Hari-hari pertama kerja, terasa menegangkan. Ini pengalaman pertamaku berhubungan dengan dunia luar selain dunia sekolah. Aku ditempatkan di bagian produksi pada departemen kaos-kaki bersama tiga belas orang lainnya. Sebagian lagi aku tak tahu persis. Mungkin di garment, finishing atau departement lainnya. Aku dan ketiga temanku menempati areal yang sama, khusus mesin produksi mekanik.
Minggu pertama hanyalah pembelajaran mengenai cara menjadi operator mesin. Mulai bagaimana cara menjalankan dan mendasarkan[1]mesin, menyusun bahan baku di mesin, menyambung benang dan memotong kaos-kaki yang masih berupa untaian panjang, hingga akhirnya belajar membalikan dan membersihkan majun[2]di kaos-kaki.
Maklum areal ini masih menggunakan mesin mekanik,[3] prosesnya lebih panjang dibanding dengan mesin komputer yang hanya mengecek dan membalikkan saja tanpa susah payah memotong terlebih dahulu. Selama beberapa hari aku dan teman baruku merasakan kebas di kaki. Terutama di bagian betis dan telapak kaki, karena pekerjaanku mengharuskan untuk berdiri. Jika tiba di kontrakan, aku langsung berbaring. Mengangkat kedua kaki dan menyenderkannya ke dinding. Katanya sih supaya peredaran darah lancar setelah berjam-jam berdiri.
“Gimana seminggu kerja di sana, capek ya?” Tina bertanya.
“Ya namanya juga kerja pasti capek lah!”
“Tapi sudah mulai betah belum?”
“Belum lah baru seminggu ini, aku juga yang hampir satu bulan belum ngerasain betah” tukas Ririn memotong.
“Iya bener tuh kata si Ririn!”
Selama dua pekan, aku dan temanku Siti Fajriana−−biasa dipanggil Fajar, disuruh belajar jaga mesin barengan. Mesin yang kami jaga berjumlah delapan. Otomatis aku dan Fajar berbagi kerjaan. Kami berdua cukup kewalahan. Apalagi berjaga sambil memotong dan membalikan kaos-kaki, belum terbiasa. Padahal, jika melihat karyawan senior mereka sudah terampil menjaga delapan. Kadang dalam satu jalur yang seharusnya dijaga empat orang, malah cuma dua orang saja yang jaga. Itu jika jam istirahat tiba. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya. Dalam satu jalur ada dua baris, depan belakang, jumlahnya rata-rata 32 mesin, ada juga yang 24 buah mesin. Di tengah-tengah diberi jarak kurang lebih tiga meteran, disediakan meja dan keranjang plastik untuk menyimpan produksi masing-masing operator.
Pabrik ini memiliki beberapa bangunan besar. Dalam gedung yang kutempati terdiri dari beberapa areal mesin dan nonmesin. Dari pintu masuk langsung mengarah ke lobi utama, berjejer loker menutupi dinding setengah ruangan yang bertuliskan nama bagian beserta shiftnya (A, B dan C). Samping kiri pintu masuk, ada ruang absensi, tampak beberapa karyawan tengah sibuk bertugas di sana. Di tengah ruangan, meja dan kursi besi disusun menjadi beberapa baris, tempat berkumpul para buruh. Ruangan ini benar-benar multifungsi. Selain sebagai lobi utama bagian kaos-kaki, bisa digunakan untuk berdo’a dan meetingsebelum masuk kerja bahkan makan pada jam istirahat.
Selepas mengganti sandal dalam, aku dan kawan-kawan menaiki anak tangga dan mendekat ke arah dua satpam perempuan, body checking.[4]Kuambil selembar kartu absensi[5]berbentuk persegi panjang yang berderet di papan absensi. kumasukan ke dalam amano,[6]pada posisi in yang pertama. Nampaklah tanggal dan waktu masuk.
| B AREAL : 4
Ket: |
Sebelum masuk, kami berkumpul lagi di lobi. Seperti biasa, seorang wanita berbaju ungu muda, datang memimpin do’a. Dialah kepala regu kami. Sontak kami menunduk dan berdo’a sesuai keyakinan masing-masing.
“Berdo’a selesai..!” kepala regu mengakhiri do’a.
Begitu seluruh karyawan akan masuk ke lapangan, bergegas sang mandor mendekati kami.
“Sebelum masuk minta perhatiannya dulu sebentar ya!...”
“Ada beberapa hal yang ingin disampaikan mengenai efisiensi kerja. Khususnya buat operator baru. Diharapkan kalau memotong kaos-kaki, jangan sampai mematikan mesin. Tunggu sampai jalan tumit,[7]baru kalian bisa potong! Kenapa saya berbicara seperti ini?, itu dikarenakan akhir-akhir ini produksi kita menurun drastis. Saya lihat operator baru, dan beberapa seniornya, tak perlulah disebutkan namanya. Selalu memotong kaos-kaki ketika mesin sedang jalan badan,[8] atau jalan karet.[9] Padahal kalian sendiri tahu itu akan mengurangi efisiensi kerja. Efektifnya, kalau pas jalan tumit, baru kalian potong. Jadi tidak ada istilah mesin mati kecuali jika ada kerusakan.”
“Coba kalian bayangkan, berapa banyak waktu yang terbuang ketika mesin sedang jalan badan, tiba-tiba kalian matikan dengan alasan kaos-kaki di tabung[10]sudah menumpuk. Makin sering mesin dimatikan, semakin banyak waktu yang terbuang otomatis produksi kalian berkurang kan? Jadi mulai sekarang saya harap kalian mulai membiasakan diri memotong saat jalan tumit, pasti tidak akan ada kaos-kaki yang menumpuk di tabung lagi. BS-lokalnya[11]juga akan terkontrol, begitu juga dengan produksi akan meningkat!” raut mukanya sedikit kesal, tapi sang mandor asal Cirebon masih keturunan Tionghoa ini tetap memaparkan.
“Gimana sudah jelas?”
Semua operator serempak menjawab “Jelas..”
“Ada yang ingin ditanyakan?” lanjutnya.
“Tidak..”
“Ya sudah meeting kali ini selesai, kalian boleh masuk ke areal!”
Kami membubarkan diri dan langsung ke lapangan, overshift.[12]Shift malam pulang giliran kami shift pagi yang kerja. Semua karyawan langsung berhamburan ke loker membawa barang masing-masing, mengenakan atribut pabrik lengkap. Ciput dan apok,[13] adalah wajib dikenakan. Sejumlah peralatan kerja, gunting kecil, bolpoin, kertas catatan dan obeng juga ada di kantong masing-masing operator. Sebagai karyawan baru, kami berkumpul dekat meja kerja mandor, menunggu aba-aba.
**
Mandor berkeliling lapangan, mengawasi jalannya mesin. Dari jauh dia melambaikan tangan memberi isyarat. Memanggil kami dan menempatkan di mesin kosong tak berpenghuni. Kepala regu 1, mbak Darsinah masih saja duduk memegangi buku produksi, melihat PDK[14](Pedoman Kerja). Sesekali dia menggerakan bolpoin dan menandai tulisan serupa anak panah melengkung, dari atas kebawah atau kebalikannya. dan menulisi GW untuk mesin yang hanya ganti warna saja. Atau RB (rombak), jika ukuran/ model yang di rubah.
Di pojokan mesin belakang, mbak Murni mengecek bahan baku yang masih ada. Mulutnya komat-kamit sejurus dengan telunjuk mengacung diayun ke kanan-kiri. Serius sekali.
Selain mandor dan kepala regu, posisinya di areal sangatlah vital, meski jabatannya hanya sebatas asisten saja. Kemudian dia berjalan kearah glove,[15]mendekati mbak Sumiati, kepala regu 2 yang sibuk berkeliling melihat bahan baku yang tidak tersedia.
Selang setengah jam, mereka berdua kembali ke areal membawa sebuah lori, kereta kencana versi pabrik tekstil. Berisi bahan baku. Menyusul di belakang, ‘a Edi seorang kurir bagian gudang benang menarik dongkrak yang ditumpangi benang satu palet,[16]tapi hanya memuat empat ½ karung benang saja. Semua operator langsung hunting bahan baku yang dibutuhkan. Saling seruduk dan berebut satu sama lain, kemudian dikumpulkan di satu tempat adalah lumrah terjadi meskipun kepala regu sudah wanti-wanti supaya mengantri. Ada juga yang melenggang begitu saja, membawa beberapa cones[17]benang. Mereka kehabisan bahan baku.
Kudapatkan tiga cones nylon 1000549, warna carcoal[18]kadang disebut juga warna anthra. Nylon warna ecru[19]tiga cones juga. Sebungkus karet berisi empat cones, carcoal juga. Lima spandek[20]black ukuran 2075, lima benang misty[21] ukuran 20s warna dark-grey dan setengah karung benang ecru ukuran 1/36 yang kode dan lot[22]-nya sudah kusamakan. Kebetulan aku jaga mesin jarum 86 (Jenis kaos-kaki thermal[23]) sementara dua lagi mesin jarum 120, untuk jenis kaos-kaki plain.[24] Benang kutata sedemikian di pinggiran mesin, mirip miniatur pyramid. Sementara benang yang hampir habis kusambung di setiap ekornya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terlihat dari bagian lain berhamburan menuju mesin amano, nampaknya jam istirahat tiba. Mbak Prapti menghapiriku.
“Chie, aku istirahat duluan ya, ntar kamu jam kedua saja. Perutku udah dangdut-an, nggak kuat laper nih!”
“Ya mbak” jawabku datar sambil terus membalikan kaos-kaki.
“Kamu mau nitip ‘ndak?”
“Nggak ah, nanti juga aku istirahatnya keluar.”
“Yo wis, titip mesine, kaos-kakinya ‘ndak usah dipotongin satu-satu. Ambilin dari tabung saja biar kamunya nggak keteter, jangan lupa sering dicek takutnya banyak Be-es!”
“Aku pergi dulu ya!” lanjutnya melangkah bersama teh Ita dan teh Nani.
Tinggalah kami berdua dalam satu jalur, aku dan kak Marli.
Suara mesin terdengar menderu sekali persis seperti suara mesin penggiling padi. Kak Marli mendekatiku dengan gaya khas-nya anak kaos-kaki; menyelempangkan untaian kaos-kaki di lehernya. Dipotongnya satu-satu kemudian diselempangkan juga di pundak kanannya.
Di depanku, ‘a Yudi tengah khusyuk merombak mesin. Dilihat dari tampangnya sih tampang alim. Tapi, sewaktu-waktu dalam diam sering beraksi; mencekik kerongkongan para operator, melumpukan, yang lebih mengerikan lagi, tak tanggung-tanggung menghunuskan bau tak sedap ke dalam rongga dada. Tak berwujud, suaranya juga lenyap ditelan gemuruh mesin. Bau tak sedap seketika menjalar di sepanjang lorong, bau busuk. Gas beracun!
“Gi, ini tumitnya belang sedikit nggak apa-apa ya?” kak Marli menunjukkan kaos-kaki yang bermasalah ke QC (Quality Control) yang sedang nyetret[25]di meja kerjaku.
“Mana, lihat!, nggak boleh atuh ini mah bukan benangnya yang belang tapi dari mesinnya. Ntar kalau aku lolosin, pasti dibalikin lagi sama anak packing”
“Minta benerin tuh sama si Yudi” pintanya sambil mengembalikan kaos-kaki yang digenggamnya. Dia langsung ke arahku “Mana obengnya? Mesin yang ini badannya kepanjangan.”
“Itu di atas mesin sampingnya.”
Aku menghela nafas, merasa malu karena belum memperbaiki ukurannya. “Iya teh, tadi habis ganti benang belum sempat diukur lagi” sambungku.
Teh Anggi pun mengambil sebuah obeng memutar baut yang berjejer tiga. Letaknya di bagian luar tapi agak tersembunyi. Dia memutar baut yang ada di tengah−−nomor dua, ke kiri setengah putaran untuk memendekan, sementara ke kanan untuk memanjangkan. Begitu juga dengan dua baut lainnya−−hampir sama, cuma yang pertama untuk ukuran karet dan yang ketiga untuk tumit. Selanjutnya dia menggerakan obeng ke rantai mesin yang terpasang pada besi bulat bergerigi, dan mendasarkannya.
“Yud, tolong benerin mesinku dulu. Tumitnya belang bae” kak Marli berujar dengan logat Sunda yang masih kaku karena dia asli Lampung.
“Belang kumaha sih, lain tadi geus dibenerkeun?”[26]mendekat ke arah kami sambil menjulurkan majun dari katong plastik transparan yang tergantung di mesin, mengelap tangannya yang belepotan oli.
“Angger keneh, tingali atuh!”[27]
“Wah.. kayaknya a yudi tadi nggak mandi dulu ya?,benerin mesinnya nggak ada yang beres!” selorohku.
“Puguh operator-na nu tara mandi mah”[28]dia berlalu ke arah mesinnya kak Marli.
Aku dan kak Marli tersenyum, seraya kak Marli berkata padaku “Kasihan si Yudi, hari ini banyak rombakan, banyak mesin yang bajred[29]mana montir yang lain juga pada sibuk gak bisa bantuin!”
Aku hanya tersenyum, mengernyitkan kedua alis.
**
Suatu hari, hampir separuh mesin mekanik tak jalan. Koko Herry (mandor di bagian kami) menjelaskan bahwa dalam jarak dua bulan kedepan orderan masih sepi. Terpaksa aku dan beberapa teman di-ekspor[30]ke bagian lain; potong corak.
Keranjang-keranjang disusun bertumpuk, seolah menjadi pembatas yang memisahkan bagian potong corak dengan areal. Di dalamnya berisi lusinan kaos-kaki yang akan atau bahkan sudah dipotong coraknya. Cara kerja di sini berbeda. Semua buruh duduk mengelilingi satu meja besar, masing-masing karyawan terfokus pada satu objek; memotong benang corak pada bagian dalam kaos-kaki. Penyangga kursi terbuat dari besi dan sebilah kayu berbentuk bundar sebagai alas, tanpa penyender. Terkadang kami juga ditugaskan mengecek, menghitung ulang, merajut, dan bahkan menembling.[31]
Pada saat shift malam, aku, Fajar, teh Irna dan mbak Nur disuruh merajut, karena order sarung tangan sedang diburu-buru. Kugerakan jarum berbentuk pipih,[32] kurajut sarung tangan dengan mengaitkan benang pada ujung jarum. Seirama dengan gerakan mengait, seketika aku tersentak, tubuhku terhuyung.
Byurrr ...
Jatuh ke sungai yang dalam. Bersamaan dengan itu, sesuatu yang kugenggam melesat−−terjatuh ke dasar. Brukk.. menimpa benda keras, seketika semuanya terlihat gelap. Pening terasa di kepala. Kupicingkan mata, bibir menyeringai. Refleks tanganku meraih jidat yang kesakitan. Kusap-usap, kubuka mata terlihat samar. Di saat yang sama aku menoleh sekeliling, kanan kiri terbahak-bahak bak melihat topeng monyet sedang beraksi.
Aku tersadar, tersipu malu. Buru-buru kuraih sarung tangang yang tergolek di lantai. Rupanya aku tidak benar-benar terjatuh dari rakit, kepalaku hanya terbentur meja. Jadi semua itu cuma mimpi? Oh.. berapa lama aku tertidur, sampai bisa bermimpi demikian? Sungguh aku tak bisa menahan antuk. Mungkin karena satu hari dua malam ini, aku tak tidur sama sekali. Insomnia-ku kambuh lagi, ini biasa terjadi pada saat shift malam.
Kali ini aku masih beruntung, tak ada mandor, pengawas dan piket. Aku jadi berandai-andai−−Andai saja tadi ada mbak Jumirah sang mandor bagian potong corak, mungkin telingaku panas mendengar celotehannya−−Andai saja tadi ada piket, mungkin saja tampang pas-pasanku akan terpampang di mading besok pagi dan menjadi trending topic−−Andai saja tadi ada pengawas yang suka hilir mudik kayak hantu gentayangan, pastilah aku dicecar habis-habisan dan SP satu siap menanti. Tapi.. sekali lagi, aku masih beruntung! semua itu tidak terjadi.
Di sudut yang lain, kurang dari sepuluh meter. Sesosok perempuan di antara sekian banyak buruh pabrik yang bekerja, telah mencuri perhatianku. Dialah sahabat baikku, Ririn. Kuperhatikan dari jauh, ada apa dengannya? Batinku menelisik penasaran. Dilihat dari gerak-geriknya seperti sedang ada masalah. Sesekali dia menarik nafas panjang, melirik ke arah teman-temannya, kemudian melanjutkan pekerjaan. Me-ling-king mata demi mata pada lubang kaos-kaki. Terlihat cemas sekali. Kepalanya tengadah fokus pada objek yang di-lingking,[33]maklum selain kecepatan tangan supaya mendapat target, di bagian ini juga membutuhkan konsentrasi yang ekstra agar keakuratan dalam bekerja tetap terjaga. Bagian ini sering dijuluki sebagai neraka-nya kaos-kaki. Tak mengherankan. Setiap hari aku sering mendengar keluh kesah para buruh di sela-sela waktu istirahat ataupun overshift, termasuk sahabatku juga.
**
Suatu hari, sebelum meeting dimulai. Aku berkumpul di lobi, bergabung dengan anak-anak lingking. Di antara hingar bingar suara buruh, aku menangkap perbincangan Ririn dan teman-temannya.
“Rin, asli aku bosen banget tiap hari meetingterus. Kerja bukan jadi semangat yang ada malah stres, ditekan terus. Itu si Jimmy nggak ada bosennya apa? Tiap hari nanyain kamu dapat produksi berapa?, semua operator kena. Mending kalau dapat target, pas enggak? Ngomel terus!”gerutu Sarinah temannya Ririn asli Cirebon.
“Iya, sama lah, semua orang yang nggak dapat target mah kayak gitu. Masuk kerja cemas, pulangnya juga masih ada beban. Eh... Sekarang kamu dapat jatah warna apa?” nada bicaranya pasrah tanpa semangat.
“Navy meneh[34].. navy meneh... kapan dikasih warna cerahnya?”
Ririn terseyum kecut “Sama aku juga masih ngerjain warna black”
Mereka pun bergegas ke lapangan. Melakukan aktifitas seperti biasa.
**
[1]Menjalankan mesin dari proses awal, dari nol.
[2] Barang sisa/ sampah produksi, berupa suwiran benang yang sudah tidak terpakai. Namun masih bisa dijual dan digunakan untuk isi bantal, guling ataupun dalaman kursi.
[3] Mesin kaos-kaki yang dioperasikan secara manual, sangat berbeda dengan mesin kumputer yang dioperasikan secara komputerisasi.
[4]Rutinitas yang wajib bagi setiap buruh pabrik di saat masuk dan keluar lapangan.
[5] Di bagian atas tertulis nama lengkap, nama bagian dan shift. Sedang di bagian bawah tertera tabel, pada kolom pertama tulisan tanggal, berderet vertikal angka 1 sampai 15. Kolom kedua, sampai kolom ketujuh hanya ada tulisan masuk-keluar-masuk-keluar-masuk-keluar, dibawahnya kosong. Begitu juga bagian belakang, sama persis. Bedanya, angka yang berderet mulai dari 16 hingga 31.
[6]mesin pewaktu yang digunakan untuk proses absensi. Di dalamnya tersimpan tinta yang secara otomatis akan muncul waktu dan tanggal jika kartu absensi dimasukkan ke dalamnya.
[7] Kondisi di saat mesin sedang memproses pembuatan tumit kaoskaki. Ditandai dengan pergerakan mesin yang lambat, kurang lebih di bawah satu detik perputaran. Para karyawan sering memanfaatkannya untuk memotong kaoskaki tanpa harus mematikan mesin.
[8]Kondisi di saat mesin sedang memproses pembuatan badan kaos-kaki. Pergerakannya cepat, tergantung jenis jarumnya.
[9] Kondisi di saat mesin sedang memproses pembuatan kepala kaos-kaki yaitu karet. Pergerakannya hampir sama dengan jalan badan.
[10] Wadah plastik berbentuk bundar. Ukurannya seperti galon air, permukaanya rata tidak bergerigi. Menempel pada mesin kaoskaki di bagian bawah. Berfungsi untuk menampung kaos-kaki yang dibuat.
[11]BS-Lokal
BS : Kaos-kaki yang jelek/ cacat, tidak bisa digunakan sama sekali karena tingkat kecacatannya yang parah. Tapi masih bisa dijual setelah nantinya dihancurkandan diolah lagi.
Lokal : Kaos-kaki yang tingkat kecacatannya tidak parah. Masih berbentuk kaos-kaki utuh. Hanya saja ada satu atau beberapa cacat yang mengakibatkan tidak layak untuk diekspor, tapi dilokal-kan (dijual di dalam negeri dengan harga yang super murah/ diobral)
[12]Pergantian jam kerja di lapangan.
[13]Perlengkapan kerja yang harus digunakan di lapangan.
Ciput berupa tudung yang berfungsi menutupi bagian kepala dari kotoran/ debu. Apok bentuknya seperti celemek. Terbuat dari kain atau parasit, berfungsi untuk melindungi tubuh dari kotoran seperti oli mesin.
[14] Dasar yang digunakan dalam pembuatan kaos-kaki. Didalamnya menunjukkan tanggal turun order kaos-kaki, type kaos-kaki, nama buyer, warna, ukuran serta bahan baku yang digunakan.
[15] Mesin sarung tangan yang masih berada dalam di satu areal.
[16] Tempat untuk menyimpan tumpukan benang dalam karung. Terbuat dari bilah kayu berbentuk persegi. Lebarnya dua meter, tingginya kurang lebih sepulu senti.
[17] Tempat gulungan benang menempel. Berbentuk silinder memanjang atau kerucut. Biasanya terbuat dari plastik atau kertas karton yang tebal.
[18] Jenis warna kaos-kaki yang menyerupai abu-abu tua.
[19] Jenis warna kaos-kaki yang menyerupai putih tulang agak sedikit kekuning-kuningan.
(Warna kaos-kaki bisa berbeda tergantung PDKnya)
[20] Jenis bahan baku primer yang digunakan dalam pembuatan kaos-kaki selain benang, karet dan nylon. Bahannya elastis berbeda dengan nylon yang licin dan kaku, ataupun polyester yang kasar dan sedikit rapuh.
[21] Jenis benang yang sedikit berbulu, dikelos atau disusun dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya.
[22] Sub kode benang, polyester, nylon dan karet. Lot dan kode biasanya tertera di bagian dalam cones. Lot juga menunjukkan perbedaan warna dari setiap kodenya.
[23] Jenis kaos-kaki yang pada bagian dalamnya berbulu seperti handuk, biasanya dibuat dengan jarum mesin 84.
[24] Jenis kaos-kaki biasa, struktur bagian dalam dan luar rata. Dibuat dengan jarum mesin yang berbeda, mulai dari 96, 120 dan 140.
[25]Mengukur kaos-kaki sampai titik ter-elastisitasnya.
[26] Belang bagaimana, bukannya tadi juga sudah dibenerin?
[27] Masih sama, lihat saja dulu!
[28] Jelas operatornya yang nggak mandi
[29] Rusak berat.
[30]Dipindah sementara ke bagian lain, diperbantukan karena tidak ada pekerjaan di bagiannya.
[31] Istilah dari tembling yang berarti mencuci kaos-kaki kotor dan tak bisa dibersihkan hanya dengan menyeprotkan tiner saja.
[32]Pangkalnya sedikit membentuk huruf L dan ujung seperti kail. Lebar kirakira 2 mili, panjangnya hampir 10 senti.
[33] Salah satu bagian dari departement kaos-kaki. Pekerjaanya seperti menjahit kaos-kaki, memasukkan benang ke mata (lubang) demi mata tumit kaos-kaki. Bagian yang di lingking adalah tumit kedua. Selain lingking, pekerjaan yang serupa adalah obras dan rosso.
[34] Lagi.
No comments:
Post a Comment