berbanding terbalik dengan kondisi Ririn yang semakin lama penuh warna. Kejadian itu membuatku terpuruk. Diikuti kondisi tubuh yang kian lama menurun drastis. Aku mulai putus asa dan jadi pesakitan. Mas Saryanto sudah mengingat jelas tampang kami. Sikapnya jadi makin garang. Lebih parah lagi pada Herlina, teman satu angkatanku yang sering dipindah-pindah. Belum juga sempat bekerja, dia sudah dipindah lagi ke lorong lain.
Entah alasan apa, mas Saryanto begitu membenci Herlina. Di sela-sela kesibukannya, dia mencecar-membabibuta Herlina.
“Kamu ini...” bentaknya pada Herlina “Mau dikeluarin apa? Kerja yang benar!”
Herlina tak menyahut, rautnya terlihat kusut. Dia mencoba membetulkan mesin yang baru beberapa detik dijaganya. Mas Saryanto masih bertolak pinggang, mengamati cara kerja Herlina. Angkara murkanya kembali meluap “Kamu kalau kerja yang semangat dong! Jangan seperti itu, hidup segan mati pun tak mau! Sudah, kamu ikut saya saja. Ayo.. pindah ke mesin lain, kali saja di sana kamu berubah” dia berlalu diikuti Herlina.
Hingga jam makan, batang hidung Herlina tak nampak. Aku penasaran, bagaimana pun dia teman makanku yang unik. Aku ingat kebiasaannya membawa bekal yang beda dari buruh lainnya. Cukup dengan dua−−tiga helai roti tawar, air susu dan apel atau jeruk saja. Sedang aku dan lainnya benar-benar jiwa kuli sejati. Tak akan merasa kenyang jika belum makan nasi.
Aku mengambil bekal yang disimpang di ruang penitipan barang. Dari balik kaca ruang kantor produksi, kulihat sosok yang kukenal. Rupanya dia dipanggil lagi, untuk alasan apa? Tanpa sengaja aku menguping pembicaraan mereka.
“Saya benar-benar bingung ko, sudah saya tegor berkali-kali, tetap saja begitu. Terserah ko Felix mau apakan dia!” langkahku terhenti di depan pintu yang sedikit terbuka.
“Woyy!” seru temanku mengagetkan.
Dengan mata melotot, aku mengacungkan telunjuk di bibir “Psttt..!” dia pun berlalu ke kantin.
Kulihat ko Felix menatap tajam Herlina yang tengah menunduk. “Kamu masih ingin kerja?” tanyanya, Herlina mengangguk pasrah. “Saya yakin kamu datang ke sini tidak dengan tangan kosong. Berapa rupiah yang kamu keluarkan untuk bisa kerja di sini rupanya tidak menjadikan motivasi, setidaknya kamu harus mengembalikan modal yang sudah keluar. Dan kamu tahu, itu harus kamu bayar dengan kerja keras kamu sendiri. Tunjukkan fighting spiritkamu, jika kamu masih ingin bertahan di sini! Tapi jika sudah tak mau mengikuti aturan main di sini, silahkan kamu cari perusahaan lain saja.”
Mas Saryanto si penjilat itu berusaha mencari muka lagi. “Tuh dengarkan! Di dunia ini tak ada yang gratis, semua mesti dibayar. Tinggal kerja yang benar saja apa susahnya?”
Kali ini Herlina angkat bicara “Saya datang ke sini tentu untuk bekerja. Selama ini sikap mas Saryanto selalu meremehkan saya, mungkin benar saya tidak mudah memahami mesin seperti anak baru lainnya, saya akui itu kelemahan saya” nada bicaranya penuh kemarahan, tapi dia berusaha menurunkan tensinya yang mulai meninggi.
“Andai saja mas Saryanto memberi kepercayaan dan kesempatan pada saya, insya allah saya akan berusaha keras. Ini, baru saja membetulkan mesin beberapa detik juga sudah dipindah lagi, bagaimana mungkin saya bisa mengerjakan secepat itu. Otomatis mesin yang saya tinggalkan masih mati, jadi ya kesannya pada bajred.”
“Berusaha keras? Bukankah dari cara berjalan saja sudah terlihat kalau kamu tak bersemangat sama sekali. Lihat anak lainnya. Walau mereka tak bisa, tapi mereka penuh semangat. Masya allah, kamu benar-benar kelewatan. Kamu tuh loyo sekali. Seolah hidup segan, mati pun tak mau!” kata pamungkas pun meluncur lagi.
Mendengar itu, Herlina memuntahkan kemurkaannya−−berkata dengan deraian air mata. Kontan mas Saryanto dan ko Felix tertegun. “Selama saya bekerja, baru kali ini saya diremehkan begitu rendahnya” ia pun menarik nafas panjang mengelap kedua pipi yang basah dengan ujung jilbabnya.
“Masih banyak perusahaan lain yang besarnya sama seperti ini, tapi para atasan tak pernah memperlakukan anak buahnya sehina ini. Bahkan dulu, sewaktu saya bekerja menjadi penerjemah mister, dia selalu memperlakukan saya dengan baik. Menegor pun dengan halus, tidak membentak-bentak di hadapan banyak orang seperti yang biasa mandor sini lakukan. Kalau memang saya harus dikeluarkan, saya ingin dikeluarkan secara terhormat.”
Adrenalinku berpacu seolah ikut melakukan perlawanan. Ko Felix terpana mendengar ucapan Herlina. Ia pun berkata “Sebelumnya kamu pernah berpengalaman jadi penerjemah mister? Di mana itu? Kenapa bisa keluar?”
“Iya, saya keluar karena waktu itu saya sedang hamil dan terpisah jauh dari suami. Karena saya kerja di Batam sedang suami di Jakarta”
“Berarti kamu mahir berbicara bahasa Inggris?”
“Bahasa Inggris sedikit mengerti, kalau bahasa Mandarin lumayan fasih.”
“Baiklah, saya kasih kamu kesempatan. Besok kamu menghadap ke kantor pesonalia untuk di-interview dan tes bahasa. Saya akan rekomendasikan kamu di bagian itu. Sekarang kamu ke lapangan, jam kerja sudah dimulai lagi!”
Wajah cerah Herlina memancar, senyum simpul pun tersungging di bibir manisnya. Ia beranjak dan mengucap syukur “Terimakasih banyak ko!”
Mas Saryanto yang dari tadi berusaha menjatuhkannya, tertunduk malu. Wajahnya terlihat lusuh.
Aku melirik bekal yang tak sempat kusantap, buru-buru meninggalkan tempat itu. Menaruh kembali di ruang penitipan. Jam makanku telah usai hanya demi menguping pembicaraan mereka bertiga. Aku berjalan ke lapangan, diliputi perasaan banggaku pada Herlina.
Hampir tiga hari, aku tak melihat Herlina di lapangan. Kabar teranyar kudengar, dia diterima di kantor personalia. Tugasnya mengangkat telepon dari luar, berbicara dengan mister-mister dalam bahasa Mandarin. Tak pernah kupikirkan kalau ternyata Herlina bukanlah orang sembarangan. Aku kagum dengan kelebihan yang dimilikinya. Andai tahu dari awal, aku pasti kursus kilat padanya.
Penyesalan terdalamku tak bisa kutebus, karena aku tak tahu alamatnya di mana. Nomor handphone-nya juga tak punya. Anganku terkubur di tengah deru mesin. Pantas saja, jika aku berbicara dengan Herlina, gaya bicaranya beda, seperti bukan berhadapan dengan buruh biasa. Wawasannya terkesan luas.
Buruh bukan sembarang buruh... itulah julukan yang tepat buatnya.
**
[1]Airjetloom; mesin tenun yang menggunakan uap sebagai energi penggeraknya.
[2] Benang untuk menenun kain yang tergulung di beam.
[3] Tempat gulungan benang lusi, terbuat dari besi bundar. Panjangnya kurang lebih dua meter, dengan diameter roda pinggirannya sekitar satu meter.
[4] Jenis mesin tenun yang digunakan. Ada juga mesin toyoda dan dobby yang ukurannya lebih besar.
[5] Penahan benang lusi supaya tidak kendor dan tetap berada di jalurnya.
[6] Alat untuk menenun, bentuknya seperti jarum tapi penjang, sebesar lidi. Lubangnya pun bukan berada di pangkal tapi di tengah.
No comments:
Post a Comment