JEMBATAN BERTUAH



Jika shift siang tiba, ini menjadi momok menakutkan buat para penghuni kontrakan pak haji Bubun, termasuk aku. Beribu alasan terlontar. Maklum letak kontrakan kami sedikit terisolir dari keramaian; di bawah jembatan. Tapi di antara kisaran harga yang sama, tempat ini jauh lebih baik; tidak pengap−−ada ruang gerak. Alangkah sayangnya tak ada jalan alternatif.
Suatu malam, saat kerja siang. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat. Aku kalang-kabut, produksiku masih kurang beberapa picis. Dari sekian banyak mesin yang jalan, cuma satu mesin punyaku saja yang memproduksi jenis kaos-kaki itu.
Niat mengurangi produksi ke QC dan kepala regu sudah bukan waktunya. Dititipkan sama overshift juga tak mungkin, terlalu banyak yang kurang. Mana mau mereka! Terpaksa hingga overshift-an aku masih berjaga, sementara operator lainnya sudah meninggalkan areal. Hanya ditunggu kepala regu dan asisten saja.
Semua terjadi gara-gara mbak Murni yang selalu menyuruhku nambah produksi. Aku sendiri pun ikut andil atas apa yang menimpaku ini. Ketidaktegasanku dalam bersikap dan memperhitungkan segalanya, menjadi buah simalakama.
 HP-ku berdering lagi, satu pesan diterima. Kulihat masih dari orang yang sama, Mirna. Aku pun menyempatkan membalasnya.
Pekerjaan usai, segera aku meluncur ke gerbang. Tak ada lagi orang di sekitar pos penjagaan selain dua orang keamanan. Begitu keluar gerbang, aku sedikit lega, masih ada tiga orang buruh yang nampak. Ririn, Mirna dan Herti terlihat jemu menungguku. Melihatnya, aku merasa tak enak hati, buru-buru menghampiri mereka.
“Aduh sorry ya.. aku telat!” nafasku kembang-kempis gara-gara lari maraton. Sambil berjalan ketiga temanku ngoceh.
“Busyett.. si euceu[1]lama amat sih, kita bertiga udah nyampe karatan nih!” dengan senyum kesal Mirna berkomentar.
“He eh, kenapa sih? nggak biasanya kamu telat gitu” Ririn yang pendiam tak bisa menutupi kesalnya
“Iya kan maaf, gak disengaja. Tadi produksiku kurang banyak, otomatis ya harus ditungguin.”
“Emang nggak dititipin sama overshift?” tanya Herti yang juga sama dengan aku dan Ririn kerja di deparatement kaos-kaki, tapi dia ditempatkan di bagian packing. Diantara kami berempat hanya Mirna saja yang ditempatkan di WJL[2] salah satu bagian dari departement Weaving (tenun), itu karena posturnya tinggi sekitar 162cm beda dengan aku dan Ririn masing-masing 156 dan 152cm. Sementara Herti lumayan tinggi, hampir sama dengan Mirna sekitar 160cm.
“Mana mungkin mau-lah, mending kurangnya cuma satu-dua picis, ini banyak mesinnya juga cuma jalan satu.”
“Kurang berapa?” Herti bertanya.
“Delapan picis”
“Mati...!”
Sepanjang jalan kami bercanda. Tak dapat menahan kelekar, hingga tak terasa sampai di jembatan yang sering dijuluki sebagai jembatan cinta. Hemm.. aku tak mengerti kenapa orang-orang menjulukinya seperti itu! Padahal pemandangannya jauh sekali dengan jembatan Pont de arts[3] yang pernah kulihat di televisi. Tak ada tulisan mozaik tentang cinta yang pernah terukir di sana. Gembok-gembok yang disimbolkan sebagai pengikat cinta tak satupun terpasang sepanjang jembatan. Jauh dari kesan romantis, lebih tepatnya keramat.
Mitos menyebutkan; pada zaman dulu banyak orang yang mengakiri hidupnya di tempat ini. Arwahnya gentayangan. Motifnya beragam, ada yang tak kuat menanggung aib setelah berbulan-bulan perutnya kedapatan buncit sebagai akumulasi dari hubungan terlarang, ada juga yang tak kuat menahan penderitaan karena himpitan beban ekonomi.
Jerat hutang piutang yang semakin lama berubah menjadi pusaran dan sangat sulit untuk melepaskannya adalah sebagian kecil dari serentetan peristiwa di masa lampau dan menjadi potret buram lemahnya iman seseorang.
Pernyataan lain yang sering kudengar adalah; banyaknya pasangan muda-mudi yang melewatkan malam mereka di sini hanya untuk sekedar bercengkrama. Apalagi di saat malam minggu. Mungkin karena itulah kebanyakan orang menyebutnya jembatan cinta. Seiring berjalannya waktu, pemandangan itu tak pernah kusaksikan. Yang ada hanya aura mencekam. Mungkin karena akhir-akhir ini sering ada razia polisi. Sekali lagi, itu hanya sekedar mitos yang belum jelas keabsahannya.
Kami tertawa terpingkal-pingkal manakala Herti bercerita tentang hal menggelitik. Kami berjalan berjejer menyamping, posisiku paling pinggir, dekat ke jalan raya.
Di saat inilah, ada sebuah motor melaju dengan kecepatan yang sangat lambat, seperti hendak berhenti. Kami tak menaruh curiga sedikit pun pada si pengemudi. Semakin dekat−−secepat angin melesat, tangan kiri laki-laki paruh baya itu hendak menerjang bagian dadaku. Gerakan tanganku rafleks menangkisnya, hanya mengenai pangkal lengan saja. Aku tersentak−−gemetar−−murka−−merasa nista, semua rasa berkecamuk dalam dada.
“Monyyetttttt.....!” aku berteriak garang, nafasku naik-turun. Tak tahu kerasukan roh apa sehingga diriku bisa sedurjana itu dan mengucapkan kata yang sangat kasar. Tak henti-hentinya sesumbar menyumpahi si laknat.
”Memang dasar kelakuannya tak ubah binatang ternista sekalipun, semoga saja di jalanan sana kudapati dirimu kecelakaan dilindas kontener” berusaha mengatur nafas aku di buat ketakutan, ketika laki-laki itu dengan seketika menghentikan roda duanya dan menoleh padaku. Untung saja dia tidak menghampiriku, malah berlalu.
Sejak kejadian itu, aku jadi lebih waspada. Tanganku tak pernah kosong, selalu mengepal sebongkah batu dan tak akan melepaskannya hingga sukses melewati jembatan. Bahkan Mirna selalu membawa gunting hanya sekedar berjaga-jaga.
Parahnya, trauma yang nyaris mendekati phobia menerpa semua penghuni perempuan. Terpikir olehku untuk pindah kontrakan namun urung juga. Dalam setiap canda, kami tak pernah lagi berjalan menyamping, tak ada yang mengingikan posisi paling pinggir dan tak seorang pun yang mau mengalah. Hingga akhirnya semua berbaris ke belakang. Itu dirasa lebih adil, meski sesekali siapa pun yang paling belakang, selalu berusaha merangsak ke tengah barisan. Kejadian serupa pernah dialami mbak Nani dan Yani teman satu kontrakan. Memang jembatan ini sangat menakutkan, bukan soal mitos arwah gentayangan yang berkembang di masyarakat tapi fakta yang kami alami.
**
Minggu malam, setelah lima bulan berlalu. Aku ditinggal teman-teman. Mereka mengira, aku pulang duluan. Aku terpaksa memberanikan diri, berjalan tergesa dalam heningnya malam. Melewati onggokan sampah berbau busuk di bibir jalan menuju jembatan. Rasa sakit dan kaku di telapak kaki tak menyurutkan langkah. Memasuki jembatan hatiku tak karuan, degup jantung berpacu kencang. Kucoba mengatur nafas dan menenangkan diri tapi sia-sia. Batinku menelisik “Ada apa ini, mungkinkah firasat buruk?”
Hampir di ujung jembatan, ada keraguan untuk terus menyusuri jalan raya. Terpikir olehku untuk memotong ke arah kanan jembatan, menyusuri jalan setapak. Tapi sangat gelap sekali. Belum sempat melangkah ke sana, jarak tiga meter dari hadapanku, ada lima buah motor ugal-ugalan. Bising  sekali, mereka dengan sengaja menjalankan motor seenaknya, sehingga deru mesin terdengar begitu garang. Nampaknya para begundal kecil sedang berulah. Masih sangat muda, sekitar enam belas tahunan. Terbahak-bahak, mengurangi kecepatan dan menghadang jalanku seraya berkata “Teh hayu.. mau ikut nggak? hahaha...”
“Haahhahaaa..” lainnya ikutan tertawa lepas.
Broam... broam... broam... broammmmm....
Broam... broam... broammmm........
Aku marah, merasa dipermainkan oleh begundal kecil. Ingin rasanya aku mendamprat mereka, urung kulakukan. Logikaku masih bisa bepikir. Aku berusaha sopan menjawab, meski terasa sangat dipaksakan.
“Tidak terimakasih..” jawabku kaku penuh ketakutan.
“Ah si teteh... hahahaaaa”
Hayu[4]teh, ahahaha...”
Rupanya begundal itu masih tidak bisa menghargaiku. Salah satu dari mereka ada yang menjulurkan tangannya, hendak menarik lenganku. Segera aku mengayunkan tanganku, menjauhkan dari jangkauan mereka.
Kali ini, aku tak membawa batu ataupun gunting seperti yang biasa Mirna lakukan. Dengan ketakutan yang luar biasa, benakku masih bisa berpikir. Jika aku terus menyusuri jalan raya, otomatis para begundal tengik ini akan mengikutiku. Tak ada pilihan, aku beraksi bak bajing loncat, melesat ke arah kanan; menerjang pembatas−−menerobos jalan setapak. Berlari dalam kegelapan, menuruni anak tangga. Tak tanggung, dengan tersuruk-suruk; sekali melangkah, dua−−tiga anak tangga aku lewati.
Terdengar pekik kuda dari balik istal, tidak serta merta membuatku gentar. Hingga lompatan terakhir, empat anak tangga sekaligus. Sampailah di pemukiman penduduk. Tubuhku lemas, seolah ada dislokasi pada sendi engsel lututku. Rehat sejenak, membungkuk. Dengan gemetaran kupijat kedua tempurung lututku. Aku mendesah panjang.
Rasa bahagia, sedih dan kecewa menyeruak dalam dada. Bahagia karena lepas dari kejaran begundal kecil. Sedih, tiap kali membayangkan betapa besarnya rintangan yang harus kuhadapi demi sebuah penghidupan. Aku sempat berpikir; apakah di mata mereka, kami (para buruh) sebegitu hinanya jika keluyuran tengah malam, hingga mereka berbuat tak senonoh. Padahal dengan seragam yang kami kenakan, sudah jelas mereka tahu kalau kami orang baik-baik yang setiap hari kerja keras membanting tulang. Sayang, mereka (para begundal) tak pernah menghargai itu.
**
Pernah suatu malam di saat aku dan teman-teman hendak masuk kerja, dengan mata telanjang, aku menyaksikan pemandangan yang tak lazim. Persis di depan gerbang masuk, seorang gadis berjilbab dijamah bagian belakangnya oleh seorang pemuda yang boncengan dalam motor. Sayangnya, dua keamanan pabrik tak melihat itu, terhalang oleh para buruh yang lalu lalang.
Tak kuasa menahan marah, gadis itu pun menangis tersedan. Aku dapat merasakan betapa gadis itu  merasa sangat terhina. Aku benar-benar marah, “Gila, gadis berjilbab saja mereka berani ganggu. seperti inikah mental para pemuda di jaman sekarang?”
Dirasa sedikit membaik, aku bangkit. Sambil berjalan−−mengelap keringat yang bercucuran. Mirna menyambutku dengan permintaan maafnya. Aku kecewa, tapi dapat memakluminya. Tak selamanya pula aku menggantungkan hidup pada orang lain. Mandiri. Ya... memang benar, aku harus mengatasi apa pun sendiri.
Ketika kemarahan menguasai diri, pemerintah setempat jadi objek pelampiasanku. Aku memaki pemerintah. Jembatan itu dibiarakan gelap-gulita tanpa penerangan sedikit pun. Andai saja pemerintah sedikit konsen akan hal kecil seperti ini, mungkin tingkat kejahatan di jembatan akan sedikit berkurang dan para warga khususnya perempuan, tak takut lagi jika berjalan saat tengah malam. Bukankah sebuah tindakan akan terjadi apabila ada peluang? Ahh.. sudahlah! Semua kembali pada diri masing-masing. Sekalipun jembatan itu diberi penerangan, toh tindakan pelecehan, tidak serta-merta berhenti begitu saja. 
**


[1] Kakak perempuan, teteh  (bahasa sunda)
[2] Water jetloom; mesin tenun yang menggunakan tenaga air sebagai penggeraknya.
[3] Jembatan cinta yang ada di Paris.
[4] Ayo.

No comments:

Post a Comment