BANGKIT



Selanjutnya, aku melewati hari-hariku dengan kesibukan melamar kerja bersama Nunik. Hari pertama, aku dan Nunik pergi ke daerah yang tak jauh. Masih sekitar tempat tinggal kami, cukup jalan kaki saja. Hari kedua dan seterusnya, mulai berkelana. Dua minggu terlewati. Belum juga ada perusahaan yang mau menerima. Alasannya beda-beda; belum ada lowonganlah−−harus berpengalamanlah (tentunya di bidang yang sama)−−hanya menerima orang yang mempunyai keterampilan (kebanyakan yang dibutuhkan adalah menjahit). Kami tidak putus asa dan terus mencari.
Pernah ada orang yang bilang, “Kalau mau melamar ke sana harus tebal muka. Tidak diterima sekarang bukan berarti tidak ada kesempatan. Belum sampai tujuh kali mah, jangan menyerah! Datang, datang dan datang lagi!” 

“Tujuh kali? Gila, kayak ritual mencuci najis saja!” gumamku dalam hati. “Tapi benar juga sih, gagal hari ini belum tentu besok sama. Baik, aku akan mencoba lagi. Siapa tahu orang personalia bosan dan iba padaku, akhirnya diterima juga” aku manggut-manggut dan tersenyum sendiri.
Kuajak Nunik melamar ke garment yang sebelumnya pernah kami coba namun gagal. Awalnya dia menolak.
“Dua hari yang lalu kita kan nggak diterima Chie, ngapain ngelamar lagi ke sana? Nanti personalianya malah marah sama kita.”
“Apa salahnya, dicoba dulu sebelum pergi ke tempat yang jauh. Ke sana kan dekat, cuma naik angkot satu kali.”
“Baiklah.”
**
Ternyata, jitu juga jurusku ini. Atau mungkin hanya faktor kebetulan saja? Karena personalia yang kemarin mewawancaraiku adalah pria Batak yang begitu komit dengan kriteria yang ditetapkan perusahaan. Yaitu, salah-satunya; harus berpengalaman di bidangnya. Sementara kami hanya berpengalaman di bagian kaos-kaki saja. Dunia garment sama sekali asing bagi kami berdua.
Kali ini aku begitu yakin. Walau satpam yang berjaga sudah mewanti-wanti.
“Sekali lagi saya peringatkan, kalau mau melamar ke sini harus punya keterampilan dan berpengalaman. Kalau tidak memenuhi kriteria itu, jangan buang-buang waktu kalian karena sudah pasti personalianya tidak akan menerima. Silahkan saja cari di perusahaan lain!” lantang sekali salah satu satpam itu memperingati semua pelamar. Kemudian mereka (satpam-satpam) membagikan secarik formulir isian pada kami. “Berpengalaman nggak?” tanyanya.
“Iya pak” jawabku penuh percaya diri.
“Di sini hanya ada dua bagian yang akan dilamar. Nomor satu bagian jahit dan nomor duanya bagian umum” satpam yang di bajunya bertuliskan nama Nana Supriatna menjelaskan metoda pengisian formulir. “Isi bagian pekerjaan yang akan dilamar sesuai dengan pengalaman kalian. Jika pengalaman menjahit dan ngobras, maka tulislah di bagian jahit. Tapi jika pengalaman di bagian lainnya, tulis bagian yang dimaksud dengan jelas di bagian umum. Mengerti!”
“Kalau mau ngelamar bagian lubang kancing dan overdeck[1]. Ngisinya di mana pak?” tanya salah satu pelamar.
“Bagian itu belum ada lowongan, sudah ya! Mengerti kan?”
 Semua pelamar serempak menjawab “Mengerti!”
Begitu percaya dirinya, aku menuliskan pekerjaan yang akan dilamar adalah gosok di nomor dua, bagain umum. Nunik masih bingung karena memang tidak berpengalaman. Tapi akhirnya dia mengikuti saranku.
“Kamu yakin mau ngelamar bagian gosok?”
“Karena bagian umum yang aku tahu hanyalah bagian gosok. Lagian orang lain juga pada ngisi begitu. Ikut sajalah. Kupikir sama saja dengan menggosok baju di rumah. Aku juga nggak ngerti caranya kerjanya gimana.”
Dodol kamu mah.. nanti gimana urusannya kalau ditanya personalia?”
“Nanti mah urusan nanti. Pikirin di dalam saja. Kalau belum rejekinya, paling sama kayak sebelumnya, ditolak! Ya kita coba yang lain lagi. Bandung kan luas.”
“Okey..!” jawabnya penuh semangat.
Para satpam menggiring kami menuju kantor personalia. Bola mataku memandang liar. Mencari sosok pria yang sebelumnya mewawancaraiku. Hanya ada satu orang yang sama, tapi bukan dia−−satunya lagi. Di mana pria itu? Apa belum datang? Dari pintu dalam, muncul seorang wanita dan duduk di samping pria yang akan mewawancarai kami.
Wanita ini berwajah oriental, kulitnya putih. Rambutnya tergerai sebahu, dipotong model segi. Dia mengenakan hem putih dan rok hitam selutut dengan sepatu pantopel ber-hak sekitar tujuh senti. Sedang pria di sampingnya, sudah tak asing lagi. Seorang pria Jawa bertubuh atletis sekitar tiga puluh dua tahunan, mengenakan seragam yang sama setelan hitam putih. Sebelumnya, aku melihat dia dua hari yang lalu bersama pak Efren, pria Batak yang kumaksudkan tadi.
Seperti lazimnya yang sudah-sudah, mereka berdua memanggil kami dan mewawancarai. Giliran Nunik yang dipanggil. Pria jawa itu mewawancarainya. Nunik kembali ke tempat dan memasukkan surat lamarannya ke dalam tas. Dengan begitu aku tahu, ini kali kedua Nunik ditolak lagi.
“Aku tunggu kamu di luar ya!” ekspresinya sedikit kaku, berusaha menyembunyikan kekecewaan hatinya. Aku hanya menganggukkan kepala. Dia berlalu keluar, bergabung dengan pelamar lainnya yang juga tidak diterima.
Lama belum juga dipanggil, aku mulai resah. Kulihat dari jendela kaca, Nunik berbincang dengan beberapa pelamar. Segera dia mendekati jendela, tangannya melambai−−memberi kode. Segera aku mendekat.
“Chie, aku pulang duluan ya!” ujarnya berusaha semangat, menutupi kekecewaan.
“Lah kok! Tunggu aku dulu dong. Nanti kita bareng.”
“Nunggu? Masih lama lah!, gimana kalau nanti kamu diterima, aku pulang sendiri dong! Mumpung masih pagi, aku mau keliling dulu, nyari ke pabrik lain.”
Melihatnya, aku sedih sekali “Terus kamu sama siapa berangkatnya?”
“Sama mereka” gerakan kepalanya menunjukkan ke arah teman-teman barunya “Aku do’ain moga kamu diterima” ujarnya.
“Ya sudah, tetap semangat ya!” sahutku.
“Pasti dong!”
Wanita oriental itu menyebutkan namaku. Hatiku berdebar, aku tak tahu apakah wanita ini lebih galak dari pak Efren atau sebaliknya. Aku mendekat ke arahnya. Dia bertanya seputar pengalamanku. Dengan santai aku menjawab.
“Nama kamu Yarsi Yuniasari, pasti kamu asli sini ya?”
“Bukan, aku dari Banjar.”
“Iya maksudnya, kamu asli orang Sunda kan? Soalnya dari nama kamu saja sudah kelihatan, ada pengulangan kata. Yarsi Yuniasari, ye-ye, kebiasaan orang Sunda kan begitu. Nama tuh selalu diulang-ulang, dibolak-balik” paparnya tersenyum ramah.
“Oh.. iya” aku tersipu malu.
“Kamu mau melamar bagian gosok. Sebelumnya kamu pernah kerja di mana?”
“Di Jayatex ci!”
“Oh.. Jayatex! Terus gimana sekarang habis kontrak?”
“Iya ci.”
“Berapa tahun kerja di sana? Bagiannya apa?”
“Dua tahun di bagian kaos-kaki.”
“Kaos-ka−ki? Emang di kaos-kaki ada bagian gosok juga? Apanya yang digosok?” seperti tak percaya, dia bertanya sedikit keheranan. Aku mencoba tenang dan mengarang cerita. “Iya memang ada, tapi kalau di kaos-kaki nge-gosok-nya paling sepintas saja.”
Kali ini, wanita oriental itu terjebak dan mulai percaya dengan kebohongan yang kubuat. “Oh.. pasti yang digosok hanya pinggirannya saja biar terlihat rapi ya?”
Aku menganggukan kepala tanda meng-iya-kan ucapannya. “Hah.. semoga saja tuhan memaafkan aku. Kali ini aku berbohong demi kebaikan; sebuah pekerjaan. Bukankah itu lebih baik daripada menganggur? Lagian kata orang juga kalau melamar jangan terlalu jujur, nanti malah susah diterima. Seperti kemarin-kemarin, hasilnya selalu ditolak. Sedikit berbohong tak apa. memang ini dosa, tapi aku benar-benar kepepet” gumamku.
“Kamu lulusan SMA, pekerjaan bapakmu PNS? Kok kamu mau ngelamar ke pabrik, kenapa nggak kuliah saja?”
“Pengennya sih kuliah tapi nggak ada biaya.”
“Masa nggak ada biaya, kan bapakmu PNS?”
“Karena waktu aku lulus SMA, kebetulan adikku masuk SMP. Jadi aku nggak mau menambah bebannya. Lebih baik aku kerja dulu, baru nanti kalau ada rejeki kuliah lagi.” Meski yang kukatakan tidak sedetail mungkin. Ini cukup untuk mewakili jawaban dari pertanyaan yang diajukannya. Dan aku lihat dari ekspresinya cukup puas.
“Baiklah, karena kamu punya motivasi yang bagus. Kamu juga pengalaman menggosok, maka kamu saya terima kerja di sini.”
**
Benar-benar diluar dugaan. Aku bahagia sekali. Ingin rasanya membagi kebahagiaan ini dengan Nunik. “Bagaimana dengannya, semoga saja dia juga sedang berbahagia, diterima kerja di perusahaan lain.” Segera setelah pulang kerja aku menyambangi kamarnya Nunik. Kebetulan di sana sedang berkumpul, Mirna, Yani, Herti, mas Nano dan mas Dito. Tapi sayang, Nunik belum juga mendapatkan pekerjaan. Aku memberinya supportdan menyarankan supaya melamar lagi ke pabrik tempatku bekerja sekarang, PT. Abadi Terkendali. Nunik ikut gembira dan penasaran.
“Chie, kok bisa ya kamu diterima di sana? Padahal sebelumnya kita sudah ditolak. Kasih tahu aku dong triknya apaan?”
“Pengen tahu? Gampang kok. Yang penting kalau ngelamar kerja jangan sampai terlalu jujur dan harus meyakinkan.”
“Maksudmu?”
“Maksudnya, kita tunjukkan kalau kita memang benar-benar mau kerja, kalau boleh pasang tampang melas! Hahaha...”
Semua orang di ruangan itu ikut tertawa.
“Tapi kalau nggak jujur kan dosa?” masa Nano berkomentar.
“Demi kebaikan, mungkin tuhan nggak suka. Tapi niatku baik, nggak mau nganggur dan ngerepotin orang tua.”
“Benerlah, hari gini kan susah nyari kerja” tukas Mirna.
“Ngomong-ngomong tadi teh Achie ngebohong apa sih sampai bisa diterima?” Yani penasaran.
“Tadi kan aku ngelamar bagian gosok. Ditanyain pengalamannya gimana, ya.. aku ngarang cerita saja. Kubilang aku pengalaman gosok kaos-kaki.”
“Ih.. dodol kamu mah! Mana ada kaos-kaki yang digosok? Ada juga dipress! Terus gimana, apa dia percaya?” Herti berkomentar sambil tertawa geli membayangkan tingkahku.
“Awalnya dia ragu, tapi karena pinggiran kaos-kaki suka rapih. Dia pikir digosok padahal kan dipress.”
“Hahaha...” semua temanku tertawa.
“Cuma gitu saja, terus dia terima kamu?”
“Nggak juga! Dia nanyain soal kerjaan bapakku, menurutnya kenapa anak PNS  seperti diriku tidak melanjutkan kuliah. Aku bilang belum ada biayanya dan aku nggak mau nyusahin orang tua, mencoba mandiri. Dia terharu padaku” jawabku sedih jika membicarakan hal ini.
Selisih seminggu, akhirnya Nunik diterima. Dia ditempatkan di bagian mesin press, merekatkan kain keras dengan bahan jahitan. Letaknya saling berhadapan dengan bagianku. Aku sendiri di bagian sewing,[2]tugasnya macam-macam. Kadang gosok manset tangan dan kerah, mematrun[3], atau bahkan menyensor baju. Menyusul akhir bulan Mei, Herti juga kerja di tempat yang sama, tapi bagian gunting benang.
Hampir setiap hari kami bertiga kerja lembur. Berangkat pagi pulang malam. Pernah Mirna berkomentar, gara-gara kami jarang melewatkan waktu bersama. “Kalian itu kerjanya benar-benar ngejar dollar, nggak pernah ketemu sinar matahari. Berangkat langit masih belum terang, pulangnya hari sudah gelap” begitu umpatnya suatu hari.
**


[1] Menjahit pinggiran kain, seperti obras.
[2] Bagian yang berhubungan dengan produksi biasanya ditujukan untuk bagian jahit, gosok line, QC dll.
[3] Menandai pola baju (dress pattern) yang akan dikupnat/ disekeng/ dijahit sedikit untuk membentuk lekukan tubuh (pinggang). Biasanya di bagian depan dan belakang.

No comments:

Post a Comment