LOWONGAN KERJA



Senja mulai tenggelam bersama dengan terbenamnya sang Surya di ufuk barat. Lembayung kuning-kejinggaan menghiasi angkasa raya, disertai awan cirrus-nya[1]yang berarak, menyulap birunya langit. Nyiur melambai kena terpaan angin. Mengajakku menari di udara, merasakan sebuah kebebasan tanpa batas. Betapa indahnya kuasa pemilik jagat ini, decak kagumku dalam hati.
Cukupkah sampai di situ kekagumanku pada sang khalik? Ternyata tidak! Sayup-sayup terdengar suara burung berdendang riang, seperti tidak memiliki beban hidup. Ah.. alangkah bahagianya jadi seekor burung. Bisa pergi ke mana pun sesuka hati, menikmati keindahan suatu tempat. Tinggal mengepakan sayap saja tanpa harus susah payah mengeluarkan dana.

Rangkaian pegunungan dengan pohon hijaunya membentang dari arah timur sampai barat. Jenis hutan homogen; pohon jati banyak ditanam di sana.
Di hadapanku, terhampar lapangan luas dengan rumput hijaunya. Itulah sekilas gambaran panorama alam desaku. Sungguh takjub. Dari jauh terlihat seorang perempuan paruh baya. Kurang lebih sekitar 55 tahunan. Perawakannya tinggi gempal. Di sebrang lapangan yang luas itu, ia tergopoh-gopoh mendekatiku, memanggilku dengan pekikan paraunya  “Neng... eneng...”
“Iya, ada apa wak?” jawabku.
“Tuh aya[2]telpon ti Bandung, katanya dari teman sekolah dulu!” ujarnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Maklum, dia berjalan sangat tergesa sekali seolah tak menghiraukan bobotnya yang lumayan besar, mungkin ada 92 kiloan. Dan itu sudah dipastikan akan sangat mengganggu apabila dibawa bergerak over, jantungnya berpacu kencang.
“Siapa wa?” aku penasaran.
“Nggak tau siapa, tapi bilangnya sih teman di SMA dulu, sok buruan atuh nanti keburu nelpon lagi, tadi uwak suruh tutup dulu telponnya dan nunggu beberapa menit soalnya uwak mau manggil eneng dulu!” paparnya.
“Ooooh.. baiklah, aku duluan ke rumah uwak ya!” terburu-buru aku pun berlari meninggalkan uwak Ipah di rumahku. Sesampainya di sana ternyata bunyi telpon sudah berdering. Kriiiiing... kriiiing... krii...
Secepat mungkin kuangkat gagang telpon itu “Haloo..”
“Halo, Assalamu’alaikum Chie!!!” jawab seorang perempuan di sebrang sana.
“Ini Ririn Chie, gimana  kabarnya?”
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah baik Rin, kamu sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah baik juga! Chie aku cuma mau ngasih tau kamu, kalau sekarang lagi ada lowongan kerja di Jayatex, cuma aku kurang tau lowongannya dibuka sampai kapan. Makanya kalau kamu mau, cepetan ke sini mumpung masih baru dibuka informasinya!”
“Begitu ya!, terus syarat-syaratnya apa saja Rin?”
“Syarat-syaratnya sama saja, seperti surat lamaran pada umumnya. Cuma ditambah surat keterangan belum nikah dari KUA, rontgen sama tes kehamilan. Tapi rontgen sama tes kehamilan mah bisa nyusul Chie!” paparnya.
“Nyusul gimana Rin, kenapa nggak langsung sekalian di sini? Maksudnya biar nggak repot bolak-balik gitu Rin! Banjar-Bandung kan bukan jarak yang bisa ditempuh dalam waktu dua jam” aku berusaha menjelaskan.
“Ya maksudku, nanti kamu dirontgen-nya di rumah sakit yang di Bandung saja, ntar juga kalau sudah di-interview dan diterima kerja, kamu bakal dikasih tau apa saja yang mesti ditambahin, dan kalau sudah begitu biasanya perusahaan memberikan nama rumah sakit yang dirujuknya. Soal tes kehamilan, beli alatnya dulu di apotek paling harganya sekitar tiga ribuan, nanti kamu langsung dites di pabrik” Ririn memberikan penjelasan sedetial mungkin.
Mendengar kabar itu, bahagia membuncah mengisi relung jiwa yang sempat hampa. Bagai oase di padang tandus, kembali  menyegarkan dahaga musafir yang berjalan di gurun nan gersang. Setitik asa memancarkan kemilau, setelah kusamnya disepuh warna. Membuka tabir ketidakmungkinan yang hampir selama sembilan bulan mengendap. Nyaris karatan.
Sembilan bulan sudah aku menganggur, bukan berarti tanpa usaha. Mungkin jika lulus SMA aku langsung menikah dan memiliki sel telur yang subur, pastilah akan lain ceritanya. Saat ini adalah waktu yang paling mendebarkan. Perut yang membuncit menyisakan sekelumit harap nan cemas. Penantian yang berujung pada sebuah kehidupan baru−−kelahiran si jabang bayi. Tak pernah membayangkan, apa jadinya kehidupanku jika berakhir pada sebuah pernikahan dini. Terlihat suram dalam ingatan.
Aku, dengan sisa-sisa ambisiku. Mengharapkan kehidupan yang cerah tanpa harus menyenderkan bebanku pada lelaki yang nantinya kusebut sebagai suami. Dengan gairah muda yang masih membara, aku ingin membanggakan diri ini dengan hasil jerih payah sendiri. Masa depanku masih panjang!
Hatiku teramat bahagia. Lazuardi memancar, mencerahkan pagi ini. Aku pergi ke balai desa, bermaksud mengurus syarat-syarat yang belum kulengkapi; SKCK[3] dan Surat keterangan belum nikah dari KUA.
Ternyata, oh.. My God!!, yang  kutemui di sana adalah orang yang sebenarnya paling males untuk kutemui. Yaitu bapak polisi desa. Bukan karena postur tubuh gendutnya yang aku tak sukai darinya. Melainkan sikapnya yang ceriwis, agak genit dan terkesan suka ingin tahu urusan orang. Padahal, sebenarnya sih baik juga.
Dengan terpaksa pula aku meminta bantuan padanya. Karena tugasnya memang sebagai seksi humas.
“Mau melamar ke mana eneng teh?”
“Ke Bandung pak, kebetulan sedang ada lowongan.”
“Oh... syukur atuh kalau sudah ada lowongan mah. Padahal mah daripada capek melamar, mendingan nungguin dilamar saja. Sudah ada calonnya kan?”
”Belum” aku males menjawab.
“Apa mau dilamar sama bapa saja? Hahaha..” (Tuh.. kan mulai lagi!!!)
“Yeee.... si bapa mah! Bapak tuh pantesnya juga jadi bapakku” mendengar ucapannya yang mulai ngawur aku sedikit kesal tapi berusaha tetap ramah. Tak mau mengganggu suasana hatiku yang sedang bahagia.
“Jadi kapan SKCKnya selesai pak?” aku mengalihkan pembicaraan kembali topik utama.
“Paling habis dzuhur, nanti bapak antar ke rumah saja.”
**
Setelah semua selesai aku berpamitan pada keluarga. Jarak Banjar-Bandung lumayan melelahkan, mungkin bisa ditempuh sekitar kurang lebih 4 jam-an, itu jika tidak ada halangan. Oleh karenanya, aku berangkat pagi. Pukul tujuh, aku sudah tiba di terminal Banjar. Suara-suara gaduh terdengar di sekeliling terminal. Pekik para penjual asongan berlomba menarik simpati para calon penumpang, seolah tak menghiraukan apakah lolongannya dirasa mengganggu orang lain atau tidak. Mereka beraksi bak calon artis sedang mengikuti audisi Indonesian Idol ataupun audisi pencarian bakat sejenisnya.
Itulah realita kehidupan. Mereka berlomba-lomba bukan untuk mengikuti sebuah audisi pencarian bakat. Lebih real-nya, meraka berjuang untuk mencari sesuap nasi. Tak sedikit pula di antara mereka, suka mengucapkan kata-kata kasar yang tidak berkenan alias asal nyeletuk. Tak enak didengar. Namun, mereka-mereka yang membuat keonaran adalah sejumlah kecil oknum yang tidak bertanggung jawab (tidak semua pedangan asaongan bersikap begitu).
Dagangan tidak laku, kondisi di terminal yang begitu panas, kepulan asap mobil yang bertengger, disertai semburan debu. Mungkin itu yang mengakibatkan tensi mereka tinggi. Apa pun alasannya, tidak bisa ditolerir. Dagang itu sama dengan kesabaran. Seseorang berani berdagang berarti harus berani bersabar.
Tak lama menunggu, bis yang kutumpangi melaju. Setengah perjalanan sang Budiman, maksudku−−nama bis yang kutumpangi, berhenti. Dari balik kaca, terlihat tulisan rumah makan khas sunda “Pananjung 3” yang terletak di daerah Jamanis, Tasikmalaya. Para penumpang sebagian ada yang keluar untuk makan minum atau pun merokok, bahkan ada juga yang sekedar buang hajat saja. Sebagian lagi, hanya duduk manis di bis sambil menikmati bekal yang ada.
Aku yang hanya sendiri, rasanya malas sekali untuk makan. Sesekali aku pun membuka bekal, meski cuma snack yang kubawa ditambah sebotol air mineral, cukuplah untuk sekedar mengisi perut yang keroncongan. Bis yang kutumpangi sering ngetem,[4] kurang lebih jam 12, baru sampai di Bandung, tapi masih jauh dari terminal. Tepatnya di daerah Rancaekek. Sengaja aku ke sana terlebih dahulu, karena harus menemui kakaknya Ririn. Dia yang akan mengantarku ke tempat kost-nya Ririn. Selain daripada itu, dia dan suaminya ada misi pribadi bulanan, sekaligus mengantarkanku dan dua orang lainnya yang juga akan mencoba melamar kerja.
**
Aku langsung menyusuri lorong-lorong sempit (gang), tak jauh dari jalan raya. Kutemukan beberapa petak kamar kecil kira-kira berukuran 4 x 5 meter persegi. Mataku tertuju pada sebuah kamar bernomor 16. Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung mengetuk pintu tersebut.
 “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam..” terdengar seorang pria menjawab dari dalam sana sambil membukakan pintu untukku. “silahkan masuk Chie!”
Sambil mengulurkan tangan bersalaman, mataku celingukan ke sana kemari, tapi aku tak menemukan sosok perempuan itu.
“Terimakasih.. di mana teh Lani, bang?”
“Ooh.. dia lagi di kamar mandi. Tunggu saja, sebentar lagi juga datang!”
Aku masuk ke dalam ruangan dan bertanya “Emang kamar mandinya di mana, jauh bang?”
“Nggak kok, tuh.. dekat gerbang masuk, tinggal belok kiri saja” jawab bang Muji sambil mengambilkan air minum buatku.
Sok Chie diminum dulu airnya!”
“Makasih bang” segera kuambil segelas air putih yang diberikan bang Muji dan meneguknya.
Benar apa yang dikatakan bang Muji, belum juga sampai sepuluh menit, teh Lani sudah ada di hadapanku.
“Eh.. kapan nyampenya?” dengan tiba-tiba teh Lani mengejutkanku.
“Barusan teh! Besok libur ya?”
“Iya, libur sekaligus malam panjangan Chie. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik, enak dong liburnya jadi lebih lama?”
“Ya enak nggak enak lah namanya juga nguli. Kadang kalau dapat jatah libur barengan malam panjang[5]enak banget, jadi punya banyak waktu. Tapi pas dapat giliran ngaplus[6]males banget Chie!”
Langit mulai kelam pertanda sore, kami berlima segera berangkat. Rupanya meskipun sama-sama di daerah Bandung, perjalanan ke sana tak cukup dengan mengenakan satu kendaraan saja. Setelah turun dari bis kota, kami pun menerobos gang dan menyetop sebuah angkot berwarna hijau jurusan Cimahi-Leuwipanjang yang arahnya ke Cimahi.
Di sebuah kompleks yang berdampingan dengan kompleks yang cukup mewah, kami menghentikan laju kendaraan. Menyusuri kompleks, mencari alamat yang dituju. Di tempat yang sederhana inilah, di jalan Bersaharja II no. 24, Ririn mengontrak sebuah rumah bareng teman sekampungnya juga bernama Tina.
Tempatnya dua kali lipat lebih luas dibandingkan dengan kontrakan teh Lani dan bang Muji. Selain kamar tidur, ada ruang tamu dan dapur. Kamar mandi pun ada di dalam ruangan, meski air yang berasal dari sumur berwana keruh-kekuningan dan sedikit berbau. Katanya sih diakibatkan kandungan besi yang tinggi di dalam perut bumi. Bagi mereka berdua, setidaknya ini lebih baik daripada mesti mengantri dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
**
Kokok ayam jago sudah terdengar. Menunjukkan hari beranjak pagi meski adzan subuh belum berkumandang. Jangan salah, walau tinggal di kota bukan berarti tidak ada orang yang miara ayam. Pada dasarnya, yang tinggal di kompleks ini hampir 1/3nya adalah imigran dari kota-kota lain. Alias bukan penduduk asli setempat. Itu dikarenakan daerah ini termasuk kawasan industri.
Ini hari keduaku menginjakkan kaki di kota Kembang. Entah mengapa kali ini lain. Tak seperti pagi kemarin yang telah berlalu. Hatiku berdebar bak maling yang kepalang tertangkap basah. Kulihat Ririn mengeluarkan baju seragam dari lemari eksel-nya.[7] Dua helai baju atasan berwarna hijau kotak-kotak dan sebuah celana jeans yang hendak dipakainya. Sementara Tina masih di kamar mandi, berdendang ria menyanyikan lagu-lagu Peterpan.
“Nih aku pinjamkan seragam buat ngelamar nanti” Ririn mengulurkan sehelai seragam atasan.
“Emang mesti memakai seragam juga Rin?”
“Iya, di sini yang ngelamar kerja tetap harus pakai seragam meskipun hasilnya tak tahu diterima atau tidak” jawabnya. Aku manggut-manggut.
“Tenang aja Chie, kayaknya kamu pasti keterima soalnya perusahaan kan lagi buka lowongan gede-gedean itu berarti perusahaan lagi banyak membutuhkan karyawan. Dan itu artinya peluang kamu besar sekali” rupanya Tina sudah keluar dari kamar mandi, berjalan ke dalam kamar mengenakan handuk. Mungkin dia menangkap gurat keraguan di wajahku. Sebenarnya aku bukan meragukan. Lebih tepatnya, aku merasa ketakutan kejadian 5 bulan yang lalu terulang kembali.[8]
“Hey, kok kamu malah melamun!” Ririn membuyarkan lamunanku.
“Iya, tuh kamar mandi kosong, mending sana mandi dulu! Udah deh kamu nggak usah banyak mikir macem-macem, yang penting mahbisa keterima” Tina menambahkan.
“Bukan mikir yang aneh–aneh Tin, tapi aku jadi teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Aku terpaksa menyerah karena keadaan tidak memungkinkan, pulang dengan tangan hampa. Kejadian waktu itu membuatku merasa jadi seorang pecundang, dan aku nggak mau itu terulang kembali.”
“Tenang saja, di sini kamu tidak melamar sendiri, ada orang yang bawa. Nanti, sebelum masuk ke kantor personalia, kamu tunggu di gerbang depan. Orang yang akan masukin kamu nungguin di sana. Dia itu saudaraku, kebetulan dia belum pernah masukin orang. Kemarin sebelum kamu ke sini, aku dan Ririn sempat minta bantuan padanya. kebetulan dia mau. Kalau saja aku belum masukin sepupuku, mungkin aku bisa masukin kamu. Jatah karyawan tiap tahun kan cuma sekali” Tina memaparkan.
“Ada yang masukin? Kupikir aku langsung melamar sendiri. Apa ini termasuk KKN? Masa bodoh, yang penting aku tidak menganggur lagi” gumamku, sambil berlalu ke kamar mandi.
**
Pukul setengah tujuh pagi, aku berdiri di depan pintu gerbang. Bergabung dengan orang-orang yang hendak melamar. Di antara ratusan orang yang berkumpul, nampak menghampiriku seorang karyawati senior, teh Ika namanya. Dialah yang akan mencoba memasukan aku.
Tak lama, staff kantor personalia datang, memersilahkan semua pelamar masuk. Sebelum dites, aku dan teh Ika menghadap si cici, sang piminan personalia. Kami di-interview; mengenai hubungan kami. Selanjutnya teh Ika mengisi formulir data-data  penjamin, begitu juga sebagai pihak terjamin, aku mengisi data yang sesuai.
Tes yang mereka berikan bukan hanya matematika tapi juga tes warna, ukur tinggi dan berat badan, bahkan tes urine. Diantara semua ritual yang paling menegangkan adalah ketika di-interview. Yang kutahu mereka tak pernah menunjukkan sikap ramah. Layaknya monster, teramat kaku, meskipun mereka juga para perempuan. Mungkin tujuannya supaya disiplin.
Semua orang yang diterima diberi pengarahan, mengenai hak dan kewajiban seorang karyawan. Aku dan lainnya bahagia sekali, senyum simpul tersungging di bibirku. Ini pertama kalinya aku bekerja “Akhirnya.. aku akan mendapatkan uang dari hasil keringatku sendiri” gumamku. Tapi.. yang kusayangkan, kami tidak diberi tahu berapa lama masa kontrak kerjanya. Kami hanya disuruh menandatangani saja.
Pada bagian-bagian tertentu, ada yang dikosongkan dan hanya pihak personalia yang berhak mengisinya. Sungguh ironis. Kami diikat sebuah perjanjian kerja tapi kami sendiri tidak mengetahui persis kesepakatan yang kami buat. Bisa saja satu, dua atau tiga bulan kami dikontrak, setelah itu didepak jika tidak memenuhi kriteria yang mereka inginkan. Sungguh sebagai karyawan baru, kami hanya bisa harap-harap cemas.
Keinginan untuk melanjutkan study pun urung direalisasikan. Ada ketakutan yang menghinggapi diriku. Takut jika akhirnya tidak bisa membayar biaya kuliah hanya karena dieliminasi dari perusahaan. Meski kenyataanya aku bisa melewati masa kerja sampai dua tahun. Selama kurun waktu dua tahun itu, aku merasakan kondisi yang tidak menentu. Tak kupungkiri, lambat laun aku kerasan juga kerja di sana. Tapi yang jadi penentu tetap tidaknya di sana bukan atas dasar betah atau tidak, bahkan seorang kabag produksi pun tak bisa berperan banyak, itu murni urusan aku dan personalia. Personalialah yang buat aturan dan punya wewenang atas kami para karyawan.
**


[1] Jenis awan yang berserat tipis/ halus, bentuknya mirip bulu burung. Sering tersusun seperti pita melengkung di langit.
[2] Ada
[3] Surat Keterangan Catatan Kepolisian yang pada jaman dulu dikenal dengan sebutan SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik), digunakan untuk melamar kerja dan sesuatu yang bersifat resmi.
[4] Menunggu di terminal atau pangkalan/pinggiran jalan dalam waktu yang cukup lama untuk mendapatkan penumpang.
[5]Pergantian/ perubahan jadwal kerja dari shift pagi ke shift malam. Para pekerja memiliki waktu yang panjang dari biasanya.
[6]Perubahan jadwal kerja dari shift siang ke shift pagi. Para pekerja memiliki waktu yang pendek dari hari-hari biasanya.
[7] Lemari plastik yang disusun bertingkat, lemari rak.
[8] Terjadi di bulan Oktober 2003. Aku mengikuti sepupuku ke Bogor, mencoba melamar ke sana kemari dari satu pabrik ke pabrik lain. Mulai dari garment, tekstil, pabrik makanan dsb. Namun sayang, kalau belum rejeki belum juga dapat.

No comments:

Post a Comment