Tahun ajaran 2002/2003 berakhir, harap-harap cemas menunggu hasil, terjawab sudah. Aku lulus dengan hasil tak terlalu mengecewakan. Euforia kebahagiaan membuncah di penjuru negeri. Termasuk sekolah kami, SMA Negeri Idaman yang terletak di kota Banjar. Tahun ini, angka kelulusan di sekolahku tidak mencapai 100%, tapi teman-teman yang kurang beruntung masih bisa mengikuti ujian paket C.
Siswa-siswi kelas tiga sibuk mempersiapkan diri untuk acara pelepasan. H minus satu, aku mengunjungi tempat sepupu bapaku, uwak Ipah. Aku memilah-milih baju yang hendak dikenakan. Kebaya marun bermotif sederhana, sedikit bergaya modern jadi pilihanku. Ukurannya terlalu besar, tak ada pilihan lagi, cuma itu yang terlihat agak modis. Terpaksa semalam suntuk aku menisiknya, memperkecil ukuran.
Hari berangsur terang. Fajar mulai menyingsing walau semburatnya masih terlihat malu menerangi cakrawala. Tepat pukul enam pagi, aku sudah berada di rumah uwak Ipah untuk di make-over. Tangannya piawai sekali, karena pekerjaanya memang tukang rias pengantin.
“Pokoknya alisku jangan sampai dikerok ya wak!” aku wanti-wanti.
“Iya nggak bakalan. Kamu tenang saja, pokoknya tahu beres” sahutnya sembari mengambil silet, aku disuruhnya menutup mata.
“Lah katanya nggak dikerok, terus ini apa maksudnya? gimana sih uwak ini?” dengan sewot aku memberondol pertanyaan padanya.
“Nggak usah cerewet, siapa juga yang ngerokin alis, uwak lebih tahu apa yang mesti dilakukan, ini cuma diberesin pinggirannya saja biar nggak berantakan!” tangannya memegang keningku sambil menggerak-gerakan silet dan sesekali mulutnya monyong menghembuskan angin lokal ke arah mataku, meniup sisa bulu alis yang dicukur.
“Oh..” jawabku.
“Itu rok bawahannya kok nggak diambil?”
“Nggak ah, mau pakai celana jeans saja biar simpel wak!”
“Memang sih jaman sekarang banyak yang memakai kebaya dipadu dengan celana, tapi kalau acaranya resmi kan kesannya nggak sopan!” dengan bijak uwak Ipah menasihatiku.
Aku menjawab cuek “Ah.. nggak masalah orang tahun-tahun sebelumnya juga kayak gitu, lagian celana jeans-nya juga warna hitam jadi nggak telalu kelihatan.”
Make up terakhir, disapunya blash-on di kedua pipiku, terlihat merona.
Crott.. crott.. crootttt.... hairspray disemprotkan ke rambutku, disisir belah pinggir, diikat lalu dipasangkan sanggul.
“Ya sudah, mudah-mudahan acaranya berjalan lancar. Ngomong-ngomong rambut kamu susah diatur, disanggulnya juga susah. Terpaksa uwak pakai sanggul palsu saja. Padahal kan rambut kamu bagus, panjang dan tebal.”
“Dalam keadaan darurat seperti ini, palsu juga nggak apa-apa wak, yang penting jadi!” aku memerhatikan perubahan wajahku di cermin, tersenyum sendiri dan mengusap-usap rambut kemudian berdiri. Melangkah meninggalkan rumah uwak Ipah sambil menenteng selop yang kupinjam darinya setinggi sepuluh senti.
“Wak.. makasih ya..”
“Mau dibayar berapa nih, gratis sajalah?” pintaku.
“Iya, sok-lah!”
“Aku pamit dulu, Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam...”
Sampai di rumah aku berganti kostum. Kebaya warna marun kini muat di badanku setelah semalaman susah payah menisiknya, dipadu dengan celana jeans hitam. Hasilnya lumayan cocok. Aku bingung karena tak terbiasa memakai high heels setinggi ini, tapi tak mungkin juga mengenakan sendal teplek, kupaksakan diri memakainya.
Demi mengejar waktu, aku meminta bapak mengantar. Seperti biasa dia berdalih, alasan yang klasik “Bapak sedang tak enak badan!”. Hemmm.. kalau sudah begitu aku tak bisa memaksanya lagi. Segera aku mencarter ojek.
“Mang yang cepet ya, diburu waktu nih!” aku berpesan sambil menepuk pundak tukang ojek.
“Siap neng!”
Broammm...
Tukang ojek itu menuruti aba-aba yang kuperintahkan. Dia mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan kepulan asap di sekitar pangkalan. Perjalananku tidak serta merta mulus tanpa hambatan. Alih-alih ingin cepat sampai tujuan, tiba-tiba di tengah jalan, sanggulku berayun−−melambai-lambai, hampir lepas. Kena hembusan angin, rambutku berkibas, berantakan. Sial!! Batinku menggerutu.
“Eh.. eh.. ehhhh... eeh.. eeeeh...” dengan sigap, tanganku memegang sanggul yang hendak lepas.
“Aduh duh.. dududu..duhhh... aaaaaa...”
“Aduh... ini gimana sih?” aku mendengus kesal sekali. Mendengarku berteriak, tukang ojek itu sesekali memalingkan wajahnya ke belakang, melihatku.
“Mang.. mang.... jalannya santai saja!” aku berteriak cemas, sampai-sampai memegangi sanggul sepanjang jalan dan mencoba memperbaki.
“Tadi katanya minta cepet-cepet, ngeburu waktu” mengurangi kecepatan tukang ojek itu protes.
“Maunya sih gitu tapi ini sanggulku nggak bisa diajak kompromi mang, udah mau copot nih!”
**
Di depan sekolah, motor dan becak berlalu lalang−−bersuliweran. Banyak siswa-siswi baru datang. Aku tak langsung menembus gerbang sekolah, merubah haluan.
Dengan tersuruk-suruk, pergi ke rumah teman yang jaraknya paling dekat dari sekolah. Baru berjalan beberapa meter saja, telapak kakiku terasa pegal. Tak terbiasa. Berkali-kali aku berhenti hanya karena sulit melangkah dengan cepat di jalanan yang rusak penuh bebatuan. Hari yang menjengkelkan! Hingga akhirnya−−dengan emosi, aku melucuti selop; berjalan bertelanjang kaki. “Begini lebih baik daripada aku tersiksa olehmu” aku tersenyum puas sambil melirik selop yang baru saja kulepas.
Menyusuri batu kerikil. Kaki berjingkat-jingkat, kena aspal yang memanas oleh sorotan si Raja siang. Tangan kiriku menenteng selop, sementara yang kanan tak henti-hentinya memegangi sanggul. Aku berjalan tergesa. Tak sedikit pun merasa malu dengan kondisi yang super berantakan. Ada beberapa orang melihat tingkahku−−sama sekali tak kuhiraukan.
“Assalammu’alaikum...” aku sudah berada di sebuah rumah yang halaman depannya banyak ditumbuhi pohon pisang.
“Wa’alaikumsalam” terdengar suara pintu dibuka.
“Eh.. kamu kok nggak langsung ke sekolah?” dia tersenyum, pandangannya tak mau lepas dariku; seperti hendak menegaskan sesuatu.
“Mau langsung ke sana gimana, memangnya kamu gak lihat penampilanku?” jawabku sambil mengikuti Rika ke kamarnya.
“Iya gimana ceritanya, kok bisa berantakan begitu? Hehee..” dia tertawa geli melihatku, beranjak duduk di kasur. Tangannya asyik memoles bedak. Sudah terbiasa ber-make-up sendiri. Selain pelajar, dia juga berprofesi sebagai penyanyi panggung keliling pada pesta kenduri.
“Tadi aku berangkat naik ojek, terus rambutku kena tiupan angin jadinya.. berantakan begini deh!, aku mampir ke sini cuma mau numpang beresin penampilaku saja” paparku.
“Kenapa nggak naik bis?”
“Kan dikejar waktu, takut kesiangan non! Duh tolong nih benerin sanggulku dong!”
“Lah... santai saja orang acaranya juga nggak langsung dimulai, suka ngaret gitu” jawabnya sambil membantuku memasangkan sanggul.
“Ngomong-ngomong kamu punya sandal cadangan nggak?”
“Ada, kenapa?”
“Syukurlah.. aku boleh pinjam ya? Tapi hak−nya yang pendek, tak lebih dari lima senti. Punyaku titip di sini dulu!”
“Boleh, tunggu.. aku ambilin!” dia berlalu ke ruangan lain.
“Jangan yang terlalu tinggi ya!” aku berteriak.
“Kamu pilih sendiri deh, mau yang mana?” dia memberikan tiga pasang, membiarkan aku untuk memilihnya.
**
Semua siswa-siswi kelas tiga sudah berkumpul di aula, kecuali mereka yang tidak lulus. Sama sekali tak tampak batang hidungnya, kasihan sekali. Kami semua saling kaget dengan perubahan penampilan masing-masing. Semua siswi mengenakan kebaya, sedangkan siswanya memakai batik dan sebagian lagi ada yang memakai kemeja. Kursi berjejer disusun sedemikian rupa, menghadap ke podium.
Aku, Rika dan Yuli menempati barisan tengah. Panitia membuka acara diawali dengan membaca basmalah dan do’a, kemudian memersilahkan kepala sekolah memberikan sambutan. Perwakilan guru dan murid juga ikut memberi sambutan. Di antara keramaian itu, kedua tanganku sibuk terus mengutak-atik sanggul yang lagi-lagi hendak lepas, Yuli tertawa geli melihat tingkahku.
“Kenapa sih kamu, dari tadi aku lihatin tangannya nggak bisa diam? Sini aku bantuin!” geregetan, tangannya meraih sanggulku.
“Nggak tahu nih dari tadi sanggulku lepas terus, padahal sudah dibenerin sama si Rika. Eh... malah copot lagi!” aku menggerutu sementara Rika tertawa seraya berkata “Itu kan jepitannya cuma sedikit, jadi susah!”
“Ih.. kamu mah kayaknya nggak pakai hairspray ya? Kok rambutnya gini amat sih” tanya Yuli.
“Sembarangan, ya pakai lah... tadi juga disemprotin banyak, ini kan gara-garanya naik motor, keangin-angin, terus rambutnya jadi kering. Apalagi rambut aku kan susah diatur.”
“Ya sudah mending sanggulnya dilepas biar rambut kamu digerai saja!” sambil membuka sisa jepitan yang nempel, dia mengulurkan sanggul padaku.
“Nih... simpan saja, mana sisirnya?”
“Aku lupa nggak bawa!”
Aku menyisir rambutku dengan jari-jemariku. Yuli masih terkekeh, begitu juga Rika, menyembunyikan tawa dibalik jemari lentiknya.
Siswa-siswi yang berprestasi naik pentas dan diberi penghargaan. Tak sedikit pun aku membayangkannya, bisa lulus saja sudah untung. Terakhir ditutup acara hiburan sambil menikmati hidangan yang tersedia. Lagi-lagi siswa dan siswi yang punya potensi di bidang seni, khususnya−−tarik suara, ikut menyumbangkan bakatnya. Aku yang memang tidak menonjol di sekolah, biasa-biasa saja. Hanya bisa jadi penikmat sejati sambil melahap santapan yang ada.
Acara berakhir dengan pembagian ijasah di kelas masing-masing yang berlangsung khidmat. Sangat mengharukan. Rona-rona kebahagiaan diwarnai kesedihan terpancar. Isak tangis tak terbendung manakala kami saling bersalaman−−maaf-maafan, terasa lebih dari sekedar hari lebaran.
Bahagia setelah berhasil menempuh pedidikan selama tiga tahun. Sedih karena mulai hari itu juga, kebersamaan kami berakhir. Terpisah satu sama lainnya dengan cita-cita dan tujuan masing-masing. Aku bertanya pada diriku, “bagaimana dengan cita-cita dan tujuanku?” dari empat puluh murid di kelas ini, mungkin aku salah satu yang tidak punya kepastian tentang cita-cita kedepannya.
Miris! Memang, seorang anak pegawai negeri tidak bisa melanjutkan kuliah hanya karena keterbatasan biaya? Mungkin tak ada satu orang pun yang akan memercayainya. Tapi itulah faktanya. Bapakku bekerja sebagai PNS di sebuah instansi pemberdayaan masyarakat, masih golongan dua dengan gaji yang tak seberapa jika harus menghidupi semua orang yang tinggal dalam satu atap. Termasuk di antaranya sepupuku dan keluarganya. Belum lagi, cara bapak memenejmaksudnya me-manage keuangan sangat tak bisa diandalkan−−terlalu boros. Niatnya sih beramal. Lalu, bagaimana peran ibu? Ah.. itulah biangnya!
**
Aku pulang dengan sejumput hampa. Hendak bertanya tapi sudah bisa membayangkan jawaban apa yang akan diberikan bapak. Aku masih penasaran, kenapa nggak dicoba lagi?! Meja makan adalah media yang tepat untuk memulai percakapan.
“Pak gimana kalau aku nerusin sekolah, maksudnya kuliah gitu pak?” aku berusaha memperlambat suapanku.
Seketika bapak menelan bulat-bulat makanan yang ada di mulutnya “Bapak nggak pernah melarang kamu untuk sekolah lagi, tapi kamu tahu sendiri kondisi keuangan kita lagi krisis, neng! mana si Andi juga tahun ini masuk SMP, buat makan sehari-hari saja susah. Yang bikin bapak merasa berat itu untuk sehari-hariannya, kalau biaya lainnya kan bisa nyicicil. Tapi nggak tahu kalau tahun depan, mungkin bapak ada rejeki.”
Mendengar pernyataan bapak, pupus sudah harapanku. Rasa kecewa meyesakkan dada. Bukan ini jawaban yang aku inginkan.
“Baiklah aku juga mau nyari kerja dulu!”
Buru-buru aku menghabiskan suapan terakhir, berlalu ke kamar. Bayangan mengenyam bangku kuliah segera aku tepis. Tak mau terperosok lebih dalam ke jurang kehancuran karena rasa kecewa. Aku mulai memikirkan ke mana akan mencari kerja. Tak ada lagi universitas ataupun sekolah tinggi di benakku.
**
No comments:
Post a Comment