Hanya bertahan dua jam setengah di lapangan, aku sudah merasa tidak kuat lagi. Tidak banyak yang dikerjakan, duduk menulis dan membalik kaos-kaki, sangatlah membuatku tersiksa. Bagian vertebraku,[1] berasa panas hendak patah. Hampir sepuluh menit sekali bolak-balik ke kamar mandi, mual dan muntah terus. Aku melapor ke kepala regu, minta ijin pulang. Seperti biasa, mbak Darsinah sang pimpinan kepala regu meresponnya dengan bersungut-sungut.
“Kenapa nggak dari tadi saja pakai surat dokter, kalau tahu masih sakit mending nggak usah kerja dulu. Kerja kurang dari setengah hari kayak gini kan malah bikin repot. Mana kerjaan lagi numpuk. Susah minta tanda tangan, mesti ke sana kemari. Baiknya, nanti saja pas jam istirahat biar dihitungnya setengah hari, gimana? Kalau pulang sekarang kamu nggak bakalan dibayar!”
“Biarlah mbak, aku sudah nggak kuat lagi.”
“Nih.. kamu cari sendiri saja dan minta tanda-tangan pada mereka!” tangannya mengulurkan secarik kertas, surat ijin pulang yang masih belum sah karena belum ditanda-tangani.
“Aku mesti minta tanda-tangan sama siapa mbak? Ko Ricky?” aku penasaran karena baru kali ini minta ijin pulang, tak tahu harus berhubungan dengan siapa.
“Ya sama kabag produksi lah, ko Aloy, kalau nggak ko Lopan. Ko Ricky mah cuma kabag areal kita saja. Tadi kan dia sudah nanda-tangan. Makanya denger nih saran saya, kalau kira-kira dari rumah sudah merasa sakit, mending nggak usah kerja, kirim surat dokter saja biar nggak repot urusannya!”
Aku berlalu meninggalkan mbak Darsinah yang sibuk ngecek data rombakan mesin kaos-kaki di komputer.
“Mati aku... mengapa mesti salah satu dari duo racun itu sih yang harus aku mintain tanda-tangannya. Huff.. mereka berdua kan teramat sangar, mirip predator. Bagaimana aku menghadapinya?”
“Oh... tak adakah cara selain ini? Bagaimana caranya supaya aku mendapat tanda tangan tanpa harus bertatap muka dengan mereka? Hemm.. sangat sulit, semua orang sibuk dengan kerjaannya masing-masing, mana mungkin mereka menolongku” gumamku dalam hati.
“Huuuuu...” aku mendengus
“Baiklah.. akan kuhadapi, sudah tanggung. Lagian aku tak akan mengorbankan badanku ini demi uang yang tak seberapa. Benar kata mas Nurdin, uang gampang dicari, mungkin di lain waktu dan di lain perusahaan. Yang terpenting, pulihkan dulu kondisi badan, baru bekerja lagi.”
Bagi sebagian orang sehat itu mahal, karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan. Tapi bagiku, justru sakit juga sama mahalnya. Selain biaya pengobatan, eksistensiku di pabrik adalah harga yang harus kubayar.
**
Aku tersenyum, mengingat ucapan mas Nurdin (kepala shift) tadi pagi.
“Kamu mah kerjanya terlalu diforsir ya? Jadinya kayak gini.”
“Makanya Chie, sekali-kali keinginan operator tuh jangan terlalu diturutin ya jadinya kamu sendiri yang capek” ujar mbak Murni yang tiba-tiba datang sambil membawa sempel kaos-kaki yang sudah di-Acc bagian Follow up.
“Tahu nggak mas, nih anak bandel banget. Saya udah peringatin dari awal dia jadi asisten, eh.. masih be nurutin maunya operator, minta ini−itu buru-buru dikasih. Kalau aku jadi kamu, huh.. sudah ‘tak marahin mereka. Kerjaanya mainin orang saja. Dikira mereka, kita tuh mondar-mandir nggak jelas, nggak ada kerjaan. Hmmm.. padahal mah, tanggung jawab kita lebih besar dari mereka” sambungnya dengan bahasa gado-gado kental aroma Jawa ngapak.[2]
Mas Nurdin melihat ke arahku, tak menyahut, hanya mesem saja sambil mengernyitkan alisnya.
“Aku nggak enak mbak, mereka kan senior! Takutnya kalau nggak diturutin ntar malah ngadu sama mandornya. Jadinya aku sendiri yang kena juga.”
“Alah ngapain mesti takut segala, orang kita berada di jalan yang benar. Kecuali kalau dari awal kita nggak nyediain permintaan mereka, jelas ko Herry bakalan marah” ujar mbak Murni yang sedang berdiri menghadap ke arah tangga sambil membuat catatan bahan kaos-kaki yang sesuai dengan sempel yang dipegangnya.
“Ngapain terlalu mikirin orang lain. Kamu sakit kayak gini juga, apa mereka peduli? Sudah sekarang mah mending istirahat yang bener. Minta ijin dulu, daripada maksain kerja” mas Nurdin berujar.
“Pengennya sih gitu mas, tapi kemarin nggak masuk sehari saja sudah diancam PHK, padahal kan ngirim surat dokter, apalagi kalau nambah” sahutku.
“Pakai surat dokter sini lah, jangan dari luar pabrik!”
“Itu juga dari dokter pabrik mas, cuma kan sekarang ceritanya lain, lagi gencar-gencarnya pemutihan karyawan yang mau nginjak dua tahun kerja, jadi sebisa mungkin jangan sampai mangkir” mbak Murni menambahkan kemudian dia berlalu menuruni anak tangga membawa secarik kertas catatan.
“Ooh.. jadi ceritanya posisimu lagi terancam ya?”
“Iya, makanya sekarang aku bela-belain kerja mas!”
“Kalau aku jadi kamu, mending istirahat dulu di rumah. Seandainya di-PHK juga nggak masalah. Kamu masih muda, perempuan seusia kamu masih produktif. Jaman sekarang, kaum perempuan lebih beruntung, soalnya lapangan kerja masih terbuka lebar.”
“Tapi sayang mas, masih sebulan lagi nyampe dua tahun kerja. Tadinya aku ingin manfaatin sisa waktu yang ada. Aku nggak tahu nasibku selanjutnya, apakah masih diperpanjang, atau sebaliknya, dirumahkan, PHK, semuanya masih samar. Karena sampai saat ini belum ada satu pun yang yang jadi korbannya.”
“Kayaknya kamu masih ngarep kerja di sini. Emang kamu sudah punya apa saja semenjak kerja di sini? Paling-paling uangnya habis cuma buat makan sama bayar kontrakan saja. Udah gaji sedikit, kerja diforsir, makannya juga pasti yang nggak bergizi. Menu tiap hari kayaknya nasi liwet terus ya? Sama osang-oseng,[3] lauknya ikan peda.[4]Hahaha... “
“Sembarangan, ya enggak lah, itu mah kali-kali saja kalau pengen. Lagian itu kan makanan bergizi.”
“Terus apa coba, sampai akhirnya kamu jatuh sakit?”
“Kata dokter sih kecapean, pola makanya harus dijaga.”
“Tuh.. kan bener, sudah kerja diforsir, asupan gizinya kurang, pastilah ngedrop. Coba kalau kamu istirahat sebulan-duabulanan, baru nyari kerja lagi. Masih banyak perusahaan-perusahaan di luar sana yang mau nampung kamu. Apalagi kalau jadi TKW ke luar negeri. Dua tahun sudah bisa bawa uang banyak buat modal wirausaha.”
“Hemm.. benar apa kata mas Nurdin” aku berjalan sambil manggut-manggut sendiri
“Lebih baik istirahat saja dulu. Terserah mau dikeluarin juga, kalau memang kenyataanya harus begitu. Pasti ada perusahaan lain yang masih mau menampungku. Pokoknya aku harus optimis.” Aku mendesah. “Tapi.. aku nggak mau kalau harus jadi TKW. Ih... nggak kebayang, mending kalau nasibnya baik, kalau nggak? Bukannya pulang bawa banyak uang, yang ada mungkin tinggal nama.”
**
Kupegang gagang pintu kaca ruang kantor produksi, berat rasanya menginjakan kaki ke sana. Kuketuk pintu itu. Dari dalam sana, terdengar suara seorang pria yang sangat kukenal.
“Masuk!”
Aku takut, kubuka sedikit, nampak seorang pria ber-jas hitam sedang duduk, sibuk membaca laporan produksi perusahaan.
“Siang ko!” sahutku seraya mendekat ke arahnya diliputi perasaan deg-degan.
“Ya, silahkan duduk. Ada perlu apa?” dia bertanya sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Anu ko, mau minta tanda tangannya” jawabku masih gugup.
“Mau pulang?, kenapa, sakitkah atau mau ijin nikah?” dengan nada berguyon, dia bertanya padaku.
“Sakit!”
“Sakit apa?
“Typus”
“Typus? Oooh...” kepalanya manggut-manggut “Sudah berobat?”
“Iya..”
“Sudah berumah tangga belum?”
Aku menggelengkan kepala. Diliputi rasa heran, apa maksudnya dia berkata seperti itu.
“Kalau yang sudah berumah tangga, terkena penyakit parah begini biasanya karena capek ngurusin anak. Terus kalau gadis seusia kamu bisa sampai sakit seperti ini pasti karena banyak mikir pengen nikah ya?” ujarnya dengan gaya menebak-nebak. Kali ini aku benar-benar melihat kepribadian yang beda dari biasanya. Aku terkesima oleh sikapnya. Sangat ramah, jauh dari kebiasaanya di lapangan yang suka marah-marah.
Ternyata sikapnya di luar lapangan seratus delapan puluh derajat berbeda. “Tahu kayak gini ngapain aku mesti takut segala. Apa dia suka moody ya?” gumamku masih tak percaya dengan apa yang sedang kuhadapi.
Aku mendesah, manakala mengingat gunjingan anak operator di lapangan.
“Awas tuh... jurig[5]mau lewat, dia ke arah sini. Kerja yang bener, ntar di marahin loh!”
Jurig? Begitulah para operator menjulukinya, karena tampang sangarnya plus sikap emosionalnya yang sering meledak-ledak di lapangan. Tapi hari ini, aku seperti sedang berhadapan dengan orang lain yang sama sekali tak kukenal. Buru-buru aku menjawab “Enggak lah ko, pas kebetulan saja badannya lagi nggak fit. Biasanya juga nggak pernah minta ijin pulang.”
“Baiklah... saya kira kamu jatuh sakit karena kebanyakan mikir pengen nikah, apa sudah punya calonnya?” masih dengan bumbu guyonnya, ko Aloy menanda-tangani surat ijin yang kuulurkan padanya.
“Hemm...” aku hanya berdehem sambil menyunggingkan senyuman.
“Lah kok nggak dijawab? nih.. surat ijinnya. Lekas sembuh ya... jangan terlalu banyak mikir yang enggak-enggak!”
Aku tersenyum lagi dan bangkit “Iya ko makasih banyak!”
“Sama-sama. Tutup lagi pintunya!”
**
No comments:
Post a Comment