NOMADEN


Keputusanku mengundurkan diri bukanlah hal yang tidak dipertimbangkan terlebih dahulu. Masak-masak kurenungkan ini dari tiga bulan yang lalu. Tubuhku yang pesakitan, menjadi alasan utama. Mungkin aku tak cocok kerja tiga shift, pembagian waktunya terasa mengganggu porsi tidurku. Tiap hari, aku terserang insomnia, tiap hari pula aku merasakan tubuhku tak menentu. Parahnya sleep paralysis pun nyaris tiap hari menimpa, bahkan sehari bisa beberapa kali. Membuatku overdosis.
Hari itu juga segala urusan administrasiku selesai. Aku sama sekali tak berpamitan pada orang-orang di lapangan. Kukemasi barang-barangku, Ririn mengantar kepergianku hingga agen bis. Dia terlihat sedih dan kecewa. Dipikir-pikir, aku seperti berada di posisi Ririn setahun yang lalu, penuh keputus asa-an.
“Rencanamu selanjutnya bagaimana?”

“Pastinya pulang dulu, mengurus syarat-syarat lagi.”
“Nantinya mau balik lagi ke Bandung nggak?”
“Ke mana saja. Yang penting, untuk sementara, kalau boleh sih selamanya aku harus dapat kerjaan yang nonshift. Dua shift juga nggak apa-apa. Paling tidak, aku bisa tidur malam walau hanya beberapa jam saja.”
“Hati-hati di jalan ya, jangan terlalu banyak pikiran!”
Aku tidak terlalu sedih, sebab masih banyak kesempatan untuk bertemu Ririn lagi.
**
Kehidupanku selanjutnya tak menentu. Berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Aku yang kala itu mencoba peruntungan baru, bekerja sebagai pramuniaga di salah satu toserba yang cukup terkenal di kota Cianjur. Hanya berlangsung kurang dari sebulan. Pendapatanku tak mencukupi, masih di bawah UMR. Malah besar pasak daripada tiang. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan hidup. Temanku saja yang sudah senior dengan pendapatan yang lebih tinggi masih sering gali lobang tutup lobang, aku tak mau merepotkannya.
Aku benci dengan kata menganggur, karena kata itu serasa membuatku menjadi manusia yang telah gagal. Namun, lagi-lagi aku terjebak ke dalam kondisi yang tak kuinginkan itu. Selama menganggur di kampung−−kabar teranyar kudengar−−mas Dito merantau jauh, tak tanggung ke negeri Gingseng. Sebelumnya dia sempat menghubungiku dan berpamitan. Satu persatu sahabat baikku meninggalkan aku. Raga boleh saja tercerai-berai, tapi jiwa masih setia dengan persahabatan yang dibina.
Seperti ada medan magnet, kembali aku merantau ke Bandung. Bisa jadi karena tak ada pilihan lain. Tinggal di kontrakan yang sama. Saat ini aku hanya sendiri. Bekas kamarku dan Yani sudah ada yang mengisi. Aku menempati bekas kamar mas Dito, jajaran depan paling ujung, langsung menghadap ke pekarangan dan kamar mandi. Herti masih menempati kamar yang sama. Sekarang dia masih menyelesaikan kursus menjahitnya setelah beberapa bulan lalu melangsungkan pernikahan dengan mas Nano. Begitu juga Mirna tak pernah berpindah.
Tak lama, aku diterima di perusahaan tekstil, lagi-lagi bagian mesin tenun. Dayanya bersumber dari air. Mesinnya pun masih sangat konvensional. Langit masih gelap, aku sudah harus berada di tempat kerja. Untung saja lokasinya tak jauh dari kontrakan, jalan kaki saja hanya seperempat jam. Tempatnya teramat jorok. Majun-majun terhampar di sepanjang jalan lokasi pabrik. Belum lagi WC yang sudah berkerak dan bau. Onggokan sampah bungkus nasi menggunung di mulut kantin yang terbuka. Hanya beratapkan asbes dan berdinding pagar saja.
Sungguh pemandangan yang tak menarik−−jika jam makan tiba−−anjing-anjing penjaga siap menunggu sisa makanan di bukit sampah tadi. Ada juga yang keluyuran ke dalam kantin membuat penghuni kantin tak tenang saja, sampai-sampai kami harus mengangkat kedua kaki ke atas kursi.
“Sialan, si Doggy pakai acara masuk ke dalam. Huss.. husss sana pergi!” gerutu Imelda yeni teman baruku dengan mengangkat kedua kakinya.
“Kamu dari tadi makannya nggak habis-habis?”
“Kan aku bawa dua bungkus teh!” katanya sambil nyengir.
“Busyet.. nggak salah? Perut apa karet tuh? Awal lho nanti jatah orang kurang!”
“Laper teh, lagian nggak dua-duanya dimakan aku semua, tuh barengan si tuyul Nela!”
“Apa? bilang tuyul segala. Tenang teh, masih banyak jatahnya kok!” sahut Nela.
Selama masa training, aku hanya dibayar sepuluh ribu sehari ditambah jatah makan sekali. Lagi-lagi tubuhku tak kuat melawan angin malam, hingga di sela-sela kerja siang, aku mencoba peruntungan lain. Melamar ke sana kemari. Ada sebuah garment yang lokasinya cukup jauh, daerah Maleber, menerimaku sebagai karyawan barunya.
**
Hari itu juga aku langsung ke lapangan. Bukannya senang, aku malah kebingungan. Mataku lekat memandangi jam dinding. Aku panik, bagaimana pun statusku masih menjadi karyawan di perusahaan tekstil itu. Usai jam istirahat, kepanikanku bertambah. Terlebih jam menunjukkan pukul setengah dua. Harusnya sekarang aku ada di sana untuk bekerja. Hingga jam pulang otakku mandet, tak menemukan jalan keluar.
Mirna menyambutku dan bertanya “Dari mana? Bukannya sekarang kamu kerja siang?”
“Aku tadi melamar ke perusahaan garment, terus diterima dan langsung kerja. Sekarang aku jadi bingung, kalau aku keluar dari pabrik tekstil, alasannya apa? nggak mungkin dong kalau aku bilang sudah kerja di tempat lain?!”
“Kamu sih suka macam-macam. Tapi kalau keluar dulu juga belum tentu diterima ya? Sudah, alasannya sakit saja. Jangan langsung keluar hari ini, pasti personalianya tak percaya. Sekarang, kamu kirim surat dokter saja, selama tiga-empat hari jangan masuk!” usulnya padaku.
“Tapi kan aku nggak sakit sama sekali?”
“Ya pura-pura saja atuh!”
Anjuran Mirna kuturuti. Aku diantarnya ke polyklinik tak jauh dari kontrakan. Aku pasrah saat dokter memeriksa kondisiku. Tubuhku berkeringat dingin, takut kebohonganku terbongkar. Aku berusaha memasang tampang tak berdaya. Kusebutkan gejala-gejala yang terasa, seolah aku benar-benar sakit dan membutuhkan istirahat.
Dokter itu tak banyak bicara,  dia mengabulkan keinginanku.
“Tidak terlalu parah, hanya kecapek-an saja. Paling kamu istirahat dua hari saja. Itu lebih dari cukup.”
“Dok, ijinnya dimulai hari ini ya!”
“Oh.. sekarang sama besok?” aku mengangguk. “Nih obatnya, jangan lupa diminum. Lekas sembuh ya!”
“Makasih dok!”
Aku dan Mirna menuju ke pabrik. Kutitipkan surat dokternya pada seorang keamanan. Kami pun berlalu pergi.
“Hah.. semoga saja aku tak sakit beneran!”
“Amit-amit, jangan sampai atuh!” Ujar Mirna.
**

No comments:

Post a Comment