Kisah pernikahan bapak dan ibu bermula dari sebuah perjodohan. Aku mengetahuinya dari saudara terdekatku. Bapak yang kala itu sedang magang di kantor camat ditugaskan untuk memberi pengarahan pada penduduk pelosok, kurang lebih 15 km arah selatan dari kecamatan. Saat itu juga bapak menjalin kasih dengan seorang gadis pintar yang berprofesi guru dari daerah pelosok tersebut.
Bukan lagi rahasia, semua sanak saudara mengetahuinya. Bapak yang penurut−−sama sekali tidak diberi pilihan; tak kuasa menolak perintah ibunya. Nenek yang saat itu masih berjaya, bermaksud mempererat tali silaturahmi dengan keluarga besar ibuku. Baginya bibit, bebet dan bobot teramat penting. Sama halnya dengan keluarga ibu yang sama-sama keturunan ningrat. Mengenai perasaan anaknya, mereka tak terlalu peduli.
Ijab-kabul hendak dimulai. Bapak memasuki aula mesjid, mendekat ke arah penghulu. Alangkah terkejutnya, manakala bapak melihat mempelai wanita bergerak ke arahnya. Setahu bapak, gadis yang akan dinikahinya adalah salah satu dari adiknya ibu. Tapi, jiwa kesatria bapak tak ternoda. Mungkin saja jika dia seorang pengecut, pasti dia akan tunggang-langgang meninggalkan mempelai di tengah keramaian pesta. Hatinya teramat ikhlas. Dia tetap melaksanakan ritual pernikahan hingga lulus mengucap ijab-kabul dan bergelar suami.
Keteguhan hatinya teruji kembali, manakala isteri dan ibunya tak bisa hidup rukun. Bapak bertahan tinggal di paviliun rumah nenek dengan alasan tak ingin meninggalkan nenek. Dia juga ingin meringankan beban nenek, yang pada saat itu harus mengurusi cucu-cucunya−−anak dari uwakku.
Ini menjadi bumerang buat bapak sendiri. Karena bapak selalu dijadikan tulang punggung atas kewajiban yang tak seharusnya dipenuhi bapak. Mulai dari biaya makan hingga kebutuhan pribadi para keponakannya. Walau bapak tak sepenuhnya memberi, sifat nenek yang keras; acap kali melukai hati bapak. Bahkan dimatannya, bapak seperti mesin pencari uang untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga, karena memang hanya bapak dan uwak saja yang tinggal di rumah. Kebetulan bapak berpenghasilan tetap, sedang uwakku seorang montir lepas.
Daur hidup kami, berkutat di dunia ekonomi yang tak kunjung usai. Saat itu, uwak sudah meninggal, tanggung jawab bapak bertambah berat. Setiap harinya, yang dipikirkan hanyalah bagaimana cara melangsungkan hidup. Termasuk dengan berhutang ke warung-warung karena gaji bapak tak mencukupi.
Pernah suatu ketika, aku yang hendak berangkat sekolah harus bersaing dengan satu kilogram beras. Otomatis uang jajanku berkurang. Parahnya, aku sering tak membawa bekal sama sekali hanya demi membeli beras.
“Terserah kamu. Penting mana beras sama jajan?”
Aku manyun. Sisi egoisku menginginkan uang jajan, tapi nalarku masih berjalan. Pasti semua orang di rumah tak akan makan termasuk diriku sendiri.
Suatu waktu; subuh-subuh sekali bapak sibuk di dapur, membuat nasi goreng. Aku yang tak pernah sarapan saat berangkat sekolah−−mulai curiga, jika dia sudah begitu. Pasti aku tak dikasihnya bekal, pikirku. Benar saja.
“Neng, kalau berangkat sekolah tuh biasakan sarapan dulu supaya tidak lapar! Lumayan, kalau saat-saat sulit seperti ini kan bisa ngirit. Nih bapak sudah buatkan nasi goreng” katanya.
“Lah nggak keburu, sudah siang pak!” aku mengerti maksudnya berkata ngirit, pastilah bekalku kurang tak seperti biasanya. Entah itu hanya setengahnya saja atau sama sekali tak ada.
“Sarapan dulu nanti istirahat lapar. Bapak hanya ada uang buat ongkos saja!”
“Kok cuma segini, terus pulangnya gimana?”
“Boro-boro buat jajan, ongkos saja masih kurang. Ini kan cukup buat berangkat saja!”umpatku dalam hati.
“Pinjam dulu sama teman di sekolah besok diganti!”
Begitulah jika pertengahan hingga akhir bulan. Keluargaku sering dilanda kemarau panjang. Untunglah aku termasuk anak yang cukup memahami keadaan. Terpaksa aku meminjam pada teman baikku Ririn. Kadang beberapa teman sekelasku yang dekat juga menjadi targetku. Pernah suatu ketika, aku mengabdikan diriku melayani teman sebangku, menjadi tukang pijat pribadinya. Bayaran yang diberikannya lumayan, bisa untuk membeli LKS atau menambah uang jajanku.
“Nih bagi-bagi rejeki, bagi-bagi dosa juga ya!”
“Kok bagi-bagi dosa, bukannya ini imbalanku?”
“Iya, ini memang imbalan kamu. Tapi uangnya kudapat dari hasil mencuri di kios ibuku. Hehe..”
“Sialan. Terserah mau hasil apa pun juga. Yang penting aku mendapatkannya secara halal. Urusan dosa, itu murni tanggung jawabmu, aku tak ikut-ikutan ya!”
“Hahaha.. tentunya dengan menjadi tukang pijat pribadiku?”
“Masa bodoh, itu dosamu bukan dosaku!”
Jika jam istirahat tiba, aku sering pura-pura membayar utang puasaku. Tapi kalau hari itu kebetulan hari Senin atau Kamis, pasti alasannya sedang puasa sunat. Padahal tiba di rumah, perutku yang keroncongan langsung melahap-membabibuta makanan yang tersedia.
“Kalau dari awal tahu kayak gini, mending puasa beneran, pastilah pahala didapat!”gerutuanku di tengah aktifitas makanku.
Dari tahun ke tahun musim kemarau tak bosan menghinggapi keluargaku. Dari setiap bulannya, pasti selalu ada. Meski aku bosan, tapi aku sudah kebal.
Yang aku tak mengerti, kenapa tuhan benar-benar menghukum keluarga kecilku atas kesalahan memilih yang dilakukan bapak? Himpitan ekonomi, aku bisa terima. Tapi tentang ibu, aku benar-benar sulit memahaminya. Kisah lainnya dari luar keluarga, tentang salah satu anak uwak yang tak pernah berubah membuat kebencianku makin hari semakin mengedap keras hingga berkerak. Sungguh aku tak bisa terima jika keluarga kecilku di obrak-abrik orang lain, sekalipun itu saudaraku sendiri. Berkali-kali bapak harus berurusan dengan pihak berwajib gara-gara ulah keponakannya. Bahkan sindiran-sindiran halus pun sering meluncur dari mulut bapak kepala desa yang terhormat, jika sedang rapat BPD. Kebetulan bapak termasuk salah satu pengurus BPD.
Ingin rasanya aku mengeluarkan diri dan keluarga kecilku dari masalah ini. sayang, aku tak tahu bagaimana caranya meringankan beban bapak.
**
No comments:
Post a Comment