RIRINKU SAYANG, RIRINKU MALANG!



Atas keinginannya, Ririn mengundurkan diri dari pabrik. Tak dapat dibendung lagi. Ketika ada lowongan di perusahaan lain, dia langsung melamar−−alhamdulillah diterima. Bekerja dalam tekanan memang bukan hal yang baik, selain mengganggu kinerja, bisa mengakibatkan depresi pada si pekerja.
Itu yang dialami Ririn dalam kurun satu tahun. Keluh kesahnya membuatku cemas. Sesekali dia sering mengucapkan kata-kata pesimistis. Bahkan pernah suatu hari dia mengatakan niatnya padaku−−hendak mengakhiri hidup. Mengerikan! 
Pulang kerja aku langsung membongkar keranjang cucian, ada dua setel seragam dan beberapa potong baju yang kotor. Ririn masih dengan seragamnya, rebahan di kasur lantai. Wajahnya memancarkan aroma yang tak menyenangkan. Aku menghirup kegamangan mendalam. Sebagai teman, sering aku mengingatkannya. Berkali-kali aku melihatnya asyik menerawang jauh, omonganku tak digubris.
“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini sering masang tampang kucem seperti itu, ada yang kamu sembunyikan dariku?” aku berusaha menyelidik.

“Nggak ada apa-apa” jawabnya dengan nada tinggi.
“Nggak ada apa-apa tapi kok gitu, kayak yang marah sama aku. Apa aku punya salah? Maaf deh kalau aku salah, tapi kamu jangan diamin aku seperti ini dong. Sumpah, nggak enak kalau suasananya kayak gini terus. Mending ngomong saja kalau ada unek-unek mah!”
“Siapa yang marah, itu mah perasaanmu saja! Lagian ngapain aku marah sama kamu.”
“Terus kenapa?, cerita dong! Kalau ada masalah tuh jangan dipendam sendirian.”
“Percuma!, kamu juga nggak bisa bantu.”
“Masalah kerjaan?”
Ririn tak menjawab.
”Sudahlah Rin, nggak usah kamu bawa-bawa masalah kerjaan ke kontrakan! Di sini tuh tempat untuk isrtirahat−−melepas penat!”
“Jangan sok tahu kamu!” hardiknya.
“Maaf... Rin! Tanpa sengaja, dua hari yang lalu aku menguping pembicaraan kamu dan temanmu. Dari sana aku langsung menyimpulkan kalau kamu sedang depresi berat karena kerjaan. Lagian, ngapain coba kemarin kamu ngomong nggak jelas. Ingin bunuh diri segala. Pasti semua itu gara-gara masalah kerjaan kan?”
“Kamu sih nggak pernah ngerasain tiap hari ditekan terus sama mandor. Ditanyain dapat terget apa tidak. Jujur, nggak kuat kalau kayak gini terus rasanya pingin mati saja.”
“Husss.... kok kamu malah bicara ngelantur lagi, seperti nggak punya iman saja. Siapa bilang kerjaanku enak, sama saja! Semua orang juga punya masalah.. tapi aku nggak terus-terus memikirkannya. Apalagi sampai mikir sejauh itu, amit-amit deh!”
“Ah.. sudahlah.. kamu nggak usah ikut campur, lagian tadi aku cuma bercanda. Begitu saja dianggap serius.”
“Lah kok gitu? Aku peduli sama kamu! Tiap hari aku lihat tampang kamu kusut terus.”
“Makasih atas kepedulian kamu, tapi saat ini aku hanya ingin sendiri!”
“Ya sudahlah.. maaf kalau aku ganggu kamu. Mending nyuci saja, daripada ngomong tapi nggak dianggap”
Ia tak menjawab lagi, mukanya masih cemberut. Aku keluar meninggalkannya. Masih mengenakan seragam dengan handuk sebagai rok. kutenteng ember berisikan baju kotor, satunya lagi membawa kerajang kecil tempat sabun mandi dan gayung. Di balkon, tepatnya di atas tangga. Mas Dito, mas Aming dan mas Nano tengah duduk santai. Aku menghampiri mereka dan menuruni anak tangga.
“Chie, sekalian tuh dikamarku banyak banget!”
Wani piro?[1]” jawabku berlaga pintar bahasa Jawa.
“Dibayar pakai Cap hatur nuhun saja[2]
“Enak saja, hari gini nggak ada yang gratis mas! Pengen buang hajat saja mesti bayar” jawabku sambil terus menuruni anak tangga.
“Ya.. kan amal” mas Dito berteriak.
“Heuu..” aku menyeringai, kuangkat hidung dan bibir atasku. Mereka bertiga tertawa.
Tak banyak orang mengantri, hanya ada teh Lilis sedang mencuci dan mbak Iin menggerek tali timba.
“Nih!” mbak Iin memberikan seutas tali timba padaku.
Aku menggerek dua ember saja, karena embernya berukuran besar. Langsung mencuci baju. Beres mencuci aku menggerek lagi, memasukan air ke bak penampungan untuk kemudian disaring lagi di dalam kamar mandi. Tak ada apa-apa yang di jumpai di dalamnya, untuk sekedar mandi pun semua penghuni harus punya ember, gayung dan kain penyaring masing-masing minimal satu kamar punya.
**
Kubuka pintu kamar, ternyata Ririn masih dengan posisi yang sama. Tak beringsut sedikit pun. Mungkinkah ketiduran?!, perlahan aku melangkah−−mendekati, tampak bulir-bulir bening membasahi pipinya.
“Aku tak mengerti seberat apa masalahmu, tapi jangan kau siksa dirimu seperti ini Rin!” batinku lirih tak kuasa melihatnya seperti ini. Ingin rasanya memeluk dia hanya sekedar memberi dukungan. “Harus dengan cara apa aku membantumu Rin, agar kamu bisa lepas dari semua penderitaan ini. Sudah lama aku tak melihat keceriaanmu, aku rindu dirimu yang dulu!” lanjutku dalam hati.
Dari luar terdengar Mirna memanggil, mengagetkaku. Dia datang bersama teh Yeti, aku segera bangkit mendekat ke arah pintu.
“Chie... Rin... lagi pada ngapain?” Mirna berdiri di pintu masuk, merentangkan kedua tangannya di kusen.
“Baru beres mandi!” jawabku, sementara Ririn menjawab asal sambil berbalik merubah posisi.
“Hey.. Mir!”
“Yeee... nih anak jorok banget dari tadi masih pakai seragam, mandi sana gih!” teh Yeti menegur Ririn.
“He eh.. Ririn teh kenapa udah beberapa hari ini nggak keluar-keluar, pulang kerja langsung ningkreb[3]Mirna juga penasaran.
Ririn bangkit dengan penampilan kusut, rambutnya acak-acakan.
“Nggak apa-apa kok!” mencoba tersenyum tapi ekspresinya hambar, tak bisa ditutupi.
“Pasti da kamu mah mikirin kerjaan terus ya? Nih dengerin.. di mana-mana masalah mah pasti ada, begitu juga di kerjaan. Tapi aku mah nggak pernah bawa-bawa masalah kerjaan ke kontrakan, pusing tahu! Udah di kerjaan cape, eh... datang ke kontrakan otak malah dipake mikir terus, kapan mau istirahatnya? rieut  atuh mun hirup kudu kitu bae mah![4]” teh Yeti menasehati.
“Tetap saja kepikiran teh!” jawabnya lirih dengan senyuman yang hambar.
“Makanya jangan menyendiri terus dong, gabung sama yang lainnya! Sahenteuna hate ge jadi kabangbrangkeun, sok kaditu ayeuna mah geura mandi heula meungpeung henteu ngantri di caina![5]
Ririn pun pamit, dia berlalu ke kamar mandi. Kami saling berpandangan dan tersenyum. Aku berharap segera ada perubahan padanya.
Kini aku tak melihat lagi wajah murungnya, seminggu ini dia sibuk ngurus lamaran ke perusahaan lain yang masih di kawasan Bandung juga, tapi beda daerah. Hingga akhirnya positif diterima kerja di sana, Ririn bergegas ke pabrik untuk mengajukan pengunduran diri. Melihatnya antusias mengemasi barang-barang membuatku sedih, aku akan kehilangan dia. Mungkin itu lebih baik buatnya. Sekalipun aku sahabat dekatnya, aku tak berhak mengungkung kehendaknya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
-Selamat Jalan Sahabatku!-
**


[1] Berani bayar berapa?
[2]Terimakasih saja.
[3]Mengurung diri
[4] Pusing kalau hidup begitu terus.
[5]Setidaknya hati juga terhibur, ayo cepat sekarang mandi dulu selagi tidak mengantri di kamar mandinya.

No comments:

Post a Comment