PERTEMUAN TERAKHIR

Akhir bulan Maret 2007, Yani datang ke kontrakanku diantar kak Rizal. Entah angin apa yang membawa mereka kemari.
“Teh, kupikir masih ngontrak bareng sama teh Ririn?, tahunya sudah pindah.”
“Kita berdua sih ingin mandiri Yan!” aku berhenti sejenak “Tumben kamu datang menemuiku. Ada kabar apa nih?”
“Kangen saja, memangnya nggak boleh? Aku mengangguk “Teh, sebenarnya sih aku ke sini mau minta maaf sama teteh, disengaja atau tidak, dosaku pasti banyak lah.”
“Kok tiba-tiba ngomong gitu? Kayak nggak bakalan ketemu saja.”
“Justru itu, aku mau pamitan sama teteh. Siapa tahu nggak ketemu lagi. Lusa aku mau berangkat ke Jambi.” Aku tertegun tak percaya. “Yang bener? Masa baru ngasih tahu sekarang sih?”
“Bener teh! Daripada di sini juga nggak pasti, kerja nggak dapat-dapat, isi perut juga harus diisi, uangnya dari mana teh?”

“Terus di sana kamu sama siapa?”
“Ikut paman-bibiku. Kerja di perkebunan sawit. Do’akan ya teh, moga perjalanannya lancar!”
“Mendadak banget ya? Iya deh, aku do’akan semoga selamat sampai tujuan, jadi orang sukses.”
“Aamiin. Eh.. katanya kak Rizal mau ngomong? Buruan!”
Afrizal tersenyum kaku. “Ngomong apa ya? lupa lagi.”
Yani kecewa “Kok gitu sih! Ah.. kak Rizal mah malu soalnya banyak salah sama teh Achie.”
Aku diam menyimak. “Iya deh, Chie maafin aku ya! Selama ini aku banyak nyakitin kamu.”
Aku tersenyum “Sudahlah kak, yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah melupakannya. Gimana dengan pernikahan kalian?”
Yani tersenyum memandangi kakaknya. Sedang Afrizal menelan air liur seperti tertohok dengan pertanyaanku. “Nggak jadi Chie!”
“Apaa?”
Kak Afrizal mengangguk “Pihak keluarga Riana membatalkannya.”
“Kok bisa, alasannya apa?”
“Entah, aku tak tahu. Sekarang malah Riana mau dinikahkan dengan tetangganya yang pegawai bank. Mungkin karena pria itu lebih bisa membahagiakannya, dia banyak uangnya.”
“Ya nggak gitu juga, memangnya kebahagiaan orang bisa diukur dengan materi?”
“Mungkin di mata orang tuanya Riana begitu!”
“Terus teh Riananya gimana, dia mau?”
“Terpaksa, mungkin kita belum berjodoh.”
“Sabar, kalau jodoh nggak bakalan ke mana.”
Hanya dua jam, mereka pun berpamitan. Sekaligus ini menjadi pertemuan terakhir kami. Aku melepas kepergian mereka seraya berkata “Yan, sering-seringlah menghubungiku!”
“Iya, teteh juga jangan lupakan aku!”
“Tentu.” Motor kak Rizal melaju, mataku tak lekat memandangi kepergian mereka. Lambaian tangan Yani semakin jauh, menandai akhir perjumpaan kami.
**

No comments:

Post a Comment