MENGAPA BAPAK, BUKAN IBU?



Tiba di kontrakan, aku langsung rebahan. Dari luar, ibunya Mirna datang dan duduk di sampingku. Tangannya mengelus lembut rambutku.
“Pulang duluan Chie?”
“Iya bi, nggak kuat. Tadi kerja juga nggak konsen, mual sama muntah terus!”
“Kan tadi juga sudah dibilangin, mending nggak usah kerja. Kamunya sih suka ngotot hehe..” ujarnya dengan logat sunda kental khas Cianjur-an.
“hee..”
“Sudah minum obat belum?”
“Sudah, tadi pagi!”
“Kalau muntah mah pasti obatnya ikutan keluar, jadi nggak bereaksi dong. Minum lagi, biar cepat sembuh!”
“Nanti saja.”

“Jangan lupa hubungi orang tua, kasih tahu mereka!”
“Kayaknya nggak usah deh bi! Kasihan, nanti malah pada panik.”
Ari nu jadi kolot mah, bibi teh hariwang ningalikeun kaayaan Achie jiga kieu mah. Sahenteuna eta panyakit teh lain panyakit sagawayah.[1]Bibi takut ada apa-apa denganmu. Nanti bibi juga yang disalahin, dikiranya bibi diam saja, nggak nyuruh kamu ngasih tahu keluarga di kampung.”
“Tenang saja bi, nggak apa-apa kok! Aku tahu kondisi keluargaku bi, mereka lagi nggak punya uang. Makanya aku nggak mau nambah beban buat mereka terutama bapak. Kasihan sekali dia!”
“Ya sudahlah kalau kamunya keukeuh, bibi juga nggak bisa maksa. Tapi ingat ya.. bibi sudah peringatin kamu. Kalau sampai ada apa-apa denganmu, bibi nggak bertanggung jawab, soalnya bibi sudah wanti-wanti.”
Aku menganggukan kepala. Ibunya Mirna berlalu keluar seraya berkata “Bibi tinggal dulu ya! Masih banyak cucian.”
“Iyaa”
Perhatian yang diberikan ibunya Mirna membuatku teringat keluarga di kampung−−terutama bapak. Membayangkannya saja membuatku menitikkan air mata, apalagi kalau harus memberitahunya tentang sakitku ini, tak tega! Beban yang dia pikul terlalu berat, aku tak mau menambahnya. Biarlah!
**
Saat masih kecil, aku sering bermanja-manja meskipun bapak tak pernah memanjakan aku. Di mataku, dia adalah sosok yang paling kukagumi. Aku sangat menyayanginya melebihi rasa sayangku pada ibu. Mungkin terkesan janggal, tapi itulah kenyataan. Dalam rumah tangga, bapak berperan ganda. Selain sebagai pencari nafkah, bapak juga bisa menggantikan figur ibu buat aku dan adikku satu-satunya, Andi.
Sikap bapak memang dingin dan cuek, malah terkesan kurang bertanggung jawab. Itu tak mengubah penilaianku padanya. Di mataku, lebih banyak kebaikan daripada keburukannya. Mulai dari cara mengajarnya yang terbilang aneh, suka berteriak-teriak. Tapi bukan berarti memarahi. Suatu malam, kami berkumpul di ruang keluarga−−menonton televisi.
“LKMD singkatan dari... Lembaga Keamanan Masyarakat Desa” dengan lantang bapak membagi pengetahuannya di saat aku duduk di bangku SD, bahkan sebelum masuk sekolah juga teknik seperti ini sudah biasa dilakukannya. Waktu itu, aku tidak terlalu tertarik. Omongan bapak selalu masuk kuping kiri−−keluar dari kanan. Kerjaanku malah asyik mengkliping-kan gambar-gambar dari majalah atau koran bapak yang sengaja kugunting, bapak sering memperingati kelakuan nakalku ini.
“Perdana menteri Malaysia siapa neng?” kali ini bapak mulai mengujiku.
“Mahathir Mohammad”
“Seratus!”
“Kalau presiden Serbia siapa?”
“Boris Yeltsin ya?”
“Salah.. yang benar adalah Slobodan Milosevic, nilainya dikurangi jadi lima puluh.”
“Petenis Jerman yang sering berlaga di Wimbledon siapa?”
“Steffi Graf dan Boris Becker.”
 “Seratus lima puluh.”
Begitulah caranya mendidik kami. Bermain sambil belajar. Karena dia tahu sekali kalau anaknya tak pernah mau belajar atau mengulang kembali pelajaran di sekolah. Walau yang diajarkannya bersifat pengetahuan umum saja, itu sangat membantuku. Terkadang dalam acara tebak-tebakan di kelas, aku sering menjawab dengan benar. Tentunya yang bersifat pengetahuan umum. Itu berkat jasa bapak. Walau aku tidak tergolong dalam jajaran orang pintar di kelas.
 Lain lagi kalau urusan membaca al-qur’an, otakku seperti keledai, lamban meresponnya. Berkali-kali aku dibentak bapak hanya karena otakku terlalu tumpul. Aku juga benar-benar heran, padahal sudah berguru ke sana kemari. Migrasi dari satu mesjid ke mesjid lain. Tetap saja lidahku selalu keseleo, tidak lancar bila menerabas untaian huruf arab. Melihatnya saja membuatku ngantuk dan pusing, ditambah lagi sikap bapak yang selalu mendesakku supaya bisa membaca lancar.
Ah.. entah setan apa yang bertengger di batok  kepalaku ini. Mungkin benar apa yang dikatakan guru agama di sekolah; kalau mengaji jangan suka berpindah-pindah, nanti nggak tamat-tamat. Itu benar terbukti. Aku bingung bagaimana cara menyiasatinya. Aku malu pada bapak, keluarga dan teman-teman di sekolah. Akhirnya aku belajar ngaji secara otodidak. Dengan sembunyi-sembunyi plus latihan yang intens, alhamdulillah sekarang aku bisa menerabas cukup lancar.
Sejak dulu, bapak tidak suka menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan. Baginya itu pamali. Bahkan saat aku memperoleh prestasi cukup baik di sekolah pun, ekspresinya biasa-biasa saja. Malah dia selalu membandingkan aku dengan orang lain yang berada di atasku. Dia selalu membandingkan sifatku yang malas dalam belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Kuakui, dari SD-SMP hingga SMA, aku tak pernah membuang sifat burukku. Mencuci baju saja seminggu sekali bila libur tiba. Belum lagi acara dadakan saat mau berangkat sekolah, yaitu menyetrika baju pas hari H. Menyimpan kaos-kaki, sepatu dan buku di sembarang tempat, yang pada akhirnya membuatku panik mencari ke sana kemari. Waktu itu, aku muak dengan segala kritikan yang meluncur dari mulut bapak. Aku lelah dengan caranya yang selalu membanding-bandingkan tanpa menyadari maksud baiknya.
**
Air mata bercucuran, aku benar-benar merindukan suasana seperti itu. Aku ingin melihat wajah keluargaku, terlebih di saat sakit seperti ini. Jadi ingat saat mengidap penyakit yang sama−−tepatnya tiga tahun yang lalu. Bapaklah yang telaten merawatku; mulai dari mengatur makanan apa yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi, mencuci bajuku, sampai-sampai membuatkan bubur dan meramu jamu cacing untuk kesembuhanku. Dia ikhlas melakukan itu, berbanding terbalik dengan sikap ibuku yang selalu marah dan ngomel jika diminta bantuannya, sekalipun anaknya terbaring sakit.
Masih jelas dalam ingatan, saat aku kelas satu SD, bapak memandikan aku dan meluluri sekujur tubuhku dengan racikan beras kencur. Karena saat itu aku terkena penyakit cacar air, sedang aku hanya menangis−−meringis kesakitan.
Bapak memang penyabar. “Tidak pernah aku menjumpai laki-laki yang sabarnya seperti bapakmu” cetus salah satu saudaraku. “Kesabarannya benar-benar luar biasa! Mungkin kalau orang lain jadi bapakmu, mana tahan, sudah pasti menceraikan ibumu” sambungnya.
Mendengar perkataan itu, aku hanya diam menelan air liur. “Ya itulah sisi positifnya bapak yang sampai saat ini belum bisa aku turuti. Jangankan orang lain, sebagai anak pun aku merasa tak tahan menghadapi sikap ibu.”
Di antara sekat dinding, tangisku tak tertahan. Hingga akhirnya terlelap. Masuk ke alam mimpi. Terdengar gaduh dari luar kamar, membangunkan aku. Aku menggeliat, melihat jam dinding. Rupanya jam pulang kerja tiba. Pasti itu mereka; Mirna, Yani dan Herti.
“Bu, Achie udah pulang belum?” tanya Mirna.
“Dari tadi, sebelum dzuhur juga sudah pulang!” sahut ibunya.
“Oh..” ujar Mirna. “Chie.. lagi ngapain?” suaranya terdengar lebih jelas. Rupanya dia bergerak ke arah kamarku dan mengetuk pintu.
“Tunggu sebentar!” segera aku membukakan pintu.
“Masuk setengah hari?”
“Nggak nyampe setengah hari, jam setangah sepuluh juga sudah pulang.”
“Jadi..?”
“Ya, nggak dihitung setengah hari. Sama saja seperti ijin seharian.”
“Rugi atuh, nggak dibayar?”
“Iya sih..  tapi mau gimana lagi,  nggak kuat!”
He euh.. bener, maksain juga percuma nanti malah tambah sakit.”
Dengan membiarkan pintu terbuka, aroma sayur lodehmenyengat masuk ke kamar. Terlihat ibunya Mirna sedang memasak di atas kompor minyak yang sengaja disimpan dalam sebuah peti. Peti yang terbuat dari bilah kayu dan teriplek berfungsi untuk mencegah hembusan angin dan memang sengaja disimpan di depan kamar masing-masing karena tidak tersedianya dapur umum.
“Mir, tadi ibu tuh nyuruh Achie untuk nelpon keluarganya di kampung, tapi dia malah nolak! Padahal ibu takut ada apa-apa” di sela-sela kesibukan memasak, ibunya Mirna berujar.
Naha.. kok nggak mau?” Mirna heran.
“Nggak usahlah, bapak lagi nggak punya uang Mir, kasihan! Nantinya malah bikin repot.”
“Terus, kamu mau pulang?”
“Mana mungkin pulang, beberapa jam di tempat kerja saja sudah nggak kuat, apalagi mesti pulang, malah repot di jalan.”
“Chie, yang namanya orang tua mah pasti ngusahain yang terbaik buat anaknya. Terlebih kalau tahu anaknya sakit parah. Meski nggak punya uang, apa saja akan dibela-belain” ibunya Mirna berusaha membujuku lagi.
“Benar kata ibu, Chie! Tapi kalau menurut kamu nggak usah, apa boleh buat. Sekarang banyakin istirahat saja supaya kamu cepat sembuh.”
Hampir tiga hari aku terserang penyakit ini. Belum ada perubahan yang signifikan. Obat dari dokter hanya numpang lewat saja, langsung keluar lagi. Sepertinya lambungku menolak semua yang masuk−−menguras habis isi perut yang ada. Beruntung, ibunya Mirna cekatan merawatku. Dia menyuapiku dengan kerokan buah pisang dan memasukkan obat di dalamnya. Kali ini berhasil. Aku tidak muntah lagi walau mualnya masih ada. Dia merawatku seperti merawat anaknya sendiri, membuatku terharu. Seumur hidup, aku tak pernah mendapat perhatian seperti ini dari ibu kandungku sendiri.
**
Karena sangat mencemaskan aku, ibunya Mirna kembali mendesak untuk menghubungi keluargaku, memberi kabar pada mereka. Ditambah lagi sikap teh Lilis yang suka memojokkan aku. Nanya ini-itu, mulai dari ketidakmunculannya Afrizal sebagai kekasihku, hingga merebet ke persoalan keluarga.
Kali ini aku tak bisa menolak. Aku tak mau terlalu membebani pikiran ibunya Mirna apalagi menjadi bulan-bulanan teh Lilis.
Masih terekam jelas di kepalaku, pertanyaan teh Lilis kemarin malam.
“Selama kamu hampir dua tahun kerja, rasanya aku tak pernah melihat orang tuamu berkunjung ke sini?” cetusnya membuat kupingku panas saja.
Aku berusaha tak terpancing “Pernah kok waktu menginjak setahun masa kerja” sahutku.
“Oh.. iya, tapi cuma sekali ya? Itu juga kalau tak salah bapakmu saja yang datang. Emang ibumu nggak pernah kangen gitu? Kok nggak pernah menjenguk ke sini. Apa dia nggak pengen jalan-jalan sambil jengukin anaknya? Kalau ibuku sih nyaris sebulan sekali ngejengukin.”
“Ya pasti kangen lah, tapi kan di kampung keadaanya serba susah, jalan-jalan juga harus pakai biaya. Apalagi dia kan sakit-sakitan” aku berdalih, berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Tapi aku heran deh sama kamu. Kalau ada apa-apa, kok kamu nggak pernah nyebut-nyebut ibumu. Selalu bapak dan bapak.. kenapa sih? Padahal hampir setiap anak, yang pertama diingatnya pastilah.. ibu” teh Lilis menyelidik.
Tanpa sadar, kali ini aku sedikit terpancing. “Itu karena aku lebih peduli dan sayang sama bapak! Maunya sih aku juga begitu, tapi nggak bisa teh!” aku bicara dengan nada bergetar, hampir nangis.
“Aneh, kok bisa.. bagaimana ceritanya?”
“Panjang teh. Aku tak bisa cerita” aku menarik nafas panjang. Berusaha menenangkan hatiku dan melupakan apa yang pernah diucapkan teh Lilis.
Pukul satu siang bapak datang. Bahagia dan iba melihatnya. Tubuhnya begitu kurus, raut mukanya kusam. Garis kerutan menghiasi wajah. Dia tampak lebih tua dari umurnya. Banyak berubah, uban pun tumbuh lebat. Ingin rasanya memeluk dia. Tapi tak mungkin, hubungan kami teramat dingin, jarang bicara. Hanya lewat bahasa hati saja kami berbicara dan aku bisa menangkap kegelisahannya.
Sehari menemaniku, esoknya dia pulang karena harus bekerja. Dia berpesan supaya aku tak pernah meninggalkan sholat sekalipun dalam kondisi sakit. Tak lupa, mengucapkan terimakasih pada ibunya Mirna yang telah rela merawatku. Sorot mataku mengantar kepergian bapak di balkon, ditemani Mirna dan ibunya yang duduk di sampingku.
“Chie, kasihan ya bapakmu. Kok sekarang dia tampak lebih tua dari ibuku, padahal kan umurnya tuaan ibuku. Pasti karena bapakmu banyak pikiran.”
“Walau dia tak pernah mengatakannya, tapi aku tahu kalau ada sesuatu yang menggangu pikirannya. Ekspresi wajahnya berbeda.”
**


[1] Yang namanya orang tua, pasti cemas melihat keadaanmu seperti ini. Setidaknya itu penyakit bukan penyakit biasa.

No comments:

Post a Comment