Seumpama boleh memilih, aku dan teman-teman mengharapkan libur di saat munggahan.[1]Mudik dan melewatkan acara bersama keluarga di kampung adalah harapan terbesar. Tentunya selain di saat hari raya idul fitri. Tapi, namanya juga nguli di perusahaan orang, tidak bisa berbuat sekehendak hati. Seperti yang pernah diucapkan mandorku, di sela-sela protes anak buahnya yang minta jatah libur ditukar dengan hari yang lain. Dengan lantang dia berkata “Emangnya ini perusahaan moyangmu?”, hmmm.. nasib jadi anak buah, selalu berada di bawah telunjuk sang atasan. Tugasnya hanya manut saja sama atasan, banyak aturan main yang mesti dijalani.
Untungnya seminggu sebelum puasa, aku dan Ririn sempat mudik bareng. Berangkat setelah pulang kerja pagi. Karena macet, jam empat sore Damri yang kami tumpangi baru sampai terminal Cicaheum.
Lama menunggu, bis tujuan Pangandaran tak kunjung datang. Hanya ada satu bis jurusan sana yang ada di terminal, sayangnya mogok, baru bisa jalan esok hari. Petugas bis mengatakan bahwa masih ada satu armada lagi, tunggu saja katanya. Hingga larut, tetap tak muncul. Sementara jurusan Banjar sudah beberapa kali datang. Selalu kami hiraukan. Alasannya karena tak mau ribet mesti naik-turun kendaraan. Aku dan Ririn mulai kesal dan saling menyalahkan.
Empat jam sudah kami menunggu, tapi tak nampak tanda-tanda kedatangannya. Kutanyakan kebenarannya pada petugas, mereka tak tahu pasti apa yang terjadi hingga bis yang kami tunggu tak datang. Mereka menyarankan agar kami naik bis jurusan mana saja yang arahnya ke sana. Kami duduk di tempat penumpang biasa menunggu angkutan. Sepertinya jam tujuh malam adalah bis yang terakhir ke Banjar.
“Ini semua gara-gara kamu!” dengan tiba-tiba Ririn menyalahkan aku.
“Kok jadi aku yang disalahin sih?” aku kaget.
“Coba kalau tadi kamu nurut sama aku. Nggak usahlah nungguin bis yang ke Pangandaran. Ke Banjar saja dulu, jadinya nggak bakalan terlunta-lunta begini.”
“Memang kuakui, aku salah! Tapi kamu juga yang meng-iya-kan pendapatku. Kamu menyetujuinya. Jadi jangan anggap seolah-olah hanya aku saja yang salah.”
“Aku juga sa-lah. Salah karena mau nurutin apa maunya kamu!” Ririn masih saja marah dan menyalahkan aku.
“Sudahlah Rin, gak usah bahas yang sudah terjadi! Toh... niatku juga baik, supaya kita nggak ribet mesti naik-turun mobil. Sedangkan jurusan Pangandaran kan bisa langsung sampai ke tempat tujuan.”
“Mana aku tahu kalau akhirnya bakalan seperti ini, mungkin sekarang kita sedang sial saja” aku melanjutkan perkataanku.
Seperti mendapat umpan, Ririn langsung menanggapi perkataanku dengan pernyataan yang sangat menyudutkan.
“Iya.. tapi aku heran, kenapa ya.. setiap aku mudik sendiri rasanya tak pernah ngalamin hal semacam ini. Mudik selalu lancar-lancar saja, tak ada masalah. Tapi pas aku berangkat sama kamu kok jadi sial begini, bahkan kesialannya bertubi-tubi” dia tersenyum sinis, wajahnya terlihat polos tapi sangat menegaskan, membuat orang yang mendengarnya jadi tertohok.
“Oh... jadi maksud kamu...” aku terhenti mengambil nafas.
“Aku ini pembawa sial, begitu?” kali ini aku kecewa dan tersinggung oleh ucapannya.
“Sudahlah...” Ririn tak mau memperpanjang meski hatinya sangat kecewa.
Di rasa lama sekali, Ririn mulai ngeluh lagi “Sudah Chie kita pulang saja. Percuma di sini juga!”
“Sabar dong. Tunggu sebentar saja, siapa tahu nanti ada bis yang ke Banjar.” Aku berharap dan mencoba menenangkan Ririn.
“Tapi ini sudah malam Chie, memangnya kamu mau nginep di sini? Ya sudah... kalau kamu nggak mau, aku pulang sendiri saja” Ririn mengancamku.
“Sia-sia dong kita ke sini kalau hanya untuk balik lagi ke kontrakan. Lagian mana ada bis kota jam segini. Yang terakhir kan jam tujuh malam. kasihan juga keluarga di rumah mungkin sudah ngarepin kedatangan kita. Tapi terserah kamu, kalau kamu ngotot mau balik lagi ke kontrakan, ya silahkan! Aku masih mau menunggu di sini.”
Ririn manyun, tak sedikit pun beringsut. Mungkin dia sedang memikirkan perkataanku; berharap yang sama denganku.
**
Malam kian larut. Suasana terminal masih ramai. Nyamuk-nyamuk nakal mulai menggila−−menyerang membabibuta. Gigitannya membuat kami tak kuasa menepuk-nepuk tak karuan. Dari arah pintu masuk terminal, muncul bis Aladin jurusan Purwokerto. Aku berpikir; daripada menunggu lama dan nggak jelas, alangkah baiknya naik yang ada saja. Tohsama-sama lewat ke terminal Banjar juga.
“Rin, tuh ada bis yang ke Purwokerto. Gimana mau naik gak?”
“Ya sudah kita naik saja, sepertinya yang jurusan Banjar juga nggak bakalan ada lagi. tapi lewat Banjar nggak?”
“Iya lah.. kan nanti ke terminal dulu.”
“Ayo..”
Kami bergegas, masuk kedalam bis ber-AC. Duduk di jok deretan keempat dari belakang supir. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Rasa kesal akan kesialan yang bertubi-tubi membuat kami diam merenung. Selayang pandang menembus jalan nan gelap gulita. Tembang lawas Tommy J Pisa, dengan lagu andalannya ‘Di Batas Kota Ini’ jadi pengiring perjalanan kami.
Aku mencoba memejamkan mata, malah teringat ucapan Ririn tadi sore yang mengatakan ‘kesialan yang bertubi-tubi’. Aku jadi merentet setiap kejadian, dari mulai berangkat hingga akhirnya terpaksa naik bis yang sedang kutumpangi. Dari awal memang terasa ganjil. Mulai dari kejadian di bis kota−−ketika aku dimaki-maki oleh pedangan asongan. Gara-garanya, aku menggelengkan kepala saat tukang asongan itu menawari dagangannya padaku.
“Ih.. neng kalau ditanya orang tuh jawab dong, jangan cuma geleng–geleng kepala saja. Sayang.. cantik-cantik kok nggak bisa ngomong, seperti binatang di hutan yang suka bergelantungan saja. Sama persis!”
Masya allah. Tega sekali orang itu! Padahal kerongkonganku dibuat kering hanya demi menjawab tawaran mereka. Dari tadi mang!, aku dibuat capek oleh tingkah kalian, ke mana saja? Akhh... memang dasar. Macam-macam saja perangainya. Mereka selalu ingin dimengerti tapi tak pernah mau mengerti.
Melayang lagi ke kejadian di terminal, di saat kami ketinggalan bis dalam waktu beberapa menit saja dan terpaksa menunggu hingga berjam-jam. Berlanjut dengan perselisihanku dengan Ririn. Aku mulai paranoid seperti Ririn. Apalagi yang akan terjadi setelah ini??? Akh.. entahlah!
Kondektur menepuk pundakku dari belakang, menagih ongkos−−membuyarkan lamunan. Aku memberikan selembar uang seratus ribu.
“Berapa orang?” kondektur itu bertanya padaku.
“ Dua, ke Banjar mang!” meski bisnya ke arah Jawa, tapi kebetulan kondekturnya orang Sunda.
“Turun di terminal?”
“Iya..” ketika menerima uang kembalian yang cuma dua puluh ribu, sontak aku terkesiap dan bertanya “Kok segini kembaliannya, kita kan cuma ke Banjar?”
“Iya memang, ongkos ke Banjar tuh dihitungnya sama dengan ongkos ke Purwokerto neng!”
“Aneh.. kan biasanya juga nggak kayak gitu?” aku protes sambil mengernyitkan alis, menatap tajam kondektur itu.
“Itu kalau bis-nya yang langsung jurusan Banjar atau Pangandaran. Ini kan beda, jurusan Puwokerto” rupanya kondektur itu juga tak mau kalah.
Haaaa.. aku geregetan, apalagi Ririn langsung berkomentar.
“Sial lagi... sial lagi... heu..heu.. aneh sekali hari ini ya?” tersenyum masygul seperti tak percaya.
“Mau gimana lagi, daripada kita nggak pulang sama sekali!” jawabku sebal.
“Terus dari terminal gimana? Jam segitu nggak mungkin ada angkutan?”
“Tenang barusan aku sudah minta orang rumah menjemputku.”
“Siapa, bapak kamu? Kasihan Chie! Pasti kita datangnya juga sekitar jam duaan pagi, jam segitu kan lagi enak-enaknya tidur. Mana aku jadi ingat sama ang Solih, pasti dia cemas menungguku di rumah wak Apong[2]. Harusnya kan kalau tak ada halangan, jam sepuluh-sebelasan kita sudah sampai. Mau ngasih tahu juga sama siapa?, ang Solih kan nggak punya HP. Minta tolong sama teh Turni (tetangganya) nggak enak sudah malam.” Ririn khawatir.
“Ya mungkin ang Solih juga pulang kalau kamunya gak datang-datang” mencoba menenangkan meski aku tak yakin juga.
“Pokoknya aku pastikan nanti kita ada yang ngejemput.”
Tanpa sadar lantunan tembang lawas milik Ebiet G. Ade menghantarkan aku hingga terbuai ke alam mimpi. Terlelap dalam dinginnya malam. Rupanya sang sopir pandai sekali memilih lagu. Tak tahu ada keterkaitan apa dengan lagu-lagu tersebut. Ngefans?, ataukah hanya asal nyetel saja karena stok kaset yang ada hanya itu-itu juga? Aku tak tahu! Yang jelas dalam waktu yang lumayan lama, aku terbuai menikmati malam walau sesekali terbangun karena hampir terpelanting saat bis menukik, melewati jalanan berkelok.
**
Setengah satu dini hari tiba di terminal Banjar. Pintu bis dibuka, segerombolan orang langsung memburu penumpang yang baru turun.
“Ojeg neng.. ojeg!” tukas mereka.
“Nggak” aku dan Ririn menggelengkan kepala, berlalu ke pinggiran kios di terminal. Kuraih telepon genggamku. Kupencet nomor yang hendak dituju. Dari sebrang sana terdengar suara perempuan yang membuatku keki. Dia adalah sepupuku. Bukan aku membencinya, yang membuatku keki adalah pernyataannya yang mengatakan kalau Andi sedang tidak ada di rumah sementara bapak rupanya tak bisa datang. Katanya sedang tak enak badan. Tapi bapak sudah menyuruh orang untuk menjemput kami.
Susah payah aku meyakinkan Ririn untuk bersabar menunggu beberapa menit. Namun yang ditunggu tak kunjung datang juga. Bagaimana dengan nasib kami berdua? Tak mungkin juga menunggu sampai pagi di terminal. Tak ada pilihan, kecuali ngojeg! Ya.. hanya itu satu-satunya jalan daripada kami menunggu tak karuan.
“Ayolah kita naik ojeg saja, mungkin mereka nggak bakalan datang Chie!” Ririn sudah tak mau menunggu lebih lama lagi.
“Ya sebentar saja Rin!” aku masih berharap.
“Nunggu apalagi sih?”
“Barangkali masih di jalan, lagian kan kita nggak mesti bayar!”
“Lebih baik keluar uang, daripada kita menunggu di sini, nggak jelas kapan datangnya. Sudah setengah jam lebih Chie kita di sini! Hayo nunggu apalagi!” Hardiknya sambil melangkah mendekati tukang ojek yang sedari tadi menggoda kami.
“Iya neng, ngojeg juga nggak mahal kok cuma dua puluh ribu. Daripada di sini nunggu lama. Tenang saja, pokonya dianterin sampai ke tujuan.”
“Bukan begitu mang! Masalahnya tadi aku sudah nelpon orang rumah, katanya mau ada yang ngejemput. Nah.. kalau mereka datang ke sini terus kami nggak ada gimana? Kasihan mereka sudah capek-capek datang!” aku menjelaskan.
“Ya gini saja, nanti kalau ada saudaranya yang datang. Kalian boleh ikut mereka. Ini kan menjaga daripada kalian gak ada tumpangan pulang ke rumah.”
“Baiklah. Tapi perjanjiannya gitu ya!” terpaksa aku menuruti maunya Ririn meskipun aku masih penasaran.
“Iya sok lah nanti kalaupun di tengah jalan ketemu saudaranya, boleh turun!”
Baru saja aku dan Ririn hendak naik ojek, entah dari mana datangnya, sama sekali aku tak melihat. Tiba-tiba mengarah kehadapanku, sebuah motor Yamaha Jupiter menghadang.
“Kok malah naik ojeg?” pengemudinya bertanya, dia adalah saudaraku.
“Aku kira nggak datang.”
“Dari tadi aku muter-muter nyari kamu. Eh... ternyata nunggunya di sini. Harusnya tadi ngomong yang jelas. Ditungguinnya di mana, ini bilangnya di terminal doang. Terminalkan luas!” umpatnya.
“Mang, nggak jadi mang. Maaf ya!”
”Terus gimana dengan kami?” raut kecewa terlihat jelas di muka tukang ojek.
“Maksudnya?” aku dibuat penasaran.
“Ya kan tadi neng berdua sudah nyarter motor kami, tapi tiba-tiba saudaranya datang. Sementara kami harus nyetor, jadi saya harap kalian berdua ngertilah!”
“Gila...masa kami harus bayar? Tadi kan cuma numpang duduk saja belum sempat jalan!”
“Minta sedikit pengertiannyalah” mereka memaksa.
“Maaf mang, saya juga tukang ojeg di sana, jadi saya tahu aturannya. Jangan minta imbalan yang gak jelas. Kita kan sama-sama tukang ojeg” saudaraku memotong ucapan tukang ojek yang sedikit garang.
“Memang nggak ada dalam aturannya. Tapi ‘aa juga bisa ngerasain kalau seandainya jadi kami. Mau dapat penumpang malah nggak jadi.”
“Ada apa ini?” tanya mang Didit temannya ‘a Aris saudaraku, menghampiri kami dengan mengendarai RX king-nya.
“Ini mang, mereka minta bayaran. Padahalkan belum sempat jalan sama sekali” dia menjelaskan dengan senyum masygul.
“Oh... terus sekarang jadinya gimana?”mang Didit bertanya heran.
“Yang benar saja, jelas-jelas tadi motornya belum sempat melaju. Terus kami harus bayar berapa, nggak mungkin pula aku bayar kalian masing-masing dua puluh ribuan. Enak bener!” emosiku mulai terpancing sementara Ririn diam terpaku.
Dengan posisi duduk tak beranjak dari motornya, saudaraku mulai bernegoisasi dengan dua tukang ojek itu.
“Begini ya, saya juga ngerti kekecewaan yang kalian rasain. Memang kalian mintanya berapa?, saya harap kalian tidak memeras kami.”
“Dua puluh ribu buat berdua. Layak kan?”
“Ongkos angkot juga tidak sampai segitunya kali mang. Janganlah memeras kami! Tadi perjanjiannya apa? Kalau seperti ini mahbukan nolong namanya!”
“Itu sudah kami perhitungkan!” tukang ojek itu tak mau kalah.
“Mau bayar tidak?” dengan nada mengancam satunya lagi bertanya.
“Sudah kasih saja. buat sekedar rokok saja, sepuluh ribu berdua.” Dengan nada berbisik. Saudaraku mengulurkan tangannya meminta uang padaku. Sepertinya dia mengendus gelagat tak baik dari salah satu tukang ojek. Terpaksa aku memberinya.
“Nih alakadarnya saja. Itung-itung buat rokok, sepuluh ribu dibagi dua saja. Saya harap kalian bisa menerimanya”
“Ya sudah makasih” meski kecewa tak sesuai harapannya, salah satu dari tukang ojek itu menerimanya. Satunya lagi hanya terdengar mendengus. Mereka pun berlalu meninggalkan kami.
“Hehehe... aneh ya mereka?” mang Didit masih tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.
“Tadinya sih saya nggak nyuruh si eneng bayar, tapi tukang ojeg satunya lagi sedikit mengancam. Bukannya takut, kalau cuma ngadapin dia doang. Satu lawan satu mah nggak apa-apa. Tapi saya tahu persatuan ojeg di sini sangat besar dan terorganisir, salah-salah nanti dia ngadu yang nggak jelas. Kita juga yang kena” saudaraku menimpali dengan berpikir panjang.
‘A Aris menstater motornya, melesat memboncengku. Di ikuti mang Didit yang membonceng Ririn dari belakang.
** [1]Munggahan berasal dari kata unggah (naik tingkatan); proses penyambutan diri menuju bulan yang lebih baik derajatnya (bulan ramadhan) dengan meningkatkan keimanan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan di masyarakat Sunda, biasanya sehari menjelang puasa melakukan ziarah kubur, menyucikan diri (mandi) bahkan makan bersama.
[2]Saudaranya Ririn yang rumahnya berada di dekat jalan raya. Sedangkan rumah Ririn sendiri jauh dari jalan raya.
No comments:
Post a Comment