PERJUANGAN TAK PERNAH USAI

Perkara hati boleh saja sedang mengalami gencatan, tapi tidak dengan semangat mencari kerja. Proyek pribadiku tidak melulu berkutat dalam urusan hati, aku berusaha mengenyampingkan hal itu. Urusan perut lebih penting dari segalanya. Termasuk kebanggaan mendapat pekerjaan dengan jerih payah sendiri.
Kali ini pasukan penggangguran di kontrakan kami lebih banyak, hampir semua buruh kontrak lepas di-PHK atau mungkin bahasa lebih halusnya dirumahkan. Berbahagia diatas penderitaan sendiri, bisa jadi. Kami bahagia, karena banyak teman-teman yang akan berjuang denganku. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak benar-benar nyata, banyak PR yang harus secepatnya kami selesaikan, supaya lepas dari stempel pengangguran.

Sahabat seperjuanganku, Nunik, kali ini dia tidak bisa ikut dalam misi penting kami. Dia memilih merantau ke Pekanbaru Riau. Separuh nafasku−−teman seperjuanganku−−sahabat terbaikku, telah memilih jalannya sendiri. Aku merasa kesepian, limbung, walau kenyataanya aku masih memiliki banyak teman. Kerinduanku terhadapnya makin lama, semakin tak terbendung. Andai saja saat itu aku memiliki cukup banyak uang, rasanya aku ingin kabur dan mengikuti jejaknya. Tabunganku hanya cukup buat bertahan hidup di Bandung kurang dari dua bulan saja.
“Chie, sorry mulai saat ini aku nggak bisa menemanimu berkeliling kota lagi. Padahal Bandung belum benar-benar aku ubek. Rasanya kebersamaan kita cukup sampai di sini!”
Lirih aku menyebut namanya dan tanpa sadar mataku berkaca-kaca “Nu-nik!”
“Mungkin di lain kesempatan kita akan bertemu lagi” sambung Nunik.
Aku tak langsung menjawab. Mendengar pernyataannya membuat hatiku sakit, lebih sakit dari sekedar putus cinta.
Nunik memandangi teman-temannya satu persatu. “Teman-teman, aku do’akan semoga kalian bisa meraih mimpi; mendapat pekerjaan yang sesuai dengan yang diharapkan dan suatu saat bisa hidup sukses, tapi jangan lupa do’ain aku juga ya!”
“Aamiin!”
“Pasti Nik, hati-hati di jalan ya! Aku nggak tahu kapan kita akan bertemu lagi” jawab Mirna.
Insya allah, kalau ada kemauan suatu saat pasti ada jalan. Maafin aku, selama ini aku banyak salah sama kalian!”
“Sama-sama, jaga diri baik-baik ya! Ingat banyak makan supaya gemuk” aku baru bisa bicara padanya dengan sedikit guyon, menutupi kesedihanku.
  Kupeluk tubuh kurusnya, erat tak ingin melepaskannya. “Rasanya baru kemarin kita saling kenal, baru kemarin pula jalan bareng. Siapa nanti yang akan menemaniku jalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh?”
“Kamu jangan pesimis, di sini masih banyak teman-teman baik yang sudah kamu kenal, sedang aku di sana? Belum tentu aku mendapat teman yang sedekat dan sebaik kalian.”
Aku dan teman-teman terpana, mengantar kepergiannya yang mulai menghilang dibalik pintu gerbang kontrakan. Tangannya yang putih meneteng tas besar, diapit saudara sepupunya.
**
 Di pagi yang cerah. Aku, Yani, Herti dan beberapa teman satu kontrakan mulai mencari kerja. Sibuk menyusun kertas yang berserakan di lantai.
“Hari ini mau kita mau ke mana teh?”
“Ke mana saja, yang penting usaha. Tapi lebih baik ke tempat yang dekat dulu.”
“Yan, kamu mah enak, sudah bisa jahit, pasti kamu keterima!” ujar Herti.
“Aamiin.. mudah-mudahan diterima semuanya. Tapi kok aku pesimis ya, soalnya yang dibutuhin kan harus yang berpengalaman, nanti kalau ditanya macam-macam gimana?”
”Kamunya yang santai dong, jangan tegang. Kalau nanti ditanya pernah menjahit, bilang  saja pernah” aku memberi saran.
“Jadi, pastinya kita mau ke mana dulu?”
“Ke PT. Abadi Terkendali lagi?”
“Sebenarnya sih aku malu kalau harus ke sana lagi tapi kita coba saja. Orang lain juga banyak yang keluar masuk.”
Kami menghentikan laju mobil tepat di depan PT. Abadi Terkendali.
Sensasi yang menegangkan, manakala mengingat saat-saat aku harus berbohong demi mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Sudahlah, yang lalu biar berlalu, disesali juga tiada guna. Aku dan teman-teman mengisi formulir isian seperti biasanya.
Pemandangan yang tak asing buatku dan Herti, kecuali Yani yang memang baru kali ini melamar kerja secara mandiri setelah sebelumnya dia mengikuti kegiatan kursus menjahit selama tiga bulan. Seperti biasa pula, satpam-satpam itu menggiring kami ke ruang personalia. Mereka tak sadar, kalau yang mereka giring adalah orang sudah berkali-kali datang namun sering ditolak.
Diantara kami bertiga, Yani terlebih dahulu dipanggil. Raut mukanya penuh ketegangan. Sikapnya pun terlihat salah tingkah. Hingga se-isi ruangan sepi dan Yani menjadi pusat perhatian. Kami semua yang ada di ruangan pun bisa dengan jelas mendengar setiap ucapan di antara mereka.
“Kamu pernah pengalaman menjahit?”
“Iya..”
“Sebelumnya kerja di mana?”
“Di Jayatex pak!”
“Oh.. itukan perusahaan besar, kenapa keluar dari sana, habis kontrak?”
“Iya..”
“Pernah kerja di tempat lain lagi?”
“Belum”
Pak Efren tersenyum memandang Yani dan berkata “Ditanya dari tadi, jawabannya cuma iya-iya saja.”
“Hee..”
“Biasanya kalau menjahit pakai jarum berapa?”
“Jarum?”
“Iya jarum berapa?”
“Eu.. berapa ya? Kalau nggak salah sih jarum enam belas!”
Hahaha... gkgkgkgk...
Kontan seisi ruangan terpingkal-pingkal.
“Gila.. mana ada jarum enam belas” seloroh salah satu pelamar.
Pelamar lainnya ikut menimpali “Hebat banget bisa ngejahit pakai jarum sampai berjejer enam belas. Huahahaha...”
Personalia yang mewawancarai Yani pun ikut tertawa, seraya berkata,
“Wah... kamu bohongnya nggak ketulungan, masa iya ada jarum enam belas. Berarti kelihatan kamu nggak pernah pengalaman jahit.”
Sepertinya Yani masih tak sadar akan kekhilafannya, dia malah berdalih masih dengan tampang innocent-nya “Dulu sih saya sering pakai jarum enam belas pak!”
“Celaka.. pasti si Yani nggak bakalan diterima” gumamku.
Pak Efren menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum geli. “Kamu ada-ada saja, di sini tuh  T I - D A K  menerima tukang jahit yang pakai jarum enam belas, hanya jarum satu dan dua saja!” tegasnya.
“Eh.. lupa, maksudku jarum satu pak! tadi kupikir nomor jarumnya” Yani mulai sadar dan tersipu malu.
“Jadi jarum satu ya?” tanya pak Efren seolah meledeknya “Tapi maaf, sepertinya kamu belum berpengalaman dan perusahaan membutuhkan orang yang benar-benar siap kerja, bukan orang yang sekedar mau coba-coba. Silahkan kamu cari pengalaman dulu di luar sana, lain kali kamu datang lagi ke sini! Ingat, harus sudah pengalaman ya!” Yani menganggukkan kepala.
 “Maaf ya!” sambung personalia itu. Yani hanya tersenyum kecut dan segera meninggalkan meja wawancara.
Yani mendekatiku dan berbisik, “Teh, aku malu banget!”
Aku tersenyum “Bukannya kamu sudah kursus menjahit? Kamu juga kerjanya di garment, harusnya kamu tahu dong mesin jahit tuh sering menggunakan jarum berapa saja. Aku yang nggak pernah kursus, sedikit-sedikit aku tahu.”
“Iya, aku nyesel banget. Nggak kepikiran kalau mau dikasih pertanyaan seperti ini. Tadi pas ditanya personalia, pikiranku hanya tertuju pada nomor jarum yang digunakan. Hmmm.. asli malu banget teh, mana aku ngomongnya keras banget, sampai-sampai se-isi ruangan pun ikut tertawa karena kebodohanku.”
“Sudahlah.. nggak usah nyesel. Sebenarnya itu pertanyaan biasa, tapi kadang kita menyepelekannya. Mungkin tadi kamu terlalu grogi jadi pikirannya ke mana-mana. Jadikan pelajaran saja!” aku dan Herti menyimak baik-baik panggilan dari personalia, sementara Yani masih melamun, merenungkan apa yang telah diperbuatnya.
Nasib kami bertiga sama. Sama-sama tidak diterima di PT. Abadi Terkendali. Kami bertiga dan lainnya yang barusan melamar langsung menuju ke arah kawasan industri terdekat.
**
Langkahku dan Herti begitu tergesa, berharap masih ada perusahaan yang mau menerima orang yang melamar kerja padahal hari sudah mulai siang. Sementara Yani dan beberapa orang yang baru dikenalnya tadi, masih tertinggal jauh di belakang.
“Ih.. si Yani jalannya lama banget!” gerutu Herti.
Aku menghentikan langkahku dan melihat ke belakang. Aku menangkap sesosok pria paruh baya menghampiri mereka “Yani dan teman-temannya berbicara dengan siapa?” gumamku.
“Her, bapak itu siapa ya?, kok gelagatnya aneh sekali.”
“Nggak tahu Chie. Mungkin bapak atau saudara dari salah satu teman barunya Yani” jawab Herti.
“Yan, ayo!” aku memekik keras.
Yani mendekatiku diikuti teman barunya dan bapak itu. “Tunggu dulu dong, kalian ini buru-buru amat sih!”
“Sudah siang tahu!” Herti kesal.
“Anu barusan bapak ini ngasaih tahu, katanya ada lowongan kerja di.... apa tuh pak nama perusahaannya?”
“Di pabrik garment. Kalau mau, kita sekarang ke sana! Ini yang lainnya juga pada mau ke sana” bapak itu mengajak kami dan berusaha menegaskan.
“Iya tapi nama pabriknya apa dan di mana? kapan-kapan saja kami ke sana” jawabku.
“Kalian ikut bapak saja, sudah pasti kalian diterima” bapak itu memaksa.
“Nggak bisa gitu dong pak! Ngasih informasi tuh harus jelas.”
“Jadi kamu nggak percaya dan menganggap saya bohong?” bapak itu terlihat kesal.
“Bukan begitu, kalau bapak tahu, apa susahnya bapak bilang alamatnya, nanti kita ke sana” tegasku.
“Kalau pun saya kasih tahu alamatnya, saya yakin kalian nggak tahu. Sudah, biar saya saja yang antar!” tangan bapak melambai-lambai hendak menyetop angkot.
“Bapak ini bicaranya bertele-tele, aku harus hati-hati apalagi Yani terlihat begitu memercayainya, siapa tahu dia punya maksud jahat” gumamku “Akhir-akhir ini marak sekali kasus kejahatan dengan ilmu gendam, modus penipuannya beragam. Ada yang hanya lewat pandangan mata ataupun bersentuhan kulit. Semoga dugaanku salah!”
“Nggak usah pak, terimakasih! Kita mau nyoba yang dekat dulu.”
“Iya, lagian ini sudah siang” sahut Herti.
“Ya silahkan saja, saya niatnya baik mau ngasih tahu. Terserah kalian saja” segera dia naik angkot yang sudah distopnya. Tanpa memedulikan aku dan Herti, Yani hendak mengikuti bapak itu dan teman-teman barunya. Tanpa pikir panjang, aku menarik keras tangan Yani, sehingga dia marah.
“Teteh ini kenapa sih? Bukannya senang ada orang yang mau bantu kita, kok malah seperti ini.”
“Kamu tuh..!” ucapanku terpotong manakala bapak itu menatapku tajam dan berbicara,
“Ya sudah kalau nggak mau, nggak usah ikut!”
“Tunggu dulu pak, boleh minta nomor teleponnya?” Yani langsung menuliskan nomor yang disebutkan bapak itu. segera angkot yang ditumpangi bapak itu meluncur meniggalkan kami bertiga.
“Teh, kenapa sikap teteh kayak gitu? Padahal dia mau nolong!”
“Hidup di kota itu harus serba hati-hati, apalagi sama orang yang nggak dikenal. Mencurigakan lagi. Masa kamu nggak ngerti maksudku sih? Herti juga ngerti.”
“Iya Yan, kok kamu asal percaya begitu saja, padahal kenalnya juga sepintas. Hari gini susah nyari kerja, kamu harus hati-hati siapa tahu dia punya maksud jahat.”
“Jahat gimana orang dia mau nolong?”
“Ya kan motifnya nolong, tapi kalau dia mau benar-benar nolongin, harusnya dia nggak usah marah dan kasih kita alamatnya, beres kan? Nah.. tadi, bapak itu kayak yang mau nyari keuntungan. Tapi wallahu ‘alam, aku nggak mau berburuk sangka. Cuma waspada kan harus. Kamu masih ingat nggak apa yang menimpa teman kerja kamu? Yang katanya mereka kena hipnotis atau apalah mungkin ilmu gendam, mereka nggak sadar kalau orang yang di anggap baik ternyata seorang penipu.”
“Mana aku lihat kamu pakai perhiasan yang mencolok lagi.”
“He eh... tadi aku khawatir, soalnya bapak itu kayak ngelihatin gelang-gelang kamu” Herti membenarkan alasanku.
Yani merenung “Iya juga, kenapa nggak kepikiran sejauh itu.”
**

No comments:

Post a Comment