KISAH PILU DI AWAL PENGHARAPAN



Bagiku, hal terpenting selain memikirkan kegagalan melanjutkan study adalah bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang cepat. Ini bisa dimaksudkan sebagai obat penawar atas kegagalanku mengecap bangku kuliah. Tanpa rencana pasti, membuatku bingung. Satu-satunya bayangan adalah pergi ke kota Bogor, di mana itu adalah tempat sepupuku dan suaminya tinggal.
Perjuangan untuk sampai ke Bogor tidak semudah yang kubayangkan. Aku belum pernah ke sana. Naasnya, aku tak tahu alamat mereka. Sehari sebelum keberangkatan, aku memantapkan hati; bergegas ke sebuah wartel. Kubuka secarik kertas yang ada di genggamanku. Kutekan tombol satu persatu sesuai dengan angka-angka yang tertera. Dilihat dari kodenya; termasuk kawasan Bandung.
Alhamdulillah.. lega sekali! Nomornya masih bisa dihubungi, peluang terbuka lebar. Ya, memang hanya bergantung pada nomor itulah harapanku, yang notabene merupakan satu-satunya jembatan supaya aku bisa menemui sepupuku.

 Aku berbincang dengan si empunya nomor. Masih merupakan kerabat dari iparku. Kalau tak salah dia adalah kakak tirinya. Aku pun sepakat akan turut  bersamanya ke Bogor, dengan syarat transit ke Bandung dulu. Modal uang dua ratus lima puluh ribu rupiah, aku nekat pergi ke sana. Siang hari sudah sampai di Bandung. Selepas sholat maghrib, aku−−mang Darja beserta anak istrinya berangkat ke tol Cileunyi, karena di sanalah bis arah Bogor berhenti.
Hari pun beranjak gelap, susah payah kupejamkan mata ini namun tak kunjung terlelap. Terjaga di antara heningnya malam, di antara antuk para penumpang bis yang melayang ke alam bawah sadar mereka dan di antara ganasnya angin malam.
Pukul satu dini hari aku dibangunkan istrinya mang Darja. Dia mengisyaratkan bahwa tempat yang dituju sudah sampai. Aku bangun dan mengikuti jejak langkah mereka, sambil mengucek-ngucek mata yang masih terasa berat untuk dibuka. Aku dibuat heran dengan kondisi yang sedang kuhadapi. Tak kusangka, keramaian di kota besar sampai dini hari pun masih berlangsung. Pemandangan yang jauh berbeda dengan di kondisi kampung−−yang hampir sebagian besar tertidur pulas, melayang bersama mimpinya.
Masih lulungu,[1]begitu pintu masuk areal mess pabrik dibuka, kontan aku gemetaran. Jantungku berdegup kencang, nadiku bekerja tiga kali lipat dari biasanya. Aku hampir dibuat lari terbirit-birit. Bukan sekedar kaget yang kurasakan saat itu, tapi juga ketakutan yang teramat-sangat.
 Tak ada bedanya dengan mimosa pudica,[2]begitu anjing menggonggong, mentalku mengerut alias menciut. Adrenalinku berdesir begitu hebatnya. Mendadak hilang kantukku, seirama dengan datangnya ketegangan yang langsung meng-klimaks. Aku membangun benteng pertahanan dengan cara menyelip di belakang punggung bi Yuyu. Seolah menjadikannya perisai-ku dalam menghadapi mara bahaya. Erat kupengang lengannya, sesekali kulirik sekeliling. Pandangannya (anjing-anjing itu), sangat beringas. Dengan lidah yang terjulur, seperti hendak menerkam.
Gukk... gukk... gukk..
Gukk... gukkkk
Auf... auf... auff..
Aku seakan tak peduli akan keringkihan bi Yuyu yang sedang menggendong anak balita-nya. Makin ketakutan, semakin kencang pula peganganku. Aku menghardik dalam batin “Oh.. menyingkirlah, hentikan semua ini anjing-anjing bodoh! Simpan saja muka jelekmu untuk para penjahat nanti. Tak-kah kalian lihat betapa manisnya tampangku ini? Kenapa masih saja kalian menggonggongi aku!” sayang, mereka tak memedulikan tampang melasku.
Gukk.. gukk.. gukkk..
Auf.. auff..
Gukk... gukk.. auf.. aufff
Belasan ekor anak-beranak itu tetap menggonggong sejadi-jadinya. Pasti mereka merasa terganggu akan keberadaan beberapa orang asing seperti kami. Parahnya, mungkin mereka menganggap kami sebagai penjahat yang harus mereka amankan, sesuai dengan fungsi meraka yang diberi titah menjaga keamanan di kawasan pabrik penetasan telur itu.
Sambil berjalan, mulutku komat-kamit memohon perlindungan pada illahi. Tampak sangat jelas sekali−−di hadapanku, anjing-anjing penjaga pabrik pun tak berhenti menggauk-gaukan suaranya. Merinding sekali mendengarnya. Jumlahnya sangat banyak, lebih dari selusin. Bukan hanya menggonggong, mereka bahkan membentuk formasi lingkaran, megelilingi kami.  Tak terelakan lagi, balita bi Yuyu dan mang Darja pun histeris.
**
Ini mengingatkanku akan kejadian di masa kecil. Waktu itu, aku sempat dikejar-kejar anjing sampai akhirnya ragaku lemas terkulai. Terjerembab di bawah pohon Rambutan. Terduduk di antara akar-akar. Limoy nama anjing itu. Bisa dibilang Limoy adalah anjing yang kesepian. Setelah dengan sengaja, dia dibuang oleh majikannya yang seorang dokter jaga di puskesmas kampungku.
 Konon, asal muasal penyebab dibuangnya itu; dikarenakan Limoy telah tertangkap tangan mencuri ayam penduduk setempat. Sang dokter marah. Malu pada penduduk sekitar karena dianggap tidak becus mendidik si Limoy. Hilang sudah kepercayaan sang dokter terhadap si anjing malang. Puncaknya, membuang Limoy di puskesmas tempat ia bekerja. Kejadiannya, di malam hari—di saat aku pulang mengaji.
Aku dikagetkan dengan ratapan anjing yang terdengar sangat menyayat. Ada gurat kesedihan di dalam suaranya; mungkin sebuah penyesalan.
Aku mendapati si Limoy terikat rantai besi, di tiang penyangga puskesmas. Ingin rasanya membawa dia pulang, tapi tak mungkin bapak mengijinkan. Walau bapak juga mengasihinya. Buat keluarga kami yang kebetulan muslim, riskan sekali miara binatang yang memiliki najis di tubuhnya karena keluarga kami tak mau bersusah payah mencuci najis setiap kali bersentuhan dengan binatang itu.
Pada akhirnya, Limoy dipiara oleh tetanggaku yang kebetulan gemar miara binatang. Di rumahnya banyak sekali binatang piaraan selain si Limoy. Ikan, ayam, itik, bebek, soang[3]yang sering melodok[4]aku, burung dan bahkan monyet juga ada.
 Baiklah, kembali lagi ke persoalan aku yang dikejar si Limoy; setelah jatuh terkulai di bawah pohon Rambutan, aku yang gemeteran pun menangis lirih. Si Limoy dengan setia menunggu di sampingku sambil engos-engosan dan menjulurkan lidahnya.
Tak selang lama, bapak dan juragan si Limoy datang menghampiriku. Amanat yang terlontar dari mulut sang juragan “Jangan sekali-kali berlari, apalagi sambil berteriak-teriak dihadapan anjing, itu yang jadi penyebab si anjing berlari dan mengejar. Kamu tahu kenapa?! Tanyanya, aku menggelengkan kepala dengan deraian air mata—masih syok.“Karena dia menganggap sedang diajak bermain, bukan berarti mau menggigit. Tapi seandainya kamu takut, kamu tinggal jongkok saja dan pura-pura mengambil batu, pasti anjingnya berlari ketakutan!” Lanjutnya.
Terngiang-ngiang di telingaku ucapannya tempo hari—beberapa tahun yang lalu. Kali ini aku berusaha tenang, tidak berlari. Hingga akhirnya bisa melewati dan terbebas dari anjing-anjing itu tanpa lecet sedikit pun.
Bersama bi Yuyu dan anaknya, aku tidur seranjang di kamar bedeng yang hanya terbuat dari bilah papan beratapkan seng. Sementara mang Darja tidur kamar sebelah, di tempat para bujang pekerja pabrik juga.
Pagi-pagi sekali, aku diantar bi Yuyu ke kontrakan sepupuku. Jaraknya lumayan jauh. Kami berjalan menyusuri belakang pabrik penetas telur. Melewati sawah, kuburan hingga akhirnya dekat kebun bambu itulah terdapat banyak pemukiman penduduk.
 Daerah Cimande namanya. Kurang lebih, dua minggu aku di sana. Di sela-sela waktu senggangnya, iparku selalu mengantar dari satu pabrik ke pabrik lainnya. Sayang aku belum juga mendapatkan pekerjaan.
**
Sewaktu iparku hendak bersilaturahmi ke keluarga besarnya di Bandung, aku diajaknya sekalian melamar kerja di sana. Kali ini juga nasib baik belum hinggap padaku. Lumayan lama tinggal di sana, aku dititipkan iparku pada keluarganya.
Persediaan uangku makin menipis, aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Aku juga teringat pesan bapak sewaktu menelponnya kemarin sore.
“Pulanglah dulu.. daripada keadaan kamu di sana darurat. Nggak mungkin kamu pinjam uang pada keluarga iparmu, malu! Mereka juga benar-benar dalam kondisi prihatin.”
Dengan setia ibu dari iparku mengantar hingga ke jalan raya. Dalam perjalanan, dari jauh terdengar lantunan suara merdu membahana−−menyayat hati.  Aku penasaran, tergesa mendekat. Masih sama, terdengar samar :
 Aku pulang.. 
Tanpa dendam..
Kuterima kekalahanku,
Kontan saja, di sudut kedua mataku bulir-bulir hangat meleleh.
“Benarkah aku kalah?”tanyaku dalam hati “Lagu apa ini, rasanya baru pertama kali kudengar. Siapa pula yang nyanyi, kok kata-katanya kayak menyindir aku!” lanjutku menggerutu. Kidung ratapan masih belum usai. Aku tetap berjalan mengikuti jejak nek Upi (ibu dari iparku), menyusuri sepanjang gang sempit.
Ketika posisiku tepat berdiri di depan pagar sebuah rumah yang berada di kompleks padat penduduk, seketika aku menghentikan langkah. Memandang ke arah sumber suara, maka semakin jelaslah :
Aku pulang ..
(Bapak.. aku pulang sekarang! Aku turuti perintahmu.)
Tanpa dendam..
Kusalutkan kemenanganmu,
Kau ajarkan aku bahagia kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia, kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia, kau berikan aku derita
(Tuhan, engkau yang memberikan segala kebahagiaan dalam hidup ini. Jika memang ini belum waktunya, berikanlah keikhlasan padaku!)
Haa haa ...
Haa haa...
Tabahkan tangguhmu, lepaskan perlahan
Kau akan mengerti, semua..
Aku berhenti berharap dan menunggu datang kelak
Kan ada cinta kudapat...
Aku terhenyak. Baris demi baris pada lirik lagu[5]itu bagai sembilu,  menghujam sampai ke ulu hati. Tanpa alasan yang jelas, kesedihan mendalam menyeruak di dada−−sesak. Tubuhku lunglai, sendi-sendiku terasa lepas. Rasanya, tak mampu menopang raga ini. Aku melangkah gontai sambil melirik tas besar yang kujinjing.
Aku mengumpat diri sendiri. “Oh.. diri ini terlalu kerdil, aku merasa jadi pecundang, aku kalah dan tersingkir dari arena.”Bagai air bah, bulir-bulir hangat deras membanjiri pipi. Tak kuasa untuk kubendung. Aku tersadar, buru-buru menyeka air mata, takut kalau nek Upi melihat adegan melankolis-ku. Sungguh tak masuk akal, hanya karena sebuah lagu bisa membuatku berderai-derai. Kini aku benar-benar dalam perjalanan pulang. Aku kalah, tapi hanya sementara. Kuyakinkan pada diri ini, suatu saat bahagia kan kudapat. Aku pastikan kembali untuk meraihnya. Selayaknya lirik lagu barusan.
**


[1] Kondisi setengah sadar ketika baru bangun tidur, masih mengantuk.
[2] Nama latin dari Sikejut/ Putri malu; jenis tumbuhan suku polong-polongan. Jika disentuh, daun-daunnya akan menutup. Biasa disebut sebagai tumbuhan yang irritabilitas (peka terhadap rangsangan).

[3] Angsa (Sunda).
[4]Menjuntaikan lehernya hendak mematuk atau menggigit, biasanya dilakukan oleh binatang berleher panjang seperti Angsa.
[5] Lirik lagu yang dimaksud adalah lirik lagu yang berjudul Berhenti berharap dan beberapa bulan kemudian baru diketahui milik group band terkenal, Sheila on 7.

No comments:

Post a Comment