NURDIANA CATUR DAMANIK



Siang ini, suasana di kamar mandi sedang ramai. Aku mengulurkan tali timba ke dalam sumur lalu menggereknya. Cucianku satu ember penuh, hampir satu minggu tak mencuci. Begitu juga Mirna tak mau kalah, cuciannya lebih banyak lagi.
Dalam mempertahankan predikat ‘MALAS’, kami berdua selalu bersaing, hingga akhirnya cucian menggunung. Capek kerja selalu menjadi alasan utama kami menimbun pakaian kotor. Itu sudah menjadi tradisi kami. Sementara Yani sedang menyelesaikan bilasan terakhirnya. Dalam hal pekerjaan rumah tangga, dia paling rajin dibanding aku dan Mirna. Saban hari, dia selalu mencuci pakaian meski hanya satu setel saja.
“Yan, kamu kan hampir selesai nyucinya, tolong bantuin aku dong!” Mirna merajuk.
“Enak saja, aku juga capek tahu! Ih.. amit-amit kalian berdua nyucinya pada borongan kayak gitu!”
“Sedikit beramal dong, apa salahnya? Cucian kamu juga cuma sedikit” Mirna masih mengharap sembari terus menyikat pakainnya sedang aku tersenyum mendengar celotehan mereka berdua.
“Ngarep nih..” Yani seyum genit.

“Ya.. bisa dibilang begitu! lagian di pabrik, kamu sudah terbiasa dengan kerja borongan kan?”
“Iya borongan yang menghasilkan lah.. bukan cuma membuang-buang energi saja. Semakin banyak barang, makin banyak perolehannya. Emang berani bayar berapa? Hehe...”
“Haa..haa..” Mirna terbahak-bahak, aku juga sama. Sementara itu, Herti si pendiam yang tengah mencuci piring pun ikut tertawa.
“Dasar matre! meski bukan aku yang membalas, kebaikanmu nanti dicatat malaikat ‘Atid[1] dan dibalas di akherat kelak!” dengan sok bijak Mirna tetap merayu.
“Kalau mau beramal jangan tanggung. Cucianku juga banyak, pasti berlipat ganda pahalanya” aku menambahkan.
“Oh.. tidak, terimakasih teteh-tetehku yang cantik! Jangan bawa-bawa amal dan akherat kalau hanya untuk merayuku saja, nggak mempan! Aku juga masih banyak kerjaan, habis ini aku mau istirahat dulu. Dadaaagg...” Yani berlalu melambaikan tangannya, sambil menenteng ember berisi baju yang hendak dijemur.
“Eh.. teman-teman, katanya hari ini ada penghuni baru, anak kaos-kaki juga!” Herti mulai bersuara.
“Kurang tahu tuh” Mirna cuek.
“Kata siapa? Aku juga baru dengar”
“Teh Lilis, anak mesin, areal  kamu Chie! Cuma beda shift”
“Oh.. masa, kok aku nyampe nggak tahu ya? Siapa namanya?”
“Kata teh Lilis mah, mbak Iin yang bawa ke sini. Namanya aku nggak tahu!”
**
Patah tumbuh hilang berganti. Sepertinya pepatah itu tepat untukku. Satu teman pergi, datang lagi yang lain. Belum sampai sepuluh menit, dari gerbang muncul sebuah keretek.[2] Ditunggangi seorang kusir, dua orang perempuan duduk di belakangnya. Aku mengenal salah satu di antara mereka, mbak Iin. Seorang lagi yang duduk di sampingnya aku tak mengenal sama sekali.
Gadis itu seumuran denganku. Badannya lebih kurus, kulitnya putih dan rambutnya berombak dipotong model segi sebahu. Kursi satunya lagi penuh dengan barang-barang hingga ke bagian tengah keretek. Nyaris menutupi badan dua penumpangnya. Keretek diparkir pas di bawah tangga. Kusir menurunkan barang satu persatu. Sementara mbak Iin membantu temannya mengangkut ke kamar kosong, di lantai atas bagian depan.
“Oh.. itu orangnya, cantik juga!” Mirna berkomentar.
“He eh.. tapi sepertinya aku nggak pernah lihat wajahnya di areal, mungkin kamu salah info, Her!
“Nggak tahu juga sih. Kan tadi aku bilang beda shift!”
“Meski beda, tapi kalau satu areal kayaknya nggak mungkin kalau aku nggak pernah melihatnya, pasti pas overshift-an juga ketemu!” 
“Iya juga ya? Atau mungkin kamunya yang lupa kali!”
“Bisa juga.”
Bilasan terakhir selesai, aku membuang air sisa bilasan ke saluran pembuangan. Sedangkan Mirna masih menyikat baju. Herti sudah lebih dulu meninggalkan kamar mandi. Beberapa menit kemudian aku menyusul.
Sore-sore, aku menjumpai penghuni baru. Nurdiana Catur Damanik namanya, biasa dipanggil Nunik. Berasal dari Solo tapi bapaknya asli Batak. Benar dugaanku, meski sama bagian areal, dia bukan operator mesin kaos-kaki mekanik, tapi operator mesin Stocking komputer. Pantas saja aku tak mengenalinya.
“Sudah lama kerja di Jayatex?” tanyaku.
“Hampir satu tahun” jawabnya.
“Katanya kamu bagian areal juga ya? Sambung Nunik sambil beres-beres, menata barang.
“Iya, di mesin mekanik! Kok tahu?”
“Tadi mbak Iin yang bilang, sudah berapa lama?”
“Sama.. hampir setahun.”
“Memang kamu masuknya bulan apa?”
“Bulan April, tanggal  26, kamu sendiri?”
“Aku sih lebih dulu, selisih dua mingguan, kalau nggak salah tanggal 12.”
“Berarti kita satu angkatan ya?”
“He eh.. ngomong-ngomong ada berapa orang anak kaos-kaki di sini?”
“Empat orang, tapi yang dua sudah pada nikah. Tinggal aku dan Herti saja yang masih lajang, dia kerja di bagian Packing. Kalau dulu sih ada banyak, tapi mereka pada pindah. Termasuk teman dekatku di bagian Lingking, namanya Ririn.”
“Terus temanmu itu pindah ke mana?”
“Oh.. kalau dia pindah kontrakan, pindah kerjaan juga. Sekarang tinggal di daerah Rancaekek”
Mirna, Herti dan Yani datang menghampiri kami.
“Hai.. beres belum?, nih ada tenaga bantuan datang” sapa Mirna.
“Terimakasih ya, hampir selesai kok. Ini juga lagi dibantuin Achie.”
“Kalian belum pada kenal ya? Kenalan dulu dong!” aku memotong.
“Oh.. iya lupa, namaku Nurdiana panggil saja Nunik, kalian?”
“Yang gendut ini namanya Aryani biasa dipanggil Yani, dan yang pendiam Herti, kalau aku Mirna saja” Mirna menjelaskan.
“Sekarang mah nggak gendut-gendut amat teteh, agak langsingan! Hehee..” Yani protes
“Bukan langsing tapi langseng[3] itu mah!hehe...”
“Hahahahaaa...”  semua tertawa. Untuk ke sekian kalinya temanku yang satu ini jadi bahan olok-olokan kami. Sedikit pun dia tak tersinggung dan tak pernah serius menanggapinya.
Nunik orangnya supel dan ceria. Belum genap sebulan dia sudah membaur dengan kami. Karena kedekatannya dengan mas Dito, dia sempat digosipkan punya hubungan khusus dengan mas Dito. Mungkin karena ke mana-mana mereka sering pergi bareng, kebetulan juga posisi kamar mereka bersebelahan. Tapi dia tak menghiraukannya. Dia sendiri sudah punya kekasih begitu pula mas Dito.
**
Malam itu malam minggu, para jejaka berkumpul di kamar Nunik. Sekedar numpang ngopi sambil nonton acara motoGP, bahkan saling curhat sudah menjadi kebiasaan mereka. Asap rokok membubung di ruangan sempit−−keluar melalui lubang ventilasi dan pintu. Nunik mengambil empat buah gelas.
“Wis mateng banyune?[4]
“Uwis mas, biar aku saja yang seduhin” Nunik membuka kemasan kopi dan memasukannya ke cangkir, menyeduhnya dari dipenser.
“Alah.. itu mah pengennya mas Muhdi. Gayanya dari tadi ditungguin terus, yo lama tenan, mas Muhdi piye sih!” mas Dito berkomentar tapi matanya tak berpaling dari televisi.
“Lah arep ditinggal lunga, yo eman-eman[5]si Rossi lagi beraksi.”
“Tetep yo mas ‘ndak mau ketinggalan!” komentar Nunik sambil menyodorkan empat cangkir kopi ke arah teman-temannnya.
“Iyo lah penggemar sejati” mas Muhdi membenarkan sambil moncongnya meniup-niup menyeruput kopi panas.
Nunik tertawa ringan. Siapa sangka di balik keceriaanya tersimpan selaksa duka yang mendalam. Di mataku dia adalah sosok perempuan yang teramat tegar. Jarang sekali aku mendengarnya berkeluh kesah. Sebaliknya, dia selalu menerima setiap kejadian yang menimpanya dengan penuh kesabaran dan berpikiran positif. Darinya, aku banyak belajar bagaimana menerima apa yang sudah diberikan tuhan untuk kita.
NUNIK hidup di lingkungan keluarga yang cukup mapan. Sayang kebahagiaanya terenggut semasa dia duduk di bangku SMP. Orang tuanya meninggal dunia akibat tabrakan. Sejak saat itu, dia dibesarkan oleh kakak perempuannya. Dia bungsu dari lima bersaudara. Kakak tertuanya seorang perempuan yang sudah menikah dan mengambil alih segala tanggung jawab atas dirinya, termasuk usaha peninggalan orang tuanya yaitu produksi oleh-oleh khas Solo. Kadang cara kakaknya bertindak terkesan otoriter. Mereka menempati rumah mendiang orang tuanya.
Banyak konflik terjadi, kakak-kakaknya yang lain sering memperdebatkan masalah hak waris. Maklum tiga kakaknya[6]sudah pada nikah, sementara dia dan kakak keempatnya masih lajang. Mas Budi satu-satunya kakak yang masih lajang. Lengkapnya Budiawan Santoso. Dia tinggal di Padang Pariaman mengikuti jejak kakak kedua seorang laki-laki. Di Padang, mas Budi mencoba berwiraswata. Dengan harta warisan orang tuanya, sebagai modal. Usahanya dagangnya berkembang cukup pesat, bahkan dia membeli sebuah mobil carry dan kadang membantu kakak perempuannya membiayai sekolahnya Nunik.
**
Badai datang untuk kesekian kalinya. Mas Budi yang tengah dia atas angin, berpikir bahwa uang adalah segalanya. Termasuk kebiasaanya yang selalu luluh oleh kecantikan kaum hawa. Pada akhirnya, pekerjaan yang dirintis dengan susah payah−−koleps seketika. Hanya menyisakan mobil carry bututnya yang dia bawa pulang ke Jawa.
Dengan sangat, mas Budi memohon, untuk sementara waktu numpang bareng Nunik. Apa mau dikata, menolak pun tak bisa. Orangnya hampir di depan mata. Ya.. Nunik mendapat kejutan yang tak diharapkan. Sama sekali tak diharapkan! Mas Budi sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Setengah jam lagi sampai. Raut muka Nunik berubah, sesaat setelah menerima telepon.
“Ada apa?”
“Mas-ku mau datang ke sini” lemas sekali dia menjawab.
“Saudara mau datang, kok kayak nggak senang gitu?”
“Masalahnya dia mau numpang tinggal denganku.”
“Oh.. berapa lama?” aku yang sudah tahu ceritanya mencoba menelisik.
“Justru itu masalahnya, nggak pasti! Mungkin sampai dapat kerjaan lagi.”
“Sabar ya!”
Bukan tak senang dengan kehadiran seorang kakak, tapi kali ini Nunik benar-benar dilanda krisis. Tabungannya terkuras dipinjam sepupu yang juga tinggal di Bandung. Hanya mengandalkan gaji. Belum lagi, kebiasaan mas Budi yang berbaik hati−−sering beramal mentraktir cewek-ceweknya; belanja pakaian atau sekedar memberikan bekal. Apa pun akan dilakukan. Termasuk meminjam uang, karena saat ini mas Budi sedang pailit semenjak menganggur. Sudah bisa dipastikan, Nunik yang selalu jadi tumbal. Semua itu, mas Budi lakukan hanya demi menjaga image-nya saja.
“Eh.. kamu pasti kaget lho lihat mas-ku, dia kan tampan. Uh.. di sana juga banyak cewek yang ngejar-ngejar dia. Tapi kamu jangan sampai kepincut sama dia ya!”
“Emang kenapa, cieee.. keberatan?” aku menggoda.
“Bukan gitu, dia kan orangnya playboy, kasihan nanti kamunya sakit hati. Lagian kalau kamu sama dia, berarti nanti kamu jadi kakak iparku. Terus aku mesti panggil kamu ‘teteh’? Ah... nggak enak banget, kita kan seumuran!” dengan aksen khas Solo-nya dia bergurau.
“Hahahahahaaaaa...” aku pun tak kuat menahan tawa “Lagian belum tentu dia mau sama aku, kok sudah mikir sejauh itu. Ada-ada saja kamu mah!”
“Kan jaga-jaga, siapa tahu dia ngerayu kamu, hahaa..”
“Gk..gk..gk..gkkkk” tawaku tertahan dengan kepalan tangan menutupi mulut. Itulah hebatnya Nunik, sekalipun masalah besar menghadang, tak pernah menganggapnya berat.
**


[1]Malaikat yang bertugas mencatat segala amal baik manusia.
[2] Delman atau kereta kuda.
[3] Sejenis panci untuk menanak nasi.
[4] Sudah masak airnya?
[5] Mau ditinggal pergi ya sayang,
[6] Dua orang perempuan, satu orang lakil-aki.

No comments:

Post a Comment