Dua puluh tiga bulan sudah aku bekerja di Jayatex, tepatnya di bulan Maret 2006. Ini kali pertamaku jatuh sakit. Di ruangan sempit berukuran 4 x 5 meter persegi, tubuhku terkulai lemas masih dengan mengenakan seragam kebanggan kami sebagai buruh pabrik. Mirna, Herti dan Yani sudah tahu kondisiku, mereka datang menghampiriku.
“Chie, sekarang gimana, sudah mendingan belum? Aku sama Herti mau berangkat sekarang!” Mirna berujar, tangannya asyik menyisir rambut.
“Belum, sepertinya malah tambah parah nih” ujarku dengan posisi tetap berselimut, tak beringsut dari tempat tidur.
“Terus gimana, Achie masih tetap mau kerja
? Jangan maksain atuh ntar malah tambah repot. Periksa aja ke dokter jaga di pabrik, nanti biar si Yani aja yang nganter soalnya sekarang aku sama Herti kan harus kerja. Kalau dari tadi berangkatnya mungkin aku juga sempat nganter.” Yani yang kebetulan kerja malam meng-iyakan usul Mirna. “Hayo.. teh, aku saja yang ngantar! Tapi tunggu dulu, aku mau pakai seragam dulu” ujarnya sambil bangkit hendak mengganti pakaian dengan seragam.[1]
Dengan tertatih, aku melangkah keluar meninggalkan polyklinik yang ada di kawasan pabrik. Yani tak tega melihatku, dia berusaha memapah hingga sampai ke kontrakan. Dari hasil diagnosa dokter, aku positif terkena penyakit Typus.
“Tidurin saja teh biar lekas sembuh, aku juga mau tidur” ujar Yani sambil membuka lipatan kain dan menyelimutkannya, menutupi tubuhku. Dia sendiri tidur di sampingku.
Aku tak menjawab. Badanku bergetar, terasa panas dingin.
Keesokan harinya, aku memaksakan diri masuk kerja. Semua teman-teman melarangku dan menganjurkan untuk istirahat sesuai dengan saran dokter. Karena statusku di pabrik hanyalah buruh kontrak lepas, aku tak mau ambil resiko tinggi. Bagiku ini bisa mengancam posisinya teh Ika (orang yang paling berjasa hingga aku bisa kerja di Jayatex), mungkin saja dia akan ditegor atas absennya diriku.
Selain itu, aku tak mau dicap sebagai buruh yang suka mangkir, meski ini baru sekali. Hampir dua tahun kerja, aku benar-benar merasa kerasan. Rintangan apa pun sedikit banyaknya sudah bisa kuatasi dan tak jadi masalah besar. Tapi kini nasibku di ujung tanduk. Rumor yang berkembang, perusahaan sedang melakukan pemutihan. Buruh seangkatanku paling lama hanya dikontrak dua tahun, itu berarti kurang lebih tinggal satu bulan lagi masa kerjaku.
**
Aku berjalan ke arah papan absensi, dua bola mataku naik-turun mencari kartu absensi dari atas hingga bawah, barang yang dicari tak ditemukan. Aku mencoba bertanya ke ruang absensi, barangkali ada di sana. Aku kaget dengan jawaban mereka, katanya kartu absensiku ditahan oleh pihak kantor administrasi. Kenapa bisa begitu? Bukankah aku tak melakukan kesalahan, atau gara-gara kemarin aku tak masuk kerja? Sambil berjalan ke kantor administrasi, batinku penasaran hanya bisa menduga-duga.
Berjalan tergesa, memasuki ruang ber-AC, kantor administrasi. Bukannya sejuk yang terasa, badanku malah berdesir, ketegangan mulai menjalar. Entah mengapa aku benci jika berada di ruangan ini. Pasti suasananya tak nyaman, sekalipun di ruangan yang sama ini; dulu aku pernah mendapat uang kaget yang kata para seniorku menyebutnya sebagai rejeki nomplok dan sempat menggegerkan se-isi areal. Andai saja kedatanganku ke ruangan ini disambut dengan rejeki nomplok lagi, mungkin rasa tegang seketika sirna begitu saja.
Mataku celingukan, bingung. Hendak pada siapa bertanya, aku tak tahu siapa yang mengurusi masalah ini. Terlalu banyak orang di kantor, beberapa nampak sibuk di meja kerja masing-masing dengan tumpukan arsip dan folder-folder yang berderet. Sebagian lagi mengutak-atik keyboarddengan mata yang tak berkedip, terpukau menatap monitor. Ada juga buruh bagian produksi yang menghadap ke sini, tapi entah bagian mana dan kepentingannya apa. Aku tak mau bertanya, terlalu larut pada kepentingan pribadi.
“Mau apa kamu?” dengan juteknya, salah satu staff kantor yang sedang berdiri di hadapanku bertanya. Dari wajah dan cara bicaranya, terlihat bukan keturunan Tionghoa−−asli pribumi−−orang Sunda.
“Ngambil kartu absensi teh! Orang absensi bilang katanya ditahan di sini.”
“Oh.. tuh menghadap dulu ke ci Linlin!” kepalanya bergerak memberi kode padaku.
“Huuuhh.... jutek amat nih orang, emang nggak bisa ngomong halus ya? Mentang-mentang kerja di bagian kantor, sok nge-boss banget! Euh...jadi pengen jambak rambutnya.”Aku menggerutu sambil berjalan menuju orang yang dimaksudnya.
“Pagi ci..”
“Ada apa?”
“Mau ngambil kartu absensi!”
“Kenapa, emang kemarin nggak masuk? Terus bagiannya apa?”
“Iya.. kemarin aku sakit. Bagian areal mekanik 4.”
“Sakit? Terus kamu ngirim surat dokter nggak? Kok kartu absensinya bisa sampai ditahan segala” dari nada bicaranya, ci Linlin menyangsikan aku.
“Ngirim-lah ci, malah kemarin aku pakai surat dokter dari polyklinik pabrik!”
“Shift dan namanya?”
“Yarsi Yuniasari, shift B.”
“Sin, coba kamu cari surat dokternya dulu di arsip yang kemarin!” ci Linlin yang jabatannya sebagai kepala administrasi memerintah salah satu anak buahnya.
“ Siapa tadi namanya, anak kaos-kaki ya?” staff itu bertanya padaku.
“Iya kaos-kaki mbak! Namaku Yarsi Yuniasari, areal mekanik 4 shift B.”
“Ada Sin?”
“Ini ci, ketemu!” staff itu memberiakan surat dokter yang kukirim kemarin.
Ci Linlin melihat-lihat kemudian mengambil tumpukan kartu absensi di meja kerjanya yang sudah ditata secara alphabet berdasarkan departement dan bagiannya.
“Sudah berapa kali kamu nggak masuk kerja?”
“Sekali ini ci, ini juga gara-gara sakit.”
“Sakit apa?”
“Typus”
“Oh.. ya sudah, daripada kamu sakit-sakitan, mending istirahat saja selama tiga bulan, nggak usah kerja lagi! Lagian penyakit kamu kan parah, butuh istirahat yang banyak. Gimana?”
“Ttttt...ti-ga bulan?” aku terkesiap. Otakku berputar, mengendus sesuatu yang tidak beres berkaitan dengan rumor yang santer berkembang.
“Iy͜-ya.. gimana?” ci Linlin gemas, ingin tahu jawabanku.
Aku diam, tertegun. Tak percaya jika akhirnya rumor itu hampir mendekati nyata. Di antara sahabat-sahabat dekatku, aku yang akan menjadi korban pemutihan pertama? Tidak.. aku tak percaya, aku tau mau ini terjadi, aku sudah terlanjur betah kerja di sini. Bagaimana nasibku kalau aku dikeluarkan dari sini? Pasti terlunta-lunta mencari kerja ke sana kemari. Buru-buru aku menepis bayangan itu dan mengumpulkan segenap kekuatan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan ci Linlin. Lebih bagus lagi kalau aku bisa membujuknya. Pikirku.
“Sudah ya, kamu istirahat saja di rumah selama tiga bulan!” dia memberikan tawaran dan sama sekali tidak mengindahkan perasaanku.
“Ya tuhan.. lihatlah! Hanya karena secarik kertas, nasibku nyaris berantakan. Andai saja kemarin aku tak mengirimkannya dan tetap memaksakan diri untuk bekerja, mungkin aku tak akan berada di ruangan yang paling kubenci dan tidak dihadapkan dengan permasalahan sepelik ini; berurusan dengan orang-orang yang teramat sibuk hingga mereka lupa bagaimana caranya untuk tersenyum jika berhadapan dengan orang lain.”
“Apa buruh kontrak seperti diriku sama sekali tidak boleh sakit? Keterlaluan! Buruh kontrak juga manusia, memangnya hanya buruh tetap saja yang boleh ijin? Siapa juga yang mau sakit seperti ini, nggak ada enaknya!”
“Hmmm.. tenang, aku harus bertahan dan tetap kerja di sini, minimalnya sampai batas kontrak kerjaku habis. Sebulan lagi? Sebenarnya tidaklah lama, bahkan teramat singkat. Tapi.. jika kondisinya seperti ini jangankan sebulan, sehari ini saja terasa berat dan menegangkan. Akh.. aku tak tahu apa nanti ada keajaiban, yang terpenting adalah sekarang. Ya, sekarang aku harus berjuang untuk menyakinkan orang yang ada di hadapanku ini. Aku harus bertahan sampai bulan depan, itu lebih baik walau pada akhirnya rumor pemutihan itu menjadi kenyataan.”
“.... Paling tidak, aku sudah punya bekal untuk masa-masa nganggurku sekaligus dana untuk mencari kerjaan baru. Baiklah... aku harus kontrol emosiku, kalau tidak, aku sendiri yang akan diperbudak olehnya. Ingat... jangan marah, tetap tenang dan memohonlah! Sekalipun itu hal yang paling dibenci”umpatku dalam hati.
“Ngg.. nggak mau ci, aku masih ingin kerja” sahutku terbata-bata menahan rasa sedih, marah dan kecewa.
“Emang kamu masih betah kerja di sini? Kan sekarang kamunya lagi sakit, kira-kira masih kuat nggak?” dia bertanya lagi seolah ingin menyakinkanku.
“Masih lah ci, tolong beri saya kesempatan!” dengan mata yang berkaca-kaca, aku mengemis.
“Tapi dengan penyakitmu, apa kamu yakin masih kuat?”
“Begini ci! Coba dicek saja, selama kerja di sini apa pernah saya mangkir dan berbuat kesalahan yang fatal? Baru sekali ini ci saya sakit, kemarin-kemarin kalau hanya meriang biasa, tak pernah saya mangkir. Tolonglah ci.. kan baru sekali ini sakitnya juga!”
“Kamu serius?”
“Sangat serius!”
“Baik, saya akan kasih kamu kesempatan. Tapi ingat dijaga tuh kondisi tubuhnya, jangan sakit-sakitan lagi ya!”
“Iya ci makasih banyak” akhirnya lepas sudah yang mengganjal di dada ini, aku menghirup kebahagiaan, nyawaku seperti kembali lagi.
“Nih kartu absensinya, buruan ke lapangan lagi jam kerja sudah dimulai dari tadi!”
**
Tiba di lapangan, aku langsung melihat buku produksi. Hendak mencari bahan baku yang sesuai dengan PDK. Di hadapanku, ada dua orang penting, kabag dan wakilnya tengah duduk membicarakan kinerja karyawan. Wakil kabag bertanya padaku. “Habis dari mana kamu? Kok baru kelihatan?”
“Dari kantor administrasi mas!”
“Ada urusan apa? dapat uang kaget lagi?”
Aku menggelengkan kepala “Ngambil kartu absensi, kemarin aku sakit, nggak masuk kerja!”
“Oh.. pantas saja kemarin aku lihat kamu ada di polyklinik, emang sakit apa?” tanya mas Darto yang menjabat sebagai wakil kabag sementara koko Ricky diam, menyimak.
“Typus mas!”
“Wah... itu mah penyakit parah, mesti banyak istirahat tuh! Kok bisa kartu absensimu ditahan orang administrasi, bukannya kamu berobat dari dokter pabrik?”
“Itu dia masalahnya, mas Darto tahu nggak, gara-gara selembar kertas itu, hampir saja aku di-PHK. Meraka mengira aku nggak pakai surat dari dokter sini. Hingga akhirnya mereka sadar sudah keliru.”
“Ckk... kelewatan tuh.. harus ditindak! Jangan mentang-mentang dia seorang staff penting jadi bisa bertindak se-enaknya” dengan sewotnya mas Darto berkomentar sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Siapa yang nahan kartu absensimu? Pasti si Dona ya? Emang berkali-kali dia tuh suka bertindak sewenang-wenang” kali ini nada bicaranya sok tahu, maksudnya sih memberikan pembelaan.
“Aku kurang tahu pasti mas, yang aku tahu saat aku mau ngetok,[2]eh... kartunya malah nggak ada di papan absensi, ditanyain ke kantor absensi, malah disuruh nyari ke kantor administrasi. Kayak kucing-kucingan saja!”
“Terus yang ngancam kamu mau dirumahin siapa?”
“Ci Linlin, mas!”
“Oh... kok dia gitu ya?” kali ini dia penasaran, mengalihkan pandangannya ke arah kabag di sampingnya, seolah mencari jawaban. Yang di pandang hanya diam saja, kemudian dia kembali berkata “Padahal dia kan beda, bisa diajak kompromi. Coba kalau kamu dipanggil dia lagi, bilang saja kamu kenal denganku. Bilang, anak buahnya mas Darto! Mungkin dia akan sedikit baik” seperti biasa, jurus andalannya keluar juga. Di mataku dia tak lebih dari seorang lelaki nyentrik yang selalu membangga-banggakan jabatannya.
Aku tersenyum.
“Kemarin dokternya bilang apa saja?” akhirnya lelaki berwajah oriental itu bertanya padaku. Sosok yang dingin, jarang bicara tapi benar-benar kharismatik dan disegani oleh semua bawahannya.
“Ya gitu ko,[3] disuruh banyak istirahat, makannya juga harus dijaga, yang lembek-lembek dulu katanya.”
“Memang seperti itu, harusnya kamu tuh istirahatnya total, ya... kira-kira sebulan. Kalau cuma sehari-dua hari mah mana bisa, seminggu juga belum tentu cukup buat pemulihan. Tapi karena kamu kerja di pabrik rasanya nggak mungkin, ntar yang ada kamu malah dikeluarkan, apalagi sekarang kan lagi banyak isu pemutihan karyawan. Sebagai dispensasi, saya tidak akan menuntut kamu untuk melakukan rutinitas seperti biasanya. Kalau kamu masih kuat kerja, kamu boleh masuk tapi kerjanya nggak usah maksain, kamu nggak usah naik-turun tangga, ngambil bahan baku. Itukan kerjaan berat. Cukup nulis-nulis produksi saja di meja, masukin laporan di komputer, kalau sudah beres boleh bantuin operator di lapangan. Kalau nggak kuat, bawa saja kaos-kakinya ke meja sini. Biar nanti saya ngomong sama mandor dan kepala regunya supaya mereka ngerti.”
“Iya ko, terimakasih banyak!”
“Terus kamu makannya apa? bubur?” di balik sikap dinginnya, lelaki asal Cilacap itu masih bisa menunjukkan kepeduliannya pada semua karyawan.
“Masih pakai nasi ko, tapi sedikit dilembekin!”
“Pakai bubur saja, itu jauh lebih baik. Istilahnya kalau sakit seperti itu, usus kita tuh sedang luka, makanya dokter nyaranin makan yang lembek-lembek supaya tidak sakit dan luka di dalam cepat sembuh” tangan kirinya menunjuk ke arah perutnya.
“Ingat, berhenti dulu makan yang pedas dan asem-asem!” sambungnya sambil bangkit berlalu ke mesin stocking, diikuti mas Darto.
Mataku berbinar. Aku terharu dengan perhatian kabag-ku, ini menepis segala prasangka buruk yang sering dialamatkan pada mereka, para pimpinan. Aku menganggukan kepala dan kembali melanjutkan pekerjaan, menulis produksi yang sedang jalan.
**
[1] Di perusahaan ini, seragam adalah keharusan disaat keluar masuk areal pabrik meskipun sekedar minta ijin atau berobat saja.
[2]Melakukan proses absensi, dengan cara memasukkan kartu absensi ke dalam mesin amano.
[3]Maksudnya koko, panggilan untuk laki-laki keturunan tionghoa yang artinya sama dengan kakak/ abang.
No comments:
Post a Comment