FIFTY-FIFTY

Masalah lain datang seiring dengan kondisiku yang sedang terpuruk. Ini pukulan telak bagiku. Bagaimana tidak, Afrizal lagi-lagi ber-ulah. Kali ini perpisahan itu nyata benar. Ending yang tak menyenangkan.
Suatu malam, Afrizal sengaja menyambangi Yani, entah ada perlu apa. Sekitar pukul setengah delapan, aku mendapati Afrizal dan Yani duduk di balkon. Raut mukanya tampak serius. Aku mencoba mendekat dan bertanya.
“Lagi pada ngomongin apa sih kok serius amat?”
“Ini teh, anu.. kak Rizal mau nikah bulan depan..” suara Yani terdengar berat dan tertahan. Kemudian terdengar mendesah.
Aku terperangah mendengar pernyataan itu, tapi berusaha mencoba tenang. “Tenang.. jangan sampai marah! Anggap saja ini bukan hal yang menyakitkan!” gumamku.
“Apa, nikah? Sama siapa?”

“Biasa sama yang LA-MA!” jawab Yani penuh teka-teki.
“Sia-pa?”
“Teh Achie juga kenal, itu sama teh Riana!”
“Beneran itu kak?” aku bertanya seperti hendak menegaskan kepastiannya.
“Iya.. tapi masih fifty-fifty” jawabnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Fifty-fifty?” aku berujar seperti sedang melakukan pengulangan kata. Aku tersenyum kecut dan berkomentar “Hah.. aneh sekali, kok ya ada pernikahan fifty-fifty? Bukankah pernikahan itu biasanya direncarakan terlebih dahulu?”
“Masalahnya acara dadakan, jadi belum ada persiapan” jawabnya.
“Oh.. gitu? Selamat deh!” jawabku sambil berlalu meninggalkan mereka, sama sekali tak mau mendengarkan alasannya kenapa.
“Teh mau ke mana?” tanya Yani.
“Aku ngantuk, mau tidur!”
**
Diruangan yang sempit ini, aku menumpahkan segala kekecewaanku, menangis tersedan. Mengingat serentetan peristiwa yang belakangan menimpaku. Terdengar pintu kamar diketuk, tak kuhiraukan. Aku pura-pura tidur.
“Chie, aku tahu kamu belum tidur. Maafin aku ya! Aku nggak bermaksud menyakiti perasaanmu” aku tetap diam tak bersuara.
“Asal kamu tahu, aku juga kaget ketika orang tuanya Riana memanggilku dan merencanakan pernikahan kami dengan tiba-tiba. Aku tak kuasa menolaknya, kasihan! Karena aku tahu Riana akan bertindak nekat.”
Akhirnya aku angkat bicara, walau tak menampakan batang hidungku.
“Pertama, aku kecewa pada sikapmu kak! Kak Rizal masih ingat? Dulu aku pernah bicara padamu; kalau seandainya kita tidak berjodoh, aku ingin kita berpisah secara baik-baik. Aku selalu mengingatkan kakak untuk menjauhi aku, minimalnya beberapa bulan sebelum kamu memutuskan untuk menikahi orang lain..” suaraku tertahan “Memang, belakangan ini aku merasakan kalau kamu sedang menjauhi aku, tapi apakah kak Rizal sadar apa yang sudah kakak perbuat padaku? Kak Rizal menjauhi aku tanpa menjelaskan alasan pastinya. Setiap kali aku bertanya, kakak menjawab dengan sikap yang selalu menyalahkan aku. Ini menyakitkan kak!”
“Aku tahu aku salah!”
“Percuma kak! Seandainya saja kak Rizal bilang dari awal, mungkin aku tidak terlalu kecewa. Kedua, aku tak peduli kakak menikah dengan siapa pun juga, tapi kenapa harus dengan dia kak? Bukankah selama ini kak Rizal membencinya? Dan keluarganya yang menyebabkan kakak terlilit hutang? Tapi sekarang kenyataannya lain. Aku tak mengerti jalan pikiranmu?”
“Soal itu aku tak mau menjelaskan panjang lebar lagi, karena kamu sudah tahu.”
“Dari awal, aku selalu bertanya, apa kak Rizal masih mencintainya, kak Rizal selalu bilang tidak! Padahal aku juga pernah bilang kalau seandainya kak Rizal masih cinta, aku pastikan akan mundur. Aku nggak mau jadi orang ketiga. Aku juga nggak mau merusak hubungan orang lain, karena aku dan dia sama-sama perempuan.”
“Aku salah, Aku minta maaf. Tolong maafkan aku!”
“Sudahlah jangan terus-terusan minta maaf. Itu hanya akan menambah hatiku sakit. Aku lelah kak! Cukup sampai di sini saja, aku harap mulai sekarang kak Rizal tidak menggangguku” aku memohon. “ Jangan pedulikan aku lagi! Aku hanya butuh waktu, nanti juga membaik seperti semula.”
**

No comments:

Post a Comment