Satu bulan berlalu, Ririn mengajakku pindah kontrakan. Tempatnya tidak lebih baik dibanding kontrakan sebelumnya. Lahannya cukup luas. Ada tiga puluh petak kamar berukuran tak sama, disusun dua tingkat.
Begitu masuk gerbang, nampak pemandangan semrawut. Mulai dari penempatan kamar mandi yang tak sesuai; berada pas pintu gerbang sebelah kiri, dengan sanitasi yang tidak baik. Berjejer tali rapia, terbentang sepanjang kontrakan. Dipenuhi dengan gantungan jemuran.
Pasar gantung!, itu terlontar dari mulut iparku, pada suatu kesempatan dia dan sepupuku sowan ke tempat baruku ini. Belum lagi air mandi yang kami gunakan berpasir. Sementara di WC belakang airnya kuning, seperti air comberan, sedikit berbau. Di sini, aku dan Ririn bisa bekumpul dengan orang-orang sedaerah. Kebanyakan orang Banjar tinggal di daerah sini, mungkin karena harga sewa kontrakan di sini lebih murah jika dibandingkan tempat lainnya.
Kami menempati kamar atas bagian belakang. Dijumpai juga banyak orang Jawa dan Madura. Pada umumnya sama dengan kami, bekerja sebagai buruh pabrik. Adapun orang Madura (laki-laki), kebanyakan di antara mereka berpofesi sebagai tukang pasang gigi. Kita dapat menjumpai papan nama dengan tulisan “AHLI PASANG GIGI” lengkap dengan karikatur gigi sehatnya, hampir di sepanjang jalan seantero kota Cimahi.
Sebagai permulaan, kami belum mempunyai apa-apa. Kami belum punya cukup banyak uang untuk membeli perlengkapan. Uang yang ada kami gunakan untuk membayar sewa kontrakan. Selebihnya untuk keperluan sehari-hari. Di kamar, hanya dijumpai sebuah lemari parasut kecil bergambar bunga-bunga milik Ririn. Jika diisi baju yang banyak otomatis kemiringan lemari berubah 45 derajat. Oleh karena itu, aku tak berani menyimpan bajuku didalamnya, cukup di keranjang saja. Botol-botol air mineral berjejer. Baju seragam tergantung di paku-paku yang tertancap di dinding berwarna kusam.
Apabila malam tiba, kami tidur terkapar−−bahkan berguling-guling di lantai. Berjuang melawan dinginnya malam. Hanya beralaskan karpet plastik, tanpa kasur dan sebuah bantal yang mengharuskan kami berdua berbagi. Ditambah lagi dengan lampu yang sering mati akibat korsletingmembuat malam-malam kami terasa amat tersiksa. Sesekali, Mirna pun menemaniku tidur dan membagi selimutnya denganku, jika Ririn sedang kerja malam. Untunglah ini berlangsung tak lebih dari dua minggu. Teh Lani datang menjadi dewi penolong kami. Dia membawakan kasur dan selimut, meski bukan baru tapi itu membuat kami senang.
Di tempat inilah banyak kisah terkenang. Tentang sahabat-sahabatku. Bagiku, tak susah untuk berkenalan dan menjadi akrab dengan mereka. Di sini semua penghuni kontrakan, saling kompak satu sama lainnya. Apalagi para muda-mudi. Terbukti jika hari minggu tiba, para suami dan jejaka membaur bermain voli bersama, walau dengan peralatan seadanya.
Bola plastik milik si Bayu, anak dari salah satu penghuni didonasikan. Jaring yang terbuat dari anyaman tali rapia, diikat pada sebuah pohon Belimbing, disambungkan ke besi penyangga tangga di kontrakan. Jadilah permainan yang menarik. Riuh teriakan suporter yang sebagian besar penghuni di sini, membakar semangat para pemain yang bertelanjang dada. Pertandingan usai. Pemenang mendapat hadiah teh botol Sosro sedangkan yang kalah dihukum membayar jatah para pemenang.
**
Minggu pagi pukul lima lewat limabelas menit, aku dan Ririn sudah siap dengan kostum olahraga. Celana kolor, lengkap dengan sepatu kets, rambut dikuncir satu. Bergegas kearah anak-anak lainnya yang sedang berkumpul, duduk di kursi antara persimpangan gang menuju arah tempat jemuran dan kamar Mirna. Mirna, mas Dito, mas Aming, mas Dendi dan mas Nano tengah duduk santai di kursi kayu bersenda gurau. Tampak pula dari lorong yang bersebrangan Yani, Herti dan Nita menuju ke arah yang sama.
“Buruan dong udah siang nih!” protes mas Dito.
“Iya, harusnya para cewek bangun lebih awal” sergah mas Nano dengan logat jawa yang kental.
“Maklum dong mas, sekarang kan hari libur jadi pengennya sih lebih santai, lagian kita juga belum telat-telat amat, tuh yang lainnya juga udah pada datang!” aku menimpali.
Senada denganku, Herti dan dua teman lainnya yang baru saja datang tak mau kalah “Iya mas Dito dan mas Nano kok gak sabaran amat sih.”
Mirna berusaha menenangkan perselisihan di antara kami, “Ngapain pada ribut, semuanya kan sudah kumpul, kita berangkat sekarang saja!”
Berhamburan keluar gerbang, meninggalkan hunian. Kami berlari menerobos ke bawah jembatan. Menyusuri jalan tol. Dijumpai banyak orang sepanjang jalan, namun aku mendapati mereka berlari berlawanan. Memutar balik. Apa gerangan yang terjadi?
Mas Dendi dan mas Aming yang tampak di garda depan seketika menghentikan langkah. Sebelumnya, mereka terlibat perbincangan dengan orang-orang di sepanjang jalan.
“Woyy.. teman-teman stop di sini, kita putar balik. Lewat kompleks saja larinya! Di depan ada mobil patroli” suara mas Dendi engos-engosan, masih capek.
Semua menghentikan langkah dan beristirahat sejenak.
“Akh.. biasanya juga nggak apa-apa kok mas!” dengan nada penasaran Herti si gadis pendiam dari Panjalu berkomentar. Rambutnya lurus sepundak di kuncir alakadarnya.
“Iya tapi aturannya lain. Sekarang lagi razia, di sana banyak polisi. Coba aja kalian lihat orang-orang itu pada berbalik arah!” mas Dendi meyakinkan kami.
Sekonyong-konyongnya kami langsung berlari kencang memutar haluan. Menuju tempat semula.
“Masih ada jalan lain kok, kita cari aman saja. Tujuan kita kan olahraga, jauh sedikit tak apa! Nanti kita naik ke jembatan lagi tapi langsung ke arah kiri, ke pemukiman penduduk.” mas Dito berlagak sok bijak.
“Huuufhh... jadi dobel dong jaraknya?” keluh Yani menghentikan langkah dan mengambil nafas.
“Nggak usah banyak omong deh, siapa tau ntar kamu jadi kurusan dikit hehe..” mas Aming yang pemalu pun menggoda Yani.
Hahahaha...
Gkgkgkggkgkgkgk..
Heuheuheu..
Semua terbahak, geli melihat roman muka Yani yang langsung ranum seketika. Dia selalu menjadi bahan olokan teman-teman, karena sifatnya yang manja dan terkadang menyebalkan. Tubuhnya big sizes−−nggak beraturan. Mirip gajah bengkak. Bola matanya sipit seperti orang mongol. Bukan karena dia WNI keturunan, melainkan himpitan daging di sekitar bola matanya.
Menembus gang sempit, antara pabrik dan pemukiman. Parit-parit kecil dengan air comberan hitam pekat, menghiasi sepanjang gang pemukiman kumuh. Keluar dari gang, langsung tembus ke jalan raya menuju pusat keramaian. Tempatnya di sekitar kompleks yang sedikit lebih elite. Ada fasilitas olahraga juga jajanan bederet memenuhi sepanjang jalanan, mirip dengan pasar kaget.[1]Tiga kali putaran plus jarak tempuh dari kontrakan ke lokasi, dirasa cukup untuk meregangkan otot persendian yang kaku akibat rutinitas kerja.
Di tengah keramaian kami berpencar, entah menjadi berapa kelompok. Aku, Ririn, mas Dito dan Yani meluncur ke tempat orang berkerubung, ternyata yang kami dapati adalah penjual pernak-pernik dan poster, dengan gambar-gambar artis yang tengah naik daun, salah satunya Ariel Peterpan. Mungkin itu yang jadi daya tariknya.
Dari sudut kiri mataku nampak siluet misterius. Sedikit kugerakan mata menoleh kearahnya. Di saat yang bersamaan, kedua bola mataku bertabrakan dengan sorot yang begitu tajam. Laki-laki itu tersenyum kaku, kemudian memalingkan muka ke arah teman di sampingnya. Aneh sekali! Merasa risih, aku mengajak teman-teman meninggalkan tempat itu. Berjalan di antara kerumunan orang banyak−−berdesak-desakan. Kedua tanganku memegang erat pundak Yani dari belakang, Ririn mengekor melakukan aksi serupa. Mas Dito mengawal kami dari belakang.
Tiba-tiba, dari arah horizontal datang sekelompok orang memotong barikade yang kami susun; membuat jarak di antara kami. Ririn dan mas Dito tertinggal jauh di belakang. Sekilas aku menangkap wajah sosok yang ada di belakangku. Dia adalah orang yang sama, yang kujumpai di lapak pernak-pernik tadi. Gerak-geriknya mencurigakan. Batinku menelisik, “Kenapa dari tadi dia seolah-olah mengikutiku?”. Segera aku dan Yani menepi. Berada dalam kerumunan banyak orang membuat kami pengap. Sambil menunggu mas Dito dan Ririn, aku merogoh saku celana kolorku, kosong! Benda yang kucari tak ada. Sial, dalam hitungan sepersekian detik raib sudah.
“Nggak ada Yan.. nggak ada!” refleks dengan nada marah aku berteriak.
“Apanya yang nggak ada?”
“Ituuu.. anu, apa? ehm... HPku hilang Yan, barangkali masih di kamu?” aku gelagapan dan tanpa maksud menuduh, aku berharap dugaanku salah.
“Lah kok.. di a-ku segala, bukannya tadi sudah aku kasihkan sama teteh?”
“Iya juga sih.. tapi tadi aku titipin sama kamu kan?”
“Emang bener teh! Tapi tadi sudah sangat jelas kalau aku kembalikan lagi sama teteh. Kalau masih sama aku, masa aku nggak ngaku!”
“Ada apa sih ko pada ribut?” mas Dito dan Ririn menghampiriku.
“Itu mas, Handphone-nya teh Achie hilang!”
“Masa, bukannya tadi udah kamu kasihkan lagi sama Achie?”Ririn penasaran.
“Iya lah, teh Ririn juga melihatnya kan?” Ririn menganggukkan kepala.
Aku berpikir keras−−mengingat kejadian sebelum kehilangan Handphone. Gambaran laki-laki misterius itu muncul di benakku. Aneh sekali, dari tadi aku mengendus gelagat yang tidak baik dari laki-laki itu.
“Kamu ingat sesuatu?”dengan nada penasaran, mas Dito mencoba mengorek informasi.
“Iya mas, kayaknya aku curiga sama seseorang!” secepat kilat kulangkahkan kaki menuju tempat semula yang penuh dengan kerumunan orang. Aku berusaha mencari laki-laki misterius tadi. Dari jauh terlihat sosok yang kucari. Alih-alih mempercepat langkah, aku malah terjebak, susah menembus kerumunan orang. Sementara lainnya mengikuti aku dari belakang.
“Tunggu teh.. mau ke mana?” Yani berteriak, aku tak menghiraukan.
“Hey.. tunggu!” aku memekik.
Tapi sayang laki-laki itu tak acuhkan aku. Dia terus melangkah meskipun dia sempat menoleh kearahku. Kecurigaanku makin kuat, manakala aku berusaha mengejarnya, dia semakin mempercepat langkahnya hingga akhirnya dia berhasil keluar dari kerumunan orang. Aku tak mendapati jejaknya, dia seolah sirna ditelan bumi. Sementara itu, aku masih terjebak dan sulit sekali untuk mengejarnya. Aku pun berinisiatif untuk kembali menepi, menghentikan pengejaran.
“Kok balik lagi, ketemu gak orangnya?” Ririn bertanya keheranan.
“He eh gimana teh Achie, kenapa nggak diteriakin maling aja sekalian?” Yani mengompori.
“Jangan gegabah” mas Dito menenangkan.
“Sudahlah, sesuatu yang sudah hilang tak mudah untuk kembali lagi. Apalagi kalian tahu sendiri di sini banyak orang, susah untuk menemukannya. Lagian aku juga nggak tahu hilangnya dicuri orang atau terjatuh” aku pesimis.
“Tapi dipikir-pikir kalau jatuh kayaknya nggak mungkin, soalnya tadi aku gak ngelihat kamu jongkok apalagi duduk. Terus kalau dicuri... apa tadi kamu merasakan ada semacam gerakan masuk kedalam saku celanamu? Bagaimana kamu bisa mencurigai orang itu?” Ririn mencoba menganalisa masalah.
“Tadi aku tak merasakan apa pun, cuma aku melihat gelagat yang tidak baik. Dari awal aku melihatnya, dia seperti sedang memerhatikan aku. Apalagi pas tadi aku berusaha mengejarnya, dia berlalu begitu cepat. Sayang aku tak punya bukti, jadi aku tak berani meneriaki maling, takut salah!”
“Apa mungkin dia menghipnotis aku?” sambungku.
“Begini saja, daripada berprasangka mending kamu coba telpon ke nomor itu!” mas Dito memberikan pilihan.
“Bagaimana mungkin, pastilah nomornya sudah tak aktif lagi! Untuk menghilangkan jejak, orang itu pasti akan membuang nomornya” lagi-lagi aku tak yakin.
“Jangan berasumsi, lebih baik dicoba!”
“Baiklah”
Operasi pencarian dimulai. Kami bergerak mencari wartel terdekat, berusaha melacak keberadaannya. Harap-harap cemas, aku memijit tuts-tuts telepon. Dari sebrang sana terdengar suara perempuan:
“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, silahkan coba beberapa saat lagi!”
Aku masih penasaran dan tak membayangkan ini terjadi padaku. Kucoba dan kucoba lagi berulang kali, ternyata sama−−tak aktif. Hanya dijawab mesin operator. Aku kecewa, sekujur badan terasa lemas. “Benar dugaanku ternyata pencuri itu sangat pintar, dia sudah memperhitungkannya!”
“Sabar ajalah, mungkin belum rejekimu” dengan bijak mas Dito menenangkan aku. Ririn dan Yani hanya diam termenung ikut larut dalam kesedihanku.
**
No comments:
Post a Comment