Satu Atap, Dua Hati, Satu Cinta

Begitu bebasnya hidup seorang Nunik. Sekarang dia bekerja di rumah makan Ikan Bakar khas Sunda di salah satu sudut kota Bandung yang ramai, di jalan Setiabudi. Informasi yang didapatnya berasal dari salah seorang mandor Jayatex.
Aku bukan tak mau mengikuti jejaknya. Syarat-syarat yang diberikan sang majikan rumah makan tersebut sangat memberatkan. Karena kurang dari sebulan lagi hari raya Idul Fitri, majikan rumah makan itu tidak membolehkan karyawan barunya untuk mudik meskipun hanya sehari. Minimalnya, harus lewat masa training selama enam bulan. Bagiku, ini tidak terlalu menjadi masalah. Hanya saja−−aku terlahir−−di keluarga yang menganut paham ‘makan nggak makan asal ngumpul’.

Baru saja aku menelpon salah satu saudara di kampung, dengan sewot dia berkata,
“Terlalu banget kalau lebaran sampai nggak pulang sama sekali. Memangnya kamu kerja di luar negeri? Itu Bandung, paling lama jarak tempuhnya cuma lima jam. Ngebelain apa sih sampai-sampai nggak pulang segala?”
Senada dengan Mirna, dia mengatakan hal yang sama. “Masa lebaran gak pulang, apa kata saudara-saudara kamu? Kayak kerja di luar negeri saja, kalau si Nunik sih rumahnya lumayan jauh. Lagian dia sudah tidak punya orang tua, jadi lebaran pulang atau nggak juga, itu nggak terlalu penting buatnya. Di rumahnya kan nggak ada siapa-siapa, paling kakaknya saja sama keluarganya, itu pun si Nunik nggak dekat dengan keluarga kakaknya” tegasnya.
“Kalau kamu lain, orang tuamu masih utuh, pasti mereka sedih kalau sampai lebaran nggak kumpul. Kalau nggak dapat kerjaan sekarang, mending nanti saja habis lebaran melamar lagi!” Ah... ribet sekali. Andai saja aku jadi Nunik pasti aku nekat, tak peduli omongan orang. Yang membuatku berat, jika saudara-saudaraku bertanya−−tentang kealpaanku di hari lebaran−−pada kedua orang tuaku. Kira-kira mereka berdua akan menjawab apa? Pasti saudara-saudaraku mencibir kelakuanku. Tentu hal itu akan menyakiti hati kedua orang tuaku.
Terpaksa aku mengalah, masih jadi pengangguran.
H minus tiga, aku mudik dengan rombongan dari kontrakan. Yani ikut dalam rombongan kami, dia lebih memilih mudik ke kampungku daripada melewatkan lebaran dengan keluarga calon iparnya di Bandung.
Keputusan Yani tidak mudik ke kampung halamannya dilatar-belakangi oleh kondisi ekonomi yang sama dengan diriku, keuangan yang semakin menipis. Hidupnya memang super ekonomis. Apa pun pasti diperhitungkannya. Termasuk biaya tiket yang terbilang mahal jika dilihat dari kondisinya yang sekarang menganggur. Uang yang ada, dia pergunakan untuk keperluan selama menganggur.
Aku dan Mirna memberi kebebasan kepada Yani, terserah dia mau tinggal dengan siapa selama berada di kampung kami. Yani memutuskan tinggal di rumah Mirna, alasan yang sangat logis. Sebelumnya, dia sudah mengenal ibunya Mirna dengan baik. Tak kupungkiri, ibunya Mirna selalu berlaku baik terhadap setiap penghuni di kontrakan terlebih itu teman baiknya Mirna.
Hampir tiga malam Yani di rumah Mirna, dia belum sempat main ke rumahku. Selalu aku yang harus ke sana. Saat malam, diantara kumandang takbir, aku menyambangi rumah Mirna dan mengajak Yani nginap di rumahku. Mirna tidak bisa ikut, dia sedang menggarap proyek borongannya; membuat kue bolu pesanan bibi, uwak dan tetangganya.
Seperti yang telah kujanjikan, aku memasak ikan gurame bakar untuk Yani. Pandu yang kebetulan pulang kampung, datang ke rumahku membawa saudara sekaligus teman dekatnya, Galih. Pandu memberi kabar baiknya padaku, dia akan segera menikah dengan Sita. Sungguh tak menyangka, Pandu akan menikah secepat itu.
Sejujurnya aku bahagia, setidaknya aku tidak merasa bersalah lagi pada Pandu. Tapi karena akhir-akhir ini Ririn memberikan pengakuan tentang perasaan terpendamnya pada Pandu, membuatku jadi sedih. Pastilah Ririn tersiksa dengan kabar mengejutkan ini karena dia lebih dulu mengetahuinya.
**
Awal perang dinginku dengan Yani dimulai dari sini. Kami berdua sama-sama mulai mengenal Galih. Pesonanya yang terkesan dingin, tak banyak basa-basi membuatku  bersimpati penuh padanya. Dan, karena pertemuan di malam takbir ini, aku mengetahui kalau sebenarnya antara buyutku dan buyutnya Galih masih ada hubungan kekerabatan.
Pada  saat malam takbir, Yani dan Galih bertukar nomor hanphone. Hampir setiap detik mereka saling berbalas pesan bahkan menelpon. Aku tak menaruh kecurigaan pada mereka. Yani yang tadinya berencana menginap semalam, berubah pikiran. Katanya dia kerasan tinggal di rumahku, walau sikap keluargaku yang sedikit acuh, dia memakluminya. Hari ketiga di hari raya, dia masih bersamaku.
“Teh, barusan Galih telpon aku, dia ngajak kita ke Pangandaran. Gimana mau ya?”
“Sama siapa?”
“Dia bawa temannya, tapi kayaknya bukan Pandu. katanya, temannya itu mau bawa mobil.”
“Oh.. ya sudah kita siap-siap saja!”
Suara klakson mobil terdengar di pekarangan rumahku, rupanya Galih sudah sampai. Kami berdua bergegas menghampiri mereka, kami duduk berempat di depan, berdesakan karena mobil yang dibawa adalah jenis mobil bak. Ridwan sang supir, temannya Galih mensatater mobil dan segera meluncur ke pantai Pangandaran.
Tahun ini pengunjung pantai Pangandaran masih sepi. Mungkin mereka masih takut. Karena di tahun ini juga, tepatnya hari Senin, tanggal 17 Juli pantai ini diguncang tsunami. Meski bencananya tak sedahsyat tsunami Aceh yang menewaskan lebih dari dua ratus ribu jiwa, tapi tsunami di Pangandaran juga merupakan bencana nasional dan mengundang perhatian media internasional. Kurang lebih empat ratus korban jiwa, puluhan orang hilang serta ribuan bangunan yang rusak.
Pantai bisa dibilang obat mujarab penghilang penat. Bahkan bisa membuat seseorang bersikap kekanak-kanakan. Karena keindahannya, hampir tiap lebaran atau tahun baru, pantai ini tak pernah sepi. Begitu juga turis mancanegara yang sudah mengetahui keindahannya. Kini, aku tak menyaksikan keindahan itu, keramaian pengunjung, semuanya tampak lengang. Di beberapa titik, masih ada sisa-sisa bangunan yang rusak. Entah itu rumah penduduk, restoran atau hotel. Tsunami itu telah memorakporandakannya, menyisakan puing-puing dan trauma yang mendalam.
Aku menyaksikan Yani dan Galih saling-serang−−bermain air−−begitu akrabnya. Aku dan Ridwan tersenyum melihat tingkah konyol mereka.
Matahari makin tak bersahabat, semburatnya teramat ganas menguliti ari-ariku. Bahkan aku tak melihat siluetku, rupanya si Raja siang tepat berada di tengah cakrawala. Galih mengajak kami menepi.
Kami berjalan menyusuri pasir putih, lanjut ke cagar alam, melihat saudara jauh yang menurut teori Darwin, asal mula nenek moyangku berasal dari makhluk sejenis itu yang telah berevolusi, tak lain dan tak bukan adalah Kera yang kami jumpai di cagar alam ini.
 “Kita istirahat saja di sana!” ujar Galih menunjukkan ke tempat rindang di sekitar pasir putih.
Baru istirahat beberapa menit, dari jauh terlihat segerombolan bencong beraksi.
Aa..ku  tak mau bila cintaku dimadu
Pulangkan saja aku kerumah orang tuaku...
“Aa.. teteh.. sawerannya dong!” ujar salah satu pengamen itu sambil mengulurkan plastik cangkang permen ke tengah kerumunan orang.
Galih terlihat takut. Dia dan Ridwan memanjat pohon rindang itu dan bertengger di salah satu dahannya. Mereka menyarankan supaya kami naik. Bagiku ini cetek,[1]karena dari kecil aku sering memanjat pohon. Yani yang mengalami obesitas, tak bisa dengan mudah mengangkat tubuhnya. Terpaksa Galih dan Ridwan membantu menariknya.
Di atas pohon, mataku memandang luas ke hamparan laut biru.
“Sepertinya di sini aman!” ujar Galih.
“Semoga saja mereka tak mengikuti kita. Jujur aku mending dikasih pengamen yang bertato daripada bencong kayak gini mah!” sahut Ridwan.
Aku menebak apa yang dua pria ini rasakan “Takut ya?”
“Bener, lebih takut daripada pengamen biasa. Masalahnya, mereka kalau nggak dikasih suka nekat!”
“Indah banget ya” Yani berujar.
“Iya, apalagi kalau tidak ada kejadian tsunami, pasti banyak pengunjungnya. Sekarang hanya menyaksikan puing-puing dan orang yang tak begitu banyak. Tapi sepi kayak gini malah lebih tenang” Ridwan pun menyahut.
“Untung saja aku ikut teteh mudik ke sini, kalau nggak, lebaran di Bandung hanya di rumah saja.”
“Naaaah... ketahuan, mau ngumpet ke mana lagi?” ujar salah satu bencong itu sambil secepat kilat menerjang dahan yang kami duduki. Kami dibuat terkejut, masih untung aku dan Yani duduk di dahan yang setahap lebih atas daripada Galih dan Ridwan. Galih dan Ridwan terlihat takut dan segera mengeluarkan uang seribu rupiah manakala si bencong itu bergoyang gergaji sambil bernyanyi tepat di muka mereka.
“Aaah.. pelit amat, seribu lagi dong!” pintanya dengan manja.
**
Sejak pertemuan-pertemuan itu, menyisakan simpati yang mendalam terhadap Galih. Aku sering dilanda perasaan tak menentu, ingatanku tak pernah lepas dari Galih. Aku tak yakin ini cinta. Tapi makin aku tepis, semakin tak kuasa menahannya.
Pada satu kesempatan, lewat pesan singkat yang memang terkesan mendadak−−aku yang tak tahu aturan ini−−memancing Galih dengan pernyataan sukaku padanya. Jawaban Galih netral.
//Sebelumnya aku minta maaf telah lancang. Aku tak bermaksud lain, hanya ingin mengutarakan kegundahanku selama ini. Aku tak yakin apa yang kurasakan ini. Mungkin belakangan, aku menaruh hati sama kamu. Wajar, kalau kamu tak percaya karena ini terkesan mendadak. Sekali lagi maaf atas kelancanganku ini!//
Pandu membalasnya :
 //Maaf aku baru tahu kalau kamu punya perasaan seperti itu. Untuk saat ini, aku hanya menganggap kamu dan Yani tak lebih dari sahabat. Maaf bila jawabannya mengecewakan. Aku hargai perasaanmu itu. Aku harap kita masih bisa menjalin silaturahmidengan baik!//
Walau kecewa, aku bahagia. Setidaknya aku tahu, tidak ada hubungan apa pun antara dia dan Yani. Tak seorang pun−−salah satu diantara kami berdua−−yang dipilihnya. Cukup adil!
Aku malu dan sadar akan kekhilafanku segera aku membalas dengan sok bijak.
//Maaf, barusan aku hanya bercanda, menguji saja! Aku pikir kamu punya perasaan terhadap Yani dan tak berani mengutarakannya. Aku harap, seandainya kamu menaruh hati pada Yani alangkah baiknya jujur. Insaya allah tali silaturahmi kita akan baik-baik saja!//
//Oh.. tak apa! Seperti yang sudah kubilang, kita bertiga cocoknya menjadi sahabat.//
Lambat laun, kedekatan Galih dan Yani berujung pada cinta walau mereka tak lagi saling bertemu. Saat itu, kami sudah kembali ke Bandung, Galih pun kembali merantau.
**
Dalam hening malam, aku menangkap arah pembicaraan mereka di telepon. Rupanya diam-diam mereka berdua menjalin hubungan jarak jauh. Aku syok mendengar itu semua.
Selanjutnya, malam-malamku terasa menyakitkan. Saban hari, aku harus mendengar kemesraan mereka walau via pesawat telepon. Bagaimana tidak, aku dan Yani tinggal satu atap, satu kamar, parahnya satu kasur pula. Pastilah semuanya terdengar walaupun itu sekedar desahan nafasnya saja.
“Teh Achie, teh.. !” sapanya pelan sekali, memotong pembicaraan dengan Galih di telepon.
“Ya!” aku yang tidur membelakanginya menjawab datar.
“Aku pikir sudah tidur, kok diam saja?”
“Aku memang mengantuk Yan!” jawabku tak jujur.
“Oh.. ya sudah!” kemudian dia pun melanjutkan percakapannya yang sempat tertunda. Saat itu juga air mataku meleleh. Hanya saja, Yani tak tahu karena memang kondisinya gelap. Tiap malam lampunya sengaja dimatikan, kebiasaan Yani supaya bisa tidur.
“Mana mungkin aku bisa tidur Yan! Suaramu itu terasa memecah gendang telinga tembus ke ulu hatiku”gumamku seraya mengambil bantal dan menutupi daun telingaku.
Begitu manjanya Yani jika mendapat telepon dari Galih, membuat hatiku bagai diiris sembilu. Pernah suatu ketika, aku dan Yani tak saling menyapa, itu merupakan klimaks yang tak terbantahkan lagi.
**
Tak kupungkiri, aku cemburu dengan kedekatan mereka, rasanya terlalu mendadak. Bahkan Mirna memperkirakan itu semua hanyalah setting-an yang sengaja dibuat Galih dan Pandu.
“Baru saja aku mulai membuka hati ini, seketika harus menutupnya kembali.”
“Rasanya baru kemarin kak Rizal membuatmu kecewa, belum juga kering luka hatimu sudah ditambah luka yang lain. Tak tanggung, dua kakak-beradik itu sungguh tega” Mirna menyahut.
“Di hadapan Yani, aku harus berpura-pura tak ada masalah. Tapi hati ini tak bisa berbohong Mir! Kupingku panas, jika saban malam mendengar kemesraan mereka. Masa gara-gara ini aku harus pindah kamar?”
“Susah juga sih kalau ada di posisi kamu. Menurutmu, si Yani tahu nggak tentang perasaanmu?”
“Bisa jadi dia mulai curiga. Belakangan antara aku dan dia seolah ada tabir yang membuat kami berdua jadi canggung jika berhadapan, apalagi jika bicara suara kami tak seperti biasanya, kaku!” aku menelan ludah seolah sedang menelan kekecewaan “Kadang suatu waktu, aku merasa tak nyaman lagi jika berada satu ruang dengannya. Aku jadi sering menghindarinya dan bersikap dingin. Sementara dia selalu salah tingkah seolah punya dosa besar. Lucu juga ya?” aku tersenyum kecut.
 “Mustahil kalau dia sampai tak merasakannya! Hanya saja dia sedang berbahagia, jadi seoalah tak peka dengan perasaan orang lain. Tapi aku yakin dia juga merasa tak enak dengan kondisi seperti ini. Nggak usah terlalu dipikirkan Chie, belum tentu juga mereka ketemu lagi. Mungkin saja si Galih bersekongkol dengan Pandu.”
“Maksudmu?”
“Siapa tahu si Galih emang sengaja nolak kamu dan lebih milih Yani karena dia tahu kalau dulunya si Pandu pernah suka sama kamu. Katamu mereka berteman, bahkan bersaudara. Bisa saja mereka sengaja merencanakannya supaya kamu ngerasain sakitnya gimana. Tapi nggak tahu juga sih, itu hanya prediksiku saja.”
“Masa mereka setega itu?”
“Ya ini kan baru kemungkinan. Bukannya aku menghina si Yani, tapi kamu tahu sendiri si Yani kayak gimana orangnya?” aku mengerutkan kening menyimak pernyataan Mirna. “Yang kubahas bukan tentang bentuk tubuhnya yang big sizes lho!” Mirna terkekeh “Tapi sifatnya Yani yang manja itu. Masa iya, si Galih yang katamu dingin mau menjalin hubungan serius dengan Yani yang selengekan kayak gitu? Aku tak percaya!” Mirna geleng-geleng kepala.
“Mungkin si Yani tidak termasuk kriteria yang diidamkan Galih, tapi karena Yani bisa membuatnya tertawa, malah itu yang dicarinya. Namanya juga cinta, susah ditebak arahnya ke mana.”
“Iya sih. Tapi aku masih tak percaya kalau si Galih benar-benar suka sama Yani, aku ngerasa ada motif lain dibalik ini.”
“Entahlah!”
**


[1] Mudah, gampang.

No comments:

Post a Comment