KEKASIH TAK DIANGGAP



Tak terasa, telah sampai di pertengahan bulan Juli. Berarti hampir tiga bulan masa-masa dirumahkan telah aku lalui. Aku, Nunik, dan Herti memutuskan untuk kembali lagi ke Jayatex.
Seminggu sebelum melamar lagi ke Jayatex, aku dan Nunik mengundurkan diri dari PT. Abadi Terkendali. Dengan alasan, bekerja di Jayatex harus berada dalam kondisi yang fit. Selama kerja di PT. Abadi Terkendali, kami selalu disibukkan dengan rutinitas lembur yang memang memforsir segala energi yang ada. Seminggu mungkin cukup untuk memulihkan kebugaran tubuh ini. Seminggu itu juga kami sibuk mengurus segala persyaratan yang sesuai dengan anjuran personalianya−−dulu sewaktu kami dirumahkan.
Selama aku bekerja di PT. Abadi Terkendali, hubungan asmaraku dengan Afrizal juga masih berjalan, walau sudah tidak harmonis lagi. Aku tak terlalu menghiraukan segala rintangan yang ada, sekalipun suatu hari Riana pernah menyambangi kontrakan kami.

Di pagi yang mendung, Riana datang menemui Yani. Saat itu, aku duduk di kursi kayu yang ada di balkon. Dia mendekat ke arahku dan duduk di sampingku. Kami sama sekali tak saling bicara. Aku tak menyangka kalau saat itu, aku sedang duduk berdampingan dengan orang yang pernah menjadi mantannya Afrizal. Dia terlihat begitu gembira sekali, seolah-olah tak ingat, dulu dia pernah menerorku. Atau mungkin dia tidak tahu, kalau selama ini−−orang yang dia teror−−−ada di sampingnya. Pikirku, mungkin dia tidak tahu hubunganku dengan Afrizal. Aku bersikap biasa saja selayaknya tak ada apa-apa.
Dari pintu gerbang, terlihat seorang laki-laki berhelm, memarkir motor di bawah pohon Belimbing. Spontan saja Riana berteriak girang, seperti anak kecil yang terlalu gembira menyambut orang tuanya datang−−menari-nari−−berjingkat-jingkat. Aku menyaksikan itu hanya tersenyum miris. Menyebalkan. Pikirku, tingkahnya benar-benar kolokan sekali.
Laki-laki itu mendekat ke arah kami, menaiki anak tangga. Dia bersikap dingin, tak terlalu peduli dengan penyambutan Riana padanya. Dia berjalan tanpa memedulikan keberandaanku juga. Mungkin pria itu mencoba menetralisir keadaan. Tentu saja aku tahu betul laki-laki itu siapa. Dia adalah laki-laki yang akhir-akhir ini selalu bersikap mengecewakan aku. Tak lain adalah Afrizal. Mereka berlalu−−berkumpul dengan Yani, seolah ada rapat keluarga yang akan dibahas. Aku tetap bergeming di posisi yang sama.
**
Siang hari aku nangkring di kamar Mirna; mendengarkan lagu-lagu sendu, membuatku mengasihi nasib sendiri. Sorenya, Afrizal kembali lagi−−setelah mengantar Riana pulang. Dia asyik menonton televisi, tanpa sedikit pun memedulikan aku. Aku juga masih diam di tempatnya Mirna.
“Kak Rizal ini bego atau apa sih? Kok tega-teganya bawa teh Riana ke sini? Kasihan si Achie tahu! Nggak bisa jaga perasaan banget” Mirna yang sedang duduk santai di koridor melampiaskan kekecewaanya.
“Lah emang aku tahu kalau dia mau datang ke sini? Tadi itu kebetulan saja. Orang dia ke sini juga mau ketemu sama si Yani. Masa aku harus melarangnya?”
“Ya bukannya begitu. Kak Rizal harus bisa jaga perasaannya Achie dong! Sikap kak Rizal tuh cuek banget.”
“Ya maaf deh kalau sikapku salah. Dari awal Achie kan tahu, kalau resikonya ya seperti ini. Aku dan Yani nggak bisa lepas begitu saja dari keluarganya Riana, kami hutang budi. Kalau Riana mau bertemu Yani, ya.. itu haknya dia.”
Dari awal pembicaraan mereka, aku panas mendengar setiap jawaban yang meluncur dari mulut Afrizal, segera aku keluar “Sudahlah.. memang selalu aku yang salah. Kak Rizal selalu benar. Terserah kak Rizal mau ngapain juga.”
“Terus kamu maunya apa?”
Aku diam saja tak peduli. Pikirku sudah terlanjur, nasi−−jadi bubur. Keadaanya memang sudah kacau, sekalipun harus berpisah, aku harus siap.
**

No comments:

Post a Comment