MALAM TAHUN BARU



Umumnya, kebanyakan orang tak akan melewatkan malam pergantian tahun begitu saja. Selalu ada hal yang dikerjakan. Mulai dari berdo’a akan keselamatan, meminta kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan orang lain. Sekedar menyaksikan kemilau kembang api di beranda rumah ataupun di tempat ramai. Menyaksikan acara televisi, berkumpul dan makan-makan dengan keluarga atau orang terkasih, bahkan berkonvoy mengelilingi kota, menunggu detik-detik pergantian tahun.
Kedua jemariku atraktif membalas pesan singkat di tengah kesibukan kerja yang menggunung−−membalik dan membersihkan majun kaos-kaki. Satu pesan lagi diterima. //NANTI PULANG KERJA DITUNGGU DI GERBANG SAJA// aku menyempatkan
membalasnya kembali. Waktu sudah semakin dekat, menunjukkan pukul 22.15 WIB. Satu jam empat puluh lima menit lagi menuju puncak pergantian dan tiga puluh menit waktu normal jam kerja yang tersisa. Dentang pergantian tahun akan berkumandang di penjuru dunia. Bahkan di belahan bumi bagian lain, mungkin sudah terlebih dahulu merayakannya.
Tepat pukul sebelas malam, semua buruh laki-laki−−perempuan berbaris di depan mesin amano, seperti biasa body checking ke arah dua keamanan wanita. Ririn sudah menungguku di lobi.
Kami bergegas keluar gerbang, dengan santai mas Ristam duduk di jok motornya, menunggu kami. Segera dia menstater motornya dan mengantar kami ke kontrakan untuk berganti kostum.
 Tujuan utama kami adalah ke lapangan Gasibu. Tapi sepertinya sudah tak memungkinkan. Jalanan macet, sementara kami masih di sekitar Cimahi. Jika dipaksakan hanya akan membuat kami terjebak di dalamnya dan sudah pasti akan telat sampai ke tujuan.
Aku dan Ririn sangat kecewa. Hal yang paling kami inginkan adalah melewatkan malam pergantian tahun di sana. Sebagai anak muda, aku dan Ririn sama-sama haus akan kebebasan. Gejolak kawula muda membuat kami selalu mencari sesuatu yang bisa membahagiakan hati kami. Sekalipun itu sekedar acara jalan-jalan biasa sambil nonton perciakan kembang api. Itulah yang kuharapkan karena sebelumnya aku tak pernah melihat keindahan kembang api secara langsung selain di layar kaca. Memang terkesan norak. Tapi aku seorang yang selalu penasaran, selalu ingin mencoba dan merasakannya.
 Jiwa-jiwa pemberontakanku sudah muncul sejak aku masih kanak-kanak. Orang sekelilingku, mengenal aku sebagai anak kecil bertubuh kurus yang pendiam dan pemalu. Padahal, di balik itu semua terdapat magma kuat yang selalu mencari keseimbangan dan siap menyemburkan lahar panasnya kapanpun juga. Mereka saja yang tak mengenalku baik-baik, tak pernah mengetahuinya.
Pilihan lain diberikan mas Ristam. Kota baru Parahyangan di Padalarang adalah alternatifnya. Terpaksa aku dan Ririn mengikuti sarannya. Padalarang? Itu kan lumayan jauh dari tempat kami. Tinggal sepuluh menit lagi, absurd rasanya tiba di sana tepat waktu.
Berkeliling kota dengan seorang laki-laki yang jauh lebih tua dari usia kami maksudnya aku dan Ririn. Tak menaruh kecurigaan sama sekali. Sangat kejam jika aku dan Ririn berprasangka buruk terhadap orang sebaik mas Ristam. Mungkin orang yang melihat akan berpikiran buruk akan kedekatan aku, Ririn dan mas Ristam. Aku tak memedulikannya selama kedekatan kami masih dalam batas kewajaran. Apalagi, aku dan Ririn sudah menganggap mas Ristam sebagai orang tua pengganti selama hidup di rantau. Tak hanya mas Ristam saja, aku bahkan dekat dengan adik iparnya dan mengenal baik istri dan anak-anaknya. Karena hampir tiap liburan sekolah mas Ristam selalu memboyong keluarganya ke Bandung.
Mas Ristam menghentikan motornya di alun-alun kota Cimahi. Tumpah-ruah penduduk berdatangan. Tua-muda—lakilaki-perempuan, berkumpul memadati satu arena yang sangat lapang. Hampir seperempat jam kami menyaksikan moment menakjubkan. Bola-bola api memercikan cahayanya membingkai langit yang kelam. Riuh terdengar suara para penikmat karya nan indah di angkasa. Pemandangan yang eksotik!
“Masih mau ke kota baru Parahyangan atau tetap di sini? Kalau di sini ada hiburannya juga!”
“Gimana Chie?” Ririn malah bertanya.
“Alah kamu bisanya nanya aku terus. Hayooo.. kita ke sana saja! Emang ada apa saja di sana mas?”
“Di sana sih nggak ada acara apa-apa. Cuma tempatnya indah. Yuk.. kita berangkat sekarang biar nggak penasaran.”
**
Memasuki kawasan perumahan elite, aku terpana dibuatnya. Bangunan-bangunan megah tampak lebih memesona dengan balutan kembang api. Kembang api di sini jelas lebih besar dan banyak. Seperti orang linglung, tanpa sadar aku membidik bola api dengan lensa tustel yang sengaja baru kubeli. Tak ketinggalan, aku dan Ririn berfose di depan rumah elite, menurut ukuran kami. Mas Ristam bertugas menjadi fotograpernya. Lengkaplah kegilaanku.
“Maaf ah... numpang eksyen ya!”
“Wah.. gayamu sudah kaya pemilik rumah saja. Awas loh nanti ada penghuninya keluar!” Ririn menakutiku.
“Kan tadi  sudah pamit dulu! Ayo mending kamu sini gabung. Mas tolongin lagi ya!”
Ririn tersenyum dan mendekatiku. Di sebrang jalan tampak tiga orang pria muda sedang asyik bermain-main dengan kembang api.
“Tuh di sana bagus tempatnya. Foto di sana aja!” mas Risam menunjukkan ke arah jembatan yang berlatar belakang pagar besi.
Kami bergegas, mulai eksyen. Tak mau ketinggalan, kami juga berfoto di jam besar yang ada di taman.
Alangkah kagetnya ketika foto-foto itu kucetak, semuanya tak nampak. Hanya sebentuk siluet saja. Suasana seperti ini baru dua tahun kemudian aku rasakan lagi. Setahun berikutnya, aku hanya melewatkan malam tahun baru di areal pabrik dengan meniup terompet yang dibuatkan para montir dari cones yang tak terpakai. Saat itu aku tengah kerja malam dan baru paginya bisa pulang. Suara-suara terompet timbul-tenggelam diantara bisingnya deru mesin. Baru di tahun berikutnya aku sudah pindah kerja kembali mengikuti jejak Ririn. Tapi di tahun ini aku tak melewatkannya bareng Ririn. Karena kami beda kontrakan dan Ririn lebih memilih jalan dengan teman kencan butanya.
**

No comments:

Post a Comment