Kurenungkan ucapan paman tempo hari. Selain kehidupan yang lebih baik; sukses ataupun bahagia, sebenarnya apa yang kuinginkan, aku tak tahu pasti. Sejak lulus dari bangku SMA, sejak saat itu pula aku dilanda kebingungan yang tak berujung.
Bahkan jika aku memiliki kesempatan baik untuk melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi, aku tak tahu jurusan apa yang akan kuambil. Di saat orang-orang seusiaku sudah berhasil dalam karir ataupun pendidikan, aku masih pontang-panting dari satu perusahaan ke perusahaan lain, sibuk mencari kerja yang belum tentu bisa menjamin kesejahteraan di masa depanku nanti.
“Aku mau jadi apa?”pertanyaan itu sering terlontar di benakku dan memang benar-benar mengganggu pikiranku. Mengapa proses pencarian jati diriku sebegitu rumitnya? Beruntung sekali teman-teman yang dengan mudahnya menemukan apa yang sesungguhnya mereka cari.
Jika aku bekerja, pekerjaan apa yang sebenarnya aku inginkan? PNS, rasanya bukan! Pedagang juga bukan jiwaku. Kuli di pabrik? Apa iya selamanya aku akan melewatkan sisa hidupku di sana? Tak mungkin juga! Lalu... jika aku punya kesempatan kuliah, mata kuliah apa yang akan aku bidangi?
Dengan kondisi yang masih menganggur, memungkinkan segala hal buruk meracuni alam pikiranku. Terlebih lingkungan keluarga yang tidak pernah mendukung.
“Sudahlah kamu gak usah bolak-balik ke kota, toh pada akhirnya kamu kembali lagi ke kampung. Buang-buang dana nggak jelas saja” ujar salah satu sepupu perempuanku.
“Namanya juga usaha, terus menurutmu aku harus ngapain? Berdiam diri di kampung?”
“Sambil nunggu jodoh, urusin nenek saja. Dia sudah tak bisa berbuat banyak, sudah pikun. Selama ada orangtua, toh di sini kamu nggak usah mikirin apa-apa, yang penting bisa makan!” ucapannya benar-benar membuat kupingku panas.
“Hemm.. “ aku tersenyum kecut “Enteng sekali kamu bicara, seolah hidup itu hanya asal bisa makan saja. Lagian mana ada lelaki yang mau dengan seorang pengangguran seperti diriku?”
“Kalau lelaki yang benar-benar pasti akan menerima apa adanya. Kamunya juga terlalu pemilih, ingat! Umurmu sudah tak muda lagi. Perempuan seusiamu sudah pada gendong anak. Emangnya kamu nggak iri?”
“Jujur keinginan menikah pasti ada. Tapi sebelum menikah, aku ingin punya pekerjaan yang jelas dan mengumpulkan uang dulu. Menikah kan perlu biaya, aku nggak mau membebani bapak.”
“Mengenai biaya menjadi tanggung jawab lelaki, kan biasanya pihak lelaki ngasih ifkah?”
“Tanggung jawab bersama dong! Namanya ifkah relatif, tergantung kemampuannya. Syukur kalau dapat suami yang kaya raya, kalau sama keadaanya? Kita nggak tahu seperti apa jodoh kita dan kehidupannya bagaimana. Aku nggak mau tergesa-gesa menikah hanya karena ingin menyenderkan bebanku pada suami. Keinginan membahagiakan orangtua dengan jerih payah sendiri masih kuat.”
Makin banyak waktu yang tersia-siakan maka semakin banyak pula pengaruh negatif mencuci otakku yang sedang dilanda kegamangan. Adalah paman yang sering melontarkan perkataan memojokkan “Bagaimana mungkin hidupmu bisa sejahtera, jika lingkungan pergaulanmu hanya di pabrik-pabrik saja. Percaya deh sama paman, wawasanmu tidak akan berkembang kalau terus kerja di pabrik. Ubahlah nasibmu, angkat derajat orang tuamu!”
Aku diam seribu bahasa. Ada benarnya juga pikirku.
“Memangnya seumur hidupmu mau dihabiskan di pabrik? Lihatlah sepupumu, dulu dia kerja di pabrik, hasilnya sudah bisa dipastikan berjodoh dengan orang pabrik juga.”
Kali ini aku setuju dengan ucapannya. Walau tak sepenuhnya benar, rerata yang sudah terjadi, buruh pabrik berjodoh dengan yang satu lingkungan; buruh juga. Ternyata lingkungan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan seseorang. Terngiang di telinga ucapan seorang perempuan muda yang bisa dikatakan naik kasta, “Pada dasarnya, lingkungan akan membawa kita bertemu dengan jodohnya. Sebagai contoh, apa yang pernah saya alami ini. Saya ini hanya lulusan SMA, itu pun hampir putus di tengah jalan karena keterbatasan biaya.”
“Saya masih ingat..” sambung perempuan itu “Sewaktu saya masih di kampung, saya sering membantu ibu berjualan sayur sisa panen petani di atas perahu. Siapa sangka dari hasil akhirnya saya bisa punya kehidupan yang lebih baik dan membantu orang tua di kampung.”
“Alhamdulillah.. sekarang mbak masih kerja?” tanyaku.
“Masih, dan pekerjaan itu yang mempertemukan saya dengan suami saya.”
“Memangnya mbak kerja di mana?”
“Di perusahaan kontraktor. Awalnya dengan bermodalkan ijasah SMA, saya hanya ditugaskan sebagai pesuruh biasa. Namun karena saya banyak bergaul, dan para atasan memercayai pekerjaan saya, lambat laun saya naik jabatan hingga akhirnya kenal dengan suami saya sekarang yang seorang insinyur itu” dengan begitu bangganya perempuan itu menarik nafas dalam-dalam “Makanya pesan saya bergaulah dengan orang-orang yang akan membawamu ke arah kemajuan hidupmu baik secara moril maupun materil.”
“Luar biasa!”gumamku. Aku tersenyum bangga menyaksikan hasil dari kerja kerasnya.
Dalam hal pertahanan diri, bisa dikatakan aku rapuh saat ini. Kenapa bisa seperti ini? Mungkin benar apa yang dituliskan dalam sebuah buku, bahwa orangtua berperan penting dalam proses pembentukan karakter anaknya. Yang terjadi padaku saat ini adalah hasil dari didikan yang salah. Bagaimana pun juga, ibu tak pernah mencurahkan kasih sayang layaknya ibu-ibu yang lain, bapak juga kurang bertanggung jawab.
Jauh di lubuk hatiku, tersimpan keyakinan yang kuat akan kedua orangtuaku terutama ibu. Didalam relung hatinya, mereka tak pernah berniat jahat dan selalu mendoa’kan aku. Walau mereka tak pernah menunjukkan rasa kasihnya.
Aku ingin seperti perempuan luar biasa itu, mencapai puncak kebanggaan dalam hidup. Salah satunya aku harus mencetak prestasi, bukan sensasi karena aku ingin dikenal banyak orang. Dengan terkenal semuanya pasti akan terasa mudah.
Bisa dibilang, aku merupakan pendengar yang setia. Dalam beberapa bulan terakhir, kucurahkan segala yang pernah kudengar, kulihat bahkan kurasakan ke dalam sebuah tulisan, berharap ada penerbit yang sudi mempublikasikannya.
**
No comments:
Post a Comment